Lebaran: Kembali Ke Setelan Pabrik di Tengah Pandemi

Salat Idul Fitri diselenggarakan dengan cara dibagi menjadi beberapa lokasi di setiap kampung untuk mengurangi kerumunan dalam skala lebih besar. Dengan cara ini, kerumunan jamaah yang semula biasa terkonsentrasi di satu tempat, sekarang menjadi lebih menyebar dalam bentuk kelompok baru dengan jumlah jamaah pada kisaran 30-80 orang.

Bagi muslim yang merayakan Idul Fitri, salat Id merupakan pertemuan besar tahunan. Orang sekampung berkumpul di satu tempat, di mesjid atau di lapang. Setelah mengawali dengan mandi besar, bersuci, mengenakan pakaian terbaru, serba wangi, dilanjutkan dengan sarapan sebagai amalan sunnah kemudian pergi ke tempat pelaksanaan salat Idul Fitri. Wajah setiap orang dibalut rona bahagia, bahwa hari itu adalah kemenangan bagi mereka.

Setelah khotib selesai membacakan khutbah, orang-orang satu kampung tidak meninggalkan mesjid atau lapangan, tradisi yang telah diwariskan turun-temurun yaitu bersalam-salaman saling memaafkan satu sama lainnya, diiringi pelafalan sholawat mereka membentuk lingkaran besar agar setiap orang benar-benar dapat bersalaman secara bergiliran dan merata.

Di tengah pandemi Covid-19, tradisi di atas tidak hilang sama sekali, tetapi secara kuantitas dan kualitas mengalami penurunan jumlah dan rasa. Mereka juga dipaksa berhadapan dengan suasana baru, salat Idul Fitri diselenggarakan secara berjamaah di tempat baru, bukan tempat biasa yang telah melekat dengan alam bawah sadar mereka bahwa tempat itu merupakan miniatur “padang arafah”, tempat orang-orang satu kampung dari berbagai latar belakang bertemu dan berkumpul.

Kebaruan dan Keharuan

Penentuan pembagian tempat penyelenggaraan salat Idul Fitri di setiap kampung merupakan konsensus atau kesepakatan baru dalam masyarakat. Itulah kelebihan manusia atas spesien lain yang menempati Bumi ini. Dalam perspektif antropologis, manusia mudah melakukan koordinasi dalam waktu cepat berskala luas, termasuk dalam penentuan lokasi salat Idul Fitri. Fatwa MUI dan ajakan organisasi keagamaan dengan cepat ditafsirkan dan diterjemahkan ke dalam konsensus baru oleh tokoh agama dan masyarakat. Kebaruan yang benar-benar baru telah lahir. Sulit bagi siapa pun untuk memprediksi bahwa pada satu saat tempat dan jalan kecil di sebuah kampung bisa menjadi tempat pelaksanaan salat Idul Fitri secara berjamaah.

Tradisi lama dan sumber sejarah keislaman begitu menekankan pentingnya salat Idul Fitri diselenggarakan di mesjid atau di lapangan terbuka, bukan di jalan umum. Bagi kalangan ortodoks, kebaruan yang muncul yang berbeda secara diametral dengan tradisi lama sering dipandang amalan bid’ah. Tetapi konsensus bersama demi kebaikan (maslahah mursalah) menjadi sumber rujukan dalam penentuan pembagian tempat salat Idul Fitri adalah satu keniscayaan, harus dipraktikkan.

Ras manusia tidak hanya dapat melakukan koordinasi antar sesama, mereka juga merupakan spesies yang dapat mengkoordinir dirinya sendiri. Dunia binatang tidak pernah mengenal ini, andai saja kumpulan ayam potong bisa berkoordinasi satu sama lain, sudah sejak puluhan tahun lalu umat manusia tidak mencicipi ayam goreng. Tidak sulit bagi manusia untuk menerima kesepakatan baru hasil dari koordinasi selama memiliki kejelasan meskipun terletak pada masalah-masalah di wilayah sensitif seperti keagamaan.

Suasana Idul Fitri tahun ini berlangsung pada masa transisi dari kehidupan normal atau biasa ke kehidupan yang diasumsikan normal baru (new normal) merupakan bentuk pembelajaran kepada umat manusia betapa penting menghadapi permasalahan yang dipandang baru, tetapi dengan tetap mengedepankan nalar dan akal sehat. Lambat laun, kehidupan normal baru juga akan menjadi hal normal dan dipandang biasa, manusia merupakan mahluk yang mudah dan cepat beradaptasi.

Halalbihalal Virtual

Bukan hanya terhadap pelaksanaan salat Idul Fitri, tradisi halalbihalal sebagai warisan para leluhur kita juga dipaksa harus dilakukan dengan mengedepankan pysical distancing, penjarakan fisik. Beruntung sekali, saat ini kemajuan teknologi dan informasi telah menawarkan berbagai platform komunikasi virtual. Di media sosial, potret-potret yang memperlihatkan komunikasi virtual setiap keluarga inti diunggah oleh para netizen. Satu bentuk pengabaran kepada orang lain: meskipun tetap mematuhi penjarakan fisik, tetapi hubungan baik tetap bisa dijaga meskipun melalui konfrensi virtual.

Lebaran merupakan momentum pertemuan keluarga inti yang membentuk keluarga besar, biasanya tiga sampai tujuh keluarga berkumpul di kediaman keluarga ini, mengalami pergeseran signifikan di tahun ini. Larangan mudik di daerah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar telah menahan deurbanisasi atau migrasi manusia dari kota ke kampung halaman. Awalnya memang tidak bisa disangkal, kondisi ini benar-benar membuat mental siapa pun gegar dan kaget, momentum lebaran yang belum tentu akan dijumpai lagi terlewatkan begitu saja. Kalimat “apa boleh buat” sepertinya dijadikan prasyarat untuk menenangkan diri. Halalbihalal tahun ini cukup dilakukan secara virtual saja, sebuah cara baru yang belum pernah terjadi dalam skala besar.

Di lembaga yang lebih besar dari keluarga pun, halalbihalal dilakukan secara virtual. Lembaga pemerintah biasanya menyelenggarakan acara halalbihalal di hari pertama masuk kerja di halaman setiap kantor, sekarang diurungkan. Halalbihalal dilakukan secara personal saja, dari individu kepada individu lainnya. Dari presiden hingga wali kota dan bupati, halalbihalal dilakukan secara virtual, hampir tidak ada pelaksanaan open house di rumah-rumah dinas dan rumah para pejabat.

Kehidupan dengan Norma Baru

Wacana “kehidupan normal baru” dengan Herd Immunity semakin ramai dibicarakan setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pelonggaran wilayah-wilayah yang berstatus zona merah. Yang terjadi di masyarakat, selama pandemi Covid-19, justru kehidupan dengan sejumlah norma baru.

Cara bersalam-salaman dilakukan hanya dengan menyentuhkan ujung jari atau kedua telapak tangan diletakkan di bagian depan dada. Bertegur sapa antar manusia dilakukan dengan anggukan kepala. Memasuki rumah-rumah ibadah sampai menjalankan ritual keagamaan pun dilakukan dengan memakai masker.

Tren berbelanja secara daring mengalami lonjakan. Menjelang lebaran, terjadi pergeseran berbelanja kebutuhan dari papan ke pangan. Membeli kebutuhan makanan lebih diprioritaskan daripada membeli baju lebaran. Pandemi Covid-19 telah memaksa manusia lebih banyak mengonsumsi makanan-makanan sehat yang diyakini dapat meningkatkan kekebalan tubuh agar tidak mudah tertular virus korona.

Tentu saja kehidupan normal baru yang sedang ramai dibicarakan itu sama sekali tidak betul-betul menampakkan hal-hal paling baru. Hal ini hanya menyentuh pada ranah-ranah perasaan. Di sisi lain, kita memang sedang hidup di era ketika kata dan terminologi sudah tidak melulu diterjemahkan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang bahasa. Lantas banyak yang mempersepsikan antara kehidupan normal baru dengan herd immunity memiliki arti yang sepadan.

Kehadiran bencana dan wabah telah menyertai panggung sejarah dan perjalanan kehidupan manusia sebagai bentuk pembelajaran bagi manusia. Di dalam konstelasi kehidupan ini beragam tantangan datang untuk menguji sejauh mana spesies manusia dapat bertahan dan mempertahankan dirinya. Kehidupan normal baru akan tercapai jika peradaban yang telah dibangun oleh manusia benar-benar porak poranda.

Walakin, melalui penemuan dan cara baru pengobatan di bidang kedokteran yang semakin cepat, saya pikir, untuk beberapa abad ke depan, manusia akan tetap bisa mempertahankan peradaban yang telah dibangun sejak abad ke 16 sampai sekarang.

Hal paling penting yang harus dicapai oleh manusia adalah bagaimana mereka mengembalikan kembali mental dan spiritualnya ke setelan pabrik. Dalam terminologi lebaran sering kita sebut: kembali ke fitrah. Back to factory setting.

Dimuat oleh Radar Sukabumi, 28 Mei 2020
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Lebaran: Kembali Ke Setelan Pabrik di Tengah Pandemi"