Kasus positif Covid-19 berdasarkan laporan Universitas John Hopkins sampai 2 Juni 2020 telah mencapai 6,2 juta lebih. Sementara itu, jumlah kematian tercatat telah melebihi angka 375 ribu. Negara-negara besar dan negara yang kita pandang maju atau berperadaban, salah satunya di bidang kesehatan, benar-benar tidak dapat menyembunyikan kegugupan dalam upaya memerangi wabah yang ditimbulkan oleh SARS-COV 2 ini.
Dalam tulisan dua bulan di media yang sama dengan judul Corona dan Kerapuhan Norma, saya menyebutkan hal yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 yaitu keruntuhan norma dalam kehidupan yang sebelumnya kita pandang sebagai sesuatu yang ajeg.
Beberapa penelitian mutakhir menyatakan, kehadiran pandemi yang telah menyebar ke setiap negara hingga benua ini lambat laun mampu meluluhlantakkan bukan hanya norma, juga memengaruhi struktur dan fitur seluruh kehidupan. Dalam beberapa bulan ke depan, sampai dunia benar-benar pulih dari serbuan virus korona akan melahirkan kehidupan yang sebelumnya kita anggap tidak normal menjadi kehidupan normal baru.
Menghindari Skenario Terburuk untuk Menyelamatkan Spesies Manusia
Para ahli telah mendesain skenario kecil, sedang, dan terburuk akibat pandemi dalam estimasi hitungan angka. Setiap negara, tidak terkecuali Indonesia sudah tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghindari skenario terburuk akibat pandemi.Skenario terburuk tersebut meliputi: pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dan semakin melonjaknya penularan virus korona. Dua sektor kehidupan, perekonomian dan kesehatan jika benar-benar lumpuh akan menimbulkan hal yang tidak diharapkan.
Puncak pandemi di negara ini diperkirakan terjadi pada pertengahan Juni 2020. Pemutusan penyebaran virus sangat memerlukan keseriusan dari semua pihak. Pemerintah menyiapkan seperangkat kebijakan, selanjutnya disikapi oleh masyarakat dengan menaatinya.Pembatasan Sosial Berskala Besar di beberapa negara karena lonjakan penyebaran virus korona sangat tinggi, merupakan langkah strategis yang membutuhkan dukungan dari masyarakat. kejadian di Amerika Serikat, Brazil, Italia, dan Spanyol harus menjadi contoh bagi kita.
Di saat imbauan pemerintah untuk tetap menjaga jarak tidak diindahkan, dalam hitungan tiga minggu angka penularan virus korona baru telah melampaui Kota Wuhan sebagai tempat asal dan awal penyebaran virus. Hal krusial dan sangat mendesak yang harus dilakukan selain menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat terkait penerapan protokol kesehatan maksimum yaitu keterbukaan dan transparansi data, mulai dari peta sebaran terkini, jumlah orang terpapar, status zonasi wilayah, dan kajian kesanggupan penyelesaian masalah harus diinformasikan kepada masyarakat dalam skala yang lebih luas.
Kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini yaitu melakukan tracking atau melacak interaksi orang-orang yang terpapar virus. Bagaimanapun juga, pelacakan merupakan jalan terbaik sebagai peringatan dini kepada masyarakat agar mereka terhindari dari skenario terburuk akibat pandemi.
Keangkuhan akan Menghilangkan Eksistensi Manusia dan Peradabannya
Skenario terburuk bagi umat manusia dengan kemunculan berbagai wabah adalah kepunahan spesies manusia sendiri. Kepunahan tersebut memang tidak muncul tiba-tiba, kecuali disebabkan oleh kepongahan kita selama ini sebagai sapiens yang sering merenggut tugas dan peran Tuhan. Padahal sikap ini sama sekali menunjukkan kekerdilan kita di dalam kumandang kemahabesaran-Nya.Kita sedang ringkih dan tertarih-tatih setelah pada dekade-dekade sebelumnya merasa sedang mengarah kepada pencapaian tertinggi dari lini masa evolusi dari mahluk satu sel ke wujud tanpa bentuk: homo deus, seperti yang disebutkan oleh Harari dalam buku Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
Keangkuhan rata-rata sapiens di era revolusi industri 4.0 menjadi penghalang kita enggan melihat ke belakang dan menjadikan sejumlah peristiwa sejarah menjadi cermin. Visi sapiens modern selalu melihat ke depan, orientasi kebendaan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang sebetulnya dapat diraih jika manusia bersikap adil dalam mendistribusikan sumber daya alam kepada seluruh populasi manusia dan makhluk lain yang bersama-sama menempati Bumi ini. Manusia terlalu angkuh membuat formula-formula kesejahteraan, seperti yang disebutkan di dalam Al-Quran, “Jika dikatakan kepada mereka janganlah berbuat kerusakan di muka Bumi, mereka mengatakan, sesungguhnya kami adalah para pembuat kebaikan”.
Isaiah Berlin menyebutkan, upaya-upaya manusia di muka Bumi tidak sekadar melawan ketidakbaikan atau keburukan yang dilakukan oleh manusia lainnya, juga bertanggung jawab dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang akan menyelamatkan manusia dan keberadaannya. Wabah-wabah yang pernah terjadi dan menimpa umat manusia rata-rata telah menyapu bersih sendi kehidupan yang dipandang telah mapan dan ajeg pada masanya. Pikiran seperti ini sama persis dengan sapiens modern yang merasa telah menemukan berbagai hal untuk mencegah setiap keburukan yang dapat menimpa manusia, merasa peradaban saat ini benar-benar dapat menjadi benteng atau perisai yang mampu mempertahankan kehidupan manusia melalui serangkaian capaian: angka harapan hidup. Justru, peradaban manusia dari waktu ke waktu selalu memiliki celah-celah kefanaan yang dapat meruntuhkan sangkaan keajegan ini. Apakah tidak membuat kita heran, di era kemajuan pengobatan dan penemuan canggih di bidang kedokteran, justru dapat dikeroposi oleh mahluk renik bersama coronavirus disease 2019?
Di dekade kedua abad 20, Flu Spanyol pada tahun 1918 telah menginfeksi sekitar 500 juta manusia di seluruh dunia atau sepertiga dari populasi manusia di planet ini, dan menewaskan 20 sampai 50 juta korban seharusnya menjadi pengingat kepada manusia tentang kerapuhan dan kefanaan manusia sendiri. Tuhan tidak menciptakan tubuh manusia dari besi, baja, atau logam lainnya agar manusia sadar diri terhadap kefanaan yang akan selalu mengiringi kehidupannya.
Pandemi yang dihadapi oleh manusia datang bukan dalam satu waktu, melainkan akan datang secara bergelombang. Gelombang pertama Flu Spanyol dipandang oleh manusia saat itu sebagai flu biasa, flu musiman pada musim semi. Anggapan ini harus dibayar dengan harga mahal saat flu baru dan sangat ganas menyerang negara itu pada gelombang kedua. Persitiwa saat itu sangat identik dengan kondisi sekarang, kehidupan normal baru diwacanakan, orang-orang diwajibkan memakai masker, tetapi para elite politik seperti tidak ambil pusing dengan wabah ini, mereka lebih mengkonsentrasikan diri pada Perang Dunia I. Hal ini mengingatkan kita pada wabah Athena pada 430 SM, negara-negara kota lebih sibuk memikirkan peperangan dari pada merestrukturisasi penataan kota agar wabah tidak dapat masuk dan menular dalam skala besar. Di masa pandemi Covid-19, perang mulut dan kata-kata dua negara besar semakin membuktikan negara-negara dengan politisi bermulut besar justru mengalami masalah besar dalam menghadapi wabah.
Peradaban Manusia Tidak Hanya Dibangun oleh Kata-kata
Kelebihan peradaban manusia yang membedakannya dari spesies lain yang menempati planet ini adalah kemampuan melakukan komunikasi secara verbal sebagai media dalam membangun koordinasi. Tetapi, peradaban manusia sendiri tidak hanya sekadar dibangun oleh kata-kata, melainkan melalui proses permenungan di ruang-ruang kontemplatif. Penemuan lukisan purba di gua Lascaux, Prancis adalah salah satu bukti bagaimana karya purba tersebut dihasilkan melalui proses permenungan yang kemudian dibuktikan dengan goresan tangan pada dinding gua.
Para nabi dan rasul membangun masyarakat berperadaban diawali melalui proses permenungan, menyendiri di tempat sunyi bergumul dalam keheningan. Sebelum sampai pada abad pencerahan, para saintis Eropa seperti Galileo, Kant, Descartes, dan Newton lebih banyak menyibukkan diri dalam pergolakan batin. Nyatanya memang demikian, sampai zaman sekarang pun, kemajuan selalu lahir dari ruang-ruang sunyi bukan pada ingar-bingar dan meriahnya kebocoran verbal. Google dan perusahaan sejenisnya adalah contoh bagaimana mereka dapat menata laboratorium penelitian modern agar identik dengan tempat yang diliputi oleh kesunyian atau keheningan. Toynbee mengungkapkan, peradaban besar selalu lahir di tempat-tempat bersuhu sejuk.
Kata-kata yang berlebihan lantas membentuk propaganda dan fitnah justru telah banyak menyebabkan peradaban yang telah dibangun oleh manusia menjadi porak-poranda.Beberapa perang besar yang terjadi selalu dilatarbelakangi oleh perang kata-kata. Bharatayudha salah satu perang besar dalam epos kuno yang ditulis oleh Vyasa itu disebabkan oleh kata-kata ketika Satyawati memberikan syarat kepada Santanu agar keturunannya dijadikan pewaris Astinapura. Di era kuno, sebagai bukti kepercayaan, orang tidak perlu membubuhkan tanda tangan pada sehelai kertas bermaterai, cukup dengan bersumpah atau mengeluarkan kata-kata bahwa syarat itu pasti dipenuhi.
Kata-kata berisi fitnah yang diucapkan di tengah kecamuk wabah telah banyak menimbulkan muculnya sikap rasis dan dehumanisasi oleh sekelompok orang atas pihak yang direndahkan. Saat maut hitam pada abad ke-14, umpatan dialamatkan kepada orang-orang Yahudi sebagai biang keladi pembawa maut hitam. Fitnah yang diyakini dan diterima begitu saja oleh masyarakat Eropa saat itu berujung pada pengusiran hingga pembunuhan orang-orang Yahudi yang dipandang sebagai penyebab maut hitam. Kecurigaan terhadap orang-orang Yahudi tersebut terus berlangsung selama berabad-abad sampai Nazi melakukan apa yang disebut sebagai Holocaust kepada etnis Yahudi.
Dua bulan lalu, saat pandemi Covid-19 mulai menyerang Amerika Serikat secara masif, Presiden Trump dengan sengaja terus-menerus mengatakan virus korona dengan sebutan virus China. Stigma tersebut menyebabkan sikap rasis diperlihatkan oleh masyarakat Amerika Serikat terhadap orang-orang Asia Timur yang tinggal di negeri yang sering memamorkan diri sebagai tempat paling demokratis. Perlakuan rasis dialami oleh orang-orang keturunan Asia Timur mulai dari umpatan, caci maki, hingga penusukan.
Kehidupan Normal Baru
Dua minggu terakhir ini kita sedang ramai memperbincangkan istilah kehidupan normal baru (new normal), kehidupan yang ditandai dengan bagaimana manusia dapat mengadaptasikan diri dengan norma-norma baru, yang semula dipandang aneh selanjutnya menjadi kebiasaan baru. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, tentu saja kita akan sangat heran jika ada seseorang memakai masker saat melaksanakan salat berjamaah. Pemandangan ini menjadi lumrah di tengah pandemi, dan kita tidak akan memandangnya sebagai perbuatan nyeleneh.
Sejumlah negara termasuk Indonesia telah memasuki fase persiapan memasuki adaptasi kehidupan baru. Pelonggaran terhadap pembatasan sosial berskala besar dilakukan secara bertahap di negara-negara yang telah menunjukkan tingkat penularan virus korona di bawah 1.0. Norma dan cara-cara baru muncul beriringan dengan cara hidup normal baru di tengah pandemi. Pranata kehidupan dari mulai perekonomian, pendidikan, hingga keagamaan mulai menerapkan cara-cara baru yang belum dikenal sebelumnya. Manusia sedang menyetel ulang peradabannya sendiri untuk mempertahankan eksistensi spesies yang telah beberapa milyar tahun mampu bertahan di tengah kepunahan spesies lain sebagai penghuni sebutir debu kosmik bernama Bumi di luasnya belantara semesta.
Dipublikasikan oleh NU Online: 12 Juni 2020 Lihat Tautan
Posting Komentar untuk "Wabah (Bagian 10, Habis)"