Sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar

Sehari sebelum penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), group Whatsapp  dipenuhi potret-potret kiriman dari anggota group dengan konten: kaum perempuan berdesak-desakkan di sebuah toko pakaian, ada juga yang sambil membawa anak-anaknya. Meskipun mereka tetap memakai masker, tapi sekilas saja saya dapat membayangkan bagaimana gigih dan semangat mereka berdesak-desakan itu harus dilakukan dengan tenaga ekstra. Apalagi ini merupakan bulan puasa, bulan perjuangan.

Teman-teman di group media obrolan dan media sosial memberikan beragam komentar, rata-rata merasa heran dengan sikap para ibu yang rela berdesak-desakan di tengah ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 berakhir?

Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan siapa pun, apalagi kaum perempuan, yang mungkin saja, belum menerima informasi secara utuh tentang penularan virus korona yang masif. Kaum perempuan juga, mungkin saja, belum mendapatkan informasi utuh tentang karantina wilayah, pembatasan sosial, jaga jarak, dan protokol kesehatan maksimum lainnya yang semestinya diterapkan selama pandemi.

Panic buying

Panic buying dialami oleh mereka yang merelakan diri harus berdesak-desakan sekadar berbelanja pakaian untuk dipakai di hari lebaran, hari kemenangan. Kecemasan memang hal lumrah dan sangat manusiawi, dengan kecemasan inilah manusia akan berusaha melakukan tindakan-tindakan untuk menghindari atau melawan biang kecemasan ini.

Panic buying dialami oleh para perempuan disebabkan oleh informasi yang bias dan berita-berita tidak benar sebelum penerapan pembatasan sosial berskala besar. Mereka menerima informasi: toko-toko akan tutup di saat PSBB telah diberlakukan.

Kecemasan selama pandemi tidak hanya dialami oleh para perempuan, hampir semua orang mengalaminya. Kita benar-benar tidak menyangka, dunia akan mengalami goncangan yang meluluhlantakkan semua fitur kehidupan. Lima bulan lalu kita hanya menyaksikan penularan virus korona terjadi di Kota Wuhan, pikiran pun dibumbui asumsi bermacam-macam, mulai dari adanya kebocoran senjata biologis, terminologi tentara Tuhan kepada virus yang diutus untuk menyerang Tiongkok karena telah berbuat lalim kepada Muslim Uighur, perang dagang, dan asumsi lain yang sebetulnya merupakan refleksi sinisme dalam diri kita terhadap fenomena alamiah.

Dua bulan setelah virus korona melanda Wuhan, kasus pertama Covid-19 pun akhirnya sampai juga di negeri ini. Pandangan mata kita berpindah secara cepat dan otomatis ke dalam negeri, kita tidak mau kalah dengan orang-orang penting yang telah biasa berbicara di televisi dalam mengeluarkan pendapat: sudah seberapa siap pemerintah menghadapi pandemi korona, langkah strategis apa yang akan dilakukan oleh pemerintahan Jokowi selama pandemi?

Berhubung pernah ada kejadian hingga dijadikan meme dan bahan guyonan, ada seorang ibu mengendarai sepeda motor, menyalakan lampu sein kanan, kemudian berbelok ke arah kiri, bukan bermaksud merendahkan martabat kaum perempuan lainnya, sangat wajar kecemasan kaum ibu dilampiaskan dalam bentuk panic buying menjelang lebaran.

Memakai baju baru, baju dulag di hari lebaran merupakan tradisi tahunan bagi kaum muslim, tidak mengenal apakah sedang musim panas, hujan, atau pandemi yang penting lebaran memakai baju baru. Sikap ini dapat dibenarkan, mereka lebih rela sesak-menyesak membeli baju untuk anak-anak mereka tak perduli dengan penularan virus. Meskipun bagi sebagian orang, sikap ini dipandang cukup nekat dan lebih mendekati sembrono.

Potret lawas diunggah ulang

Selain kepanikan kaum ibu milenial, seseorang memancing kepanikan lain dengan mengunggah potret kondisi Jalan Kapt Harun Kabir menjelang lebaran satu tahun lalu. Siapa pun tahu bagaimana kondisi di jalan ini beberapa hari sebelum lebaran satu tahun lalu itu. Manusia tumpah ruah, saling berjejalan. Sebenarnya bukan hanya di jalan ini, jalan-jalan utama di Kota Sukabumi benar-benar disesaki oleh manusia, kendaraan, pedagang, semua tumpah ruah, menyambut kedatangan hari kemenangan.

Potret lawas yang diunggah tersebut dibubuhi keterangan: inilah kondisi Sukabumi sebelum PSBB. Anehnya, dengan tanpa pertimbangan matang, jeli dalam memilah dan memilih potret, para netizen yang selalu identik dengan ungkapan “maha benar para netizen dengan segala komentarnya” itu meramaikan dengan beragam komentar.

Komentar paling lucu yaitu saat seorang netizen memberikan komentar begini: “Masya Allah, orang-orang Sukabumi kok pada begitu ya?” Dengan mendahulukan sikap berbaik sangka, mungkin saja netizen tersebut memang tidak mengatahui lawas dan tidaknya potret tersebut. Lebih mengherankan lagi, potret lawas tersebut dibagikan ulang melalui media obrolan.

Saya masih aktif mengikuti perkembangan informasi, celoteh dari yang biasa hingga sarkastik di beberapa group media sosial. Kerewelan para netizen selama pandemi Covid-19 dari mulai mengkritisi kebijakan pemerintah hingga mengkritisi sikap sesama manusia merupakan hal lumrah dalam dunia yang mulai didominasi oleh semangat kekanak-kanakan.

Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah sudah seharusnya memosisikan diri sebagai orangtua bijak dalam menghadapi tingkah polah anak-anak rewel ini. Tentu harus berbeda sikap saat menghadapi orang-orang yang lebih dewasa dalam memberikan saran dan kritik. Anak-anak rewel selalu merengek-rengek saat hak-nya belum terpenuhi, sementara orang dewasa akan mengajak duduk satu meja dalam mengemukakan keinginannya.

Tentang anak yang rewel saya punya satu cerita. Saat kecil, anak paman yang baru menginjak umur lima tahun itu merengek menginginkan sepeda. Merengek terus-menerus sampai tiga hari. Karena keinginannya belum terpenuhi, di hari keempat, dia melempari rumah paman dengan batu. Seperti itulah sikap anak-anak rewel jika keinginannya belum terpenuhi.

Produksi hoaks, meme kocak, desain grafis editan, hingga foto-foto heboh tetap dipertahankan oleh netizen . Hal ini dapat dipandang sebagai otokritik atau memang auto-kritis, sebuah krisis moral akut yang sulit disembuhkan. Sangat wajar Undang-undang ITE diterbitkan oleh pemerintah untuk memilah konten-konten mana yang layak dimuat atau dilenyapkan sama sekali dari peredaran daring. Menurut Litbang Kompas, Kementerian Komunikasi dan Informatika secara rutin setiap hari menjaring puluhan kasus hoaks dan disinformasi. Hingga 10 Mei 2020, tercatat 673 kasus hoaks dan disinformasi. Jumlah ini selalu menunjukkan tren yang meningkat sejak Januari hingga April 2020.

Hoaks yang berkembang dan terus bertambah selama pandemi Covid-19 bisa terjadi salah satunya disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif saat pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait penyebaran dan penanganan virus korona. Tidak hanya terjadi di Indonesia, disinformasi beredar luas secara global karena komunikasi yang dibangun oleh pemerintah di setiap negara terbilang kurang efektif.

Masyarakat pada akhirnya memiliki kencenderungan menelan informasi-informasi yang dapat memuaskan selera mereka daripada harus memercayai informasi resmi yang tidak efektif, cenderung lambat, dan tidak sesuai dengan selera pasar. Sebenarnya, di sini lah peran utama para staf ahli milenial yang tempo hari sempat viral menjadi bahan pembahasan oleh media-media mainstream.

PSBB menurut penghuni jagat nyata dan jagat maya

Apa yang terjadi di jagat maya lain cerita dengan jagat nyata. Para neziten telah menjelma menjadi para motivator ulung, politisi kawakan, serba tahu keserba-serbian, serba benar, menjadi agamawan yang fasih menyalin dan mengutif teks suci, dan menjadi ahli bahasa menyaingi J.S Badudu. Tetapi hal ini sebenarnya tidak terjadi di jagat nyata.

Orang-orang di jagat nyata, misalnya kelompok akar rumput, tidak memerdulikan defisi dan pembatasan kebahasaan. Bibi saya tetap berpegang teguh pada pendiriannya, PSBB adalah Lockdown. Sesekali saya ditanya oleh beliau: Akang sedang lockdown? Manusia jagat nyata adalah sekumpulan manusia sebenarnya manusia. Bukan manusia maya yang biasa kita jumpai di media sosial.

Bagi penghuni jagat nyata telah tertanam dalam diri mereka prinsip: jika aku tahu maka katakan “aku tahu”, dan jika aku tidak tahu maka katakan “aku tidak tahu apa-apa”.

Tanyalah kaum perempuan yang menyesaki toko pakaian itu: kenapa ibu-ibu berdesak-desakan begini, kan sedang musim korona? Di antara mereka mungkin memberikan jawaban sederhana: “Mau lebaran..” atau “ Saya tidak tahu, apa itu korona?”. Nah, bagi penghuni jagat maya, penduduk media sosial, pemilik lapak-lapak instagram, sikap kaum perempuan ini langsung didefinisikan, seolah-olah akurat, kaum perempuan itu dungu, tidak tahu aturan, lebih takut tidak memakai baju baru di saat lebaran daripada takut tertular virus korona.

Kalimat lain dengan nada penilaian yang biasa dikeluarkan oleh penduduk jagat maya yaitu: pemerintah sangat teledor, tidak melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat! Begitulah, kemajuan teknologi dan informasi yang seharusnya mampu mengkalibrasi dan menyelaraskan moral jagat nyata dengan jagat maya malah telah mendikotomikannya.

Begitulah kira-kira, hingga seorang kartunis bernama Steve Cuts membuat animasi kemasygulan dirinya yang direfleksikan dengan karakter hipokrit rata-rata individu di era internet ini. Di jagat nyata seorang individu benar-benar merefleksikan diri sebenarnya. Individu yang utuh dan tidak terpecah belah, di kala sedih ia mengangis, di kala kulit menjadi berwarna gelap karena tersengat sinar matahari tetap menerimanya.

Walakin saat memasuki labirin-labirin akun dan kata kunci media sosial, individu menjadi tercerai berai, wajah kusam dan kumal disulap menjadi licin, si pendiam menjadi lincah berselancar di samudera daring. Media sosial telah menjadi corong digital penggubah irama individu. Jangan heran, lantas menyebut saya sok suci tidak bersikap seperti para neziten lainnya. Kita sama!

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar"