Piramida kebutuhan dasar Maslow direkonstruksi ulang oleh pola hidup manusia modern. Melalui sebuah kelakar disebutkan kebutuhan paling mendasar manusia di era milenial yaitu kebutuhan fisiologi bukan lagi diisi oleh bagaimana mereka dapat eksis dan bertahan dengan kondisi fisik dan badan yang sehat serta prima.
Kebutuhan fisiologi tersebut mengalami perkembangan dari tiga kebutuhan pokok: sandang, pangan, dan papan ditambah dengan kuota internet dan batre ponsel cerdas.
Keberadaan berbagai gawai dari mulai komputer, ponsel cerdas, dan tablet telah terikat erat dengan pemiliknya. Hal ini dirasakan oleh manusia-manusia modern yang telah mengikatkan diri mereka pada piranti-piranti tersebut, dari mulai bangun tidur hingga terlelap tidur, rata-rata manusia modern tidak dapat dijauhkan dari ponsel miliknya.
Pada akhirnya, rata-rata manusia modern mengalami kesulitan untuk melepaskan diri mereka dari ikatan kebutuhan berupa sumber pendukung ponsel cerdas: kuota internet dan batre.
Kebutuhan manusia modern terhadap kuota internet dan batre sebetulnya tidak harus dipandang sebagai kebutuhan mendasar, manusia tidak akan mengalami kelaparan jika ponsel cerdas yang mereka miliki tidak dapat terhubung dengan jaringan internet.
Manusia tidak akan menggigil kedinginan jika tablet atau komputer cerdas yang mereka miliki kehabisan daya batrenya. Manusia seharusnya tidak perlu menanggung beban rasa malu jika mereka belum memiliki power bank, ponsel cerdas, televisi cerdas, atau piranti cerdas lainnya. Bandingkan jika manusia tidak memiliki makanan, pakaian, dan hunian yang laik.
Pada kondisi ekstrim, harus diakui, pandangan manusia modern terhadap kepemilikan gawai-gawai cerdas tersebut telah melahirkan sikap timpang dan dialami oleh generasi milenial. Tanggal 4 Juni 2020, tribunnews.com memberitakan kasus bunuh diri seorang siswa salah satu SMP di Jakarta karena tidak dapat mengikuti pembelajaran daring selama pandemi Covid-19.
Siswa tersebut diduga tidak kuat menanggung malu karena tidak memiliki ponsel cerdas di saat teman-teman sebayanya mengikuti kegiatan belajar daring.
Bukan hanya terjadi di Indonesia, seminggu kemudian, pada 10 Juni 2020, suara.com memberitakan kematian tragis seorang pelajar gadis di Punjab karena tidak mampu membeli ponsel cerdas untuk kegiatan belajar daring.
Kasus-kasus serupa yang luput dari pemberitaan dapat saja terjadi di setiap pelosok dunia, meskipun dalam jumlah kecil, paling tidak harus menjadi catatan manusia modern bahwa keberadaan gawai-gawai dan piranti cerdas ini dapat menghantam ranah kejiwaan dan mental manusia saat terkoneksi dengan bidang lain yang menuntut eksistensi atau survival manusia dalam kehidupan sosial. Hal yang seharusnya memang tidak perlu terjadi dalam kehidupan.
Dapat saja dikatakan, keberadaan gawai-gawai cerdas setelah terhubung dengan bidang-bidang lainnya telah memengaruhi piramida kedua dari kebutuhan dasar manusia: keamanan, safety and security. Rasa malu yang harus ditanggung oleh seseorang karena belum memiliki gawai cerdas lambat laun memberikan pengaruh besar terhadap keamanannya.
Perkembangan selanjutnya, kekhawatiran sebagai wujud berkurangnya kebutuhan rasa aman tersebut juga dialami oleh anak-anak yang telah memiliki gawai cerdas dan dapat menggunakannya dalam kegiatan belajar daring.
Harian KOMPAS tanggal 21 Juli 2020 menginformasikan kejiwaan anak terancam di tengah pandemi sebagai dampak dari kegiatan belajar di rumah atau daring. Fasilitas pendukung kegiatan belajar daring tidak memadai, ketidakmampuan anak belajar secara mandiri, dan meningkatnya tekanan psikososial dari lingkungan menjadi tiga faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental anak.
Kebijakan pembelajaran selama pandemi yang diambil oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama Republik Indonesia kondisi ini harus memerhatikan faktor tersebut untuk menghindari kemungkinan yang tidak dapat diprediksi.
Kebutuhan dasar mendapatkan rasa aman jika terlewati akan berpengaruh terhadap kebutuhan sosial anak. Mereka membutuhkan kehangatan persahabatan dan rengkuhan keluarga tanpa diberi beban berlebih oleh faktor yang justru dapat merenggangkan anak dengan kebutuhan sosialnya.
Anak-anak membutuhkan rengkuhan dan belaian keluarga tanpa disertai faktor penyekat yang justru dapat memisahkan ikatan emosial mereka dengan keluarga.
Lembaga pendidikan melalui para tenaga pendidik harus benar-benar memerhatikan penyampaian materi dan soal yang tepat agar dapat mengeratkan hubungan anak dengan orangtuanya. Tuntutan lain yang biasa ditekankan oleh lembaga pendidikan kepada para peserta didik harus diperlonggar selama mereka mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh.
Materi pembelajaran jarak jauh harus dipadatkan, memuat konten-konten aktual yang menumbuhkan hubungan baik antara anak-anak dengan orangtua mereka.
Keberadaan gawai atau piranti-piranti yang telah diciptakan oleh manusia selalu memengaruhi kondisi mental manusia dari tahun ke tahun. Produksi besar-besaran televisi di akhir milenium pertama masehi disebutkan oleh Alvin dan Heidi Toffler dalam buku Mencetak Peradaban Baru telah menjelma menjadi trinitas baru pengganti trinitas lama. Di masa lalu, orang-orang melakukan pemujaan kepada harta, tahta, dan wanita, memasuki awal milenium kedua telah terjadi pengalihan pemujaan kepada komputer, telepon, dan televisi.
Di era televisi tabung dan hitam putih, di dalam satu kampung, pemiliknya masih dapat dihitung dengan jari tangan. Hanya orang-orang tertentu yang mampu membeli televisi tabung hitam putih. Pemilik televisi dapat dikatakan merupakan orang kaya atau terkaya di kampung tersebut.
Anak-anak mulai penasaran dengan daya hipnotis kotak ajaib ini. Setiap sore mereka bergerombol di rumah pemilik televisi, menonton film kartun beramai-ramai, menimbulkan sensasi ketagihan. Karl Marx dan Engels menyebutkan agama sebagai candu masyarakat.
Di babak baru peradaban milenial kedua pandangan Marx dan Engels yang lahir pada awal abad ke-19 ini mengalami pergeseran, televisi lah yang telah menjadi candu bagi masyarakat terutama anak-anak.
Anak-anak selalu mempraktikkan ulang adegan-adegan para tokoh yang ditayangkan oleh televisi. Seorang anak tidak pernah menghentikan gerakan silat saat mereka berjalan setelah menonton film laga di televisi. Ada juga seorang anak yang melempari rumahnya sendiri ketika tidak diberi izin menonton televisi oleh orangtuanya.
Di penghujung tahun 1990 sampai tahun 2010, rata-rata setiap rumah telah memiliki televisi, kotak ajaib itu telah memasuki kamar-kamar kecil, terhubung dengan Laser Disc, Compact Disc, Video Compact Disc, dan Digital Versatile Disc Player.
Dalam skala mikro, pertumbuhan produksi perangkat elektronik tersebut bersamaan dengan peningkatan produksi piringan CD dan VCD bajakan disinyalir menjadi penyebab runtuhnya bisnis bioskop -bioskop di Sukabumi.
Meskipun sekadar asumsi, paling tidak berakhirnya masa kejayaan bioskop di Sukabumi pada awal milenium kedua masehi berisisan dengan penjualan piringan CD dan VCD bajakan di pasar-pasar terbuka di kota ini. Bisnis lain yang tergerus dalam situasi ini yaitu toko-toko penyewaan VCD. Hanya dengan uang Rp10 ribu, konsumen mendapatkan tiga keping VCD bajakan yang dijual di emperen toko Sukabumi.
Industri musik juga menanggung kerugian akibat pembajakan lagu-lagu oleh produsen VCD. Bayangkan, di tahun 2002-2009, konsumen dapat menikmati ratusan berbagai genre lagu dan musik berformat mp3 dalam satu keping VCD dengan harga murah.
Satu keping piringan VCD bajakan telah mengekstrasi puluhan kaset. Perbandingannya, jika seseorang membeli sebuah kaset berisi 10 sampai 12 lagu dengan harga Rp15 ribu, sementara itu dengan harga yang sama, seseorang dapat memiliki tiga keping VCD bajakan berisi 500 lagu.
Saat anda berjalan-jalan di sepanjang jalan Kapten Harun Kabir dan Jl. Ahmad Yani Kota Sukabumi pada tahun 2000-2009, telinga akan akrab dengan berbagai lagu yang diputar di lapak-lapak penjual VCD bajakan.
Berbagai genre lagu dan musik juga diputar di rumah penduduk di perkampungan setiap pagi. Bagi industri musik, kebutuhan dasar manusia berupa penghargaan (esteem) terhadap hak cipta benar-benar telah tercerabut.
Walakin bagi konsumen dan masyarakat, kebutuhan dasar pada piramida ke-empat tersebut dipandang sebagai kemerdekaan untuk mendengarkan lagu kesukaan mereka dengan cukup murah. Dapat menikmati lagu dengan harga murah merupakan hak setiap orang, liberalisasi musik, pasar bebas, konsumen yang berhak memutuskan.
Masyarakat kita memiliki pikiran dengan menjamurnya VCD bajakan tersebut, band-band domestik dan lagunya menjadi lebih popular di masyarakat jika dibandingkan dengan tahun 1990-2000 ketika pemusik dari Malaysia dengan lagu nuansa Melayu lebih popular di negara ini.
Televisi tabung, LD, CD, VCD, dan DVD player berakhir masa kejayaannya ketika revolusi informasi dan teknologi (infotek) sampai pada tahap persaingan pemasaran secara besar-besaran ponsel cerdas dan berbagai platform sistem operasi, aplikasi, dan piranti pendukung lainnya. Ponsel telah ber-evolusi bukan pada ukurannya saja, juga pada fungsinya.
Telepon memiliki arti suara atau perbincangan dilakukan dari jarak jauh, namun ponsel sudah lebih dari itu. Gawai cerdas yang telah dilengkapi oleh kamera depan dan belakang serta terintegrasi dengan Global Positioning System (GPS) telah menjelma menjadi piranti pengawas yang dapat melacak pemiliknya dari jarak jauh. Ponsel-ponsel sederhana benar-benar berfungsi sebagai perangkat perbincangan jarak jauh, walakin ponsel cerdas telah menjelma menjadi perangkat pengendali atau yang dikendalikan dari jarak jauh.
Berbagai platform aplikasi bukan hanya berfungsi sebagai media bersenda gurau, namun sekaligus menjadi piranti surveyor yang dapat mengumpulkan data seluruh pengguna dalam satu kali waktu.
Media sosial seperti Facebook tidak perlu membuat tim pencacah lapangan untuk menyurvei kesukaan masyarakat di berbagai pelosok dunia, Facebook hanya perlu membuat formulir profil pengguna agar diisi secara sukarela oleh penggunanya, mulai dari negara, suku bangsa, agama, kegemaran, pandangan politik, gender, dan data-data lainnya.
Kebutuhan dasar manusia pada piramida tertinggi yaitu kebutuhan mengaktualisasikan diri agar tetap eksis telah disiapkan di dalam piranti-piranti cerdas. Manusia tinggal berfose, difoto, diunggah, disebarkan, lantas merasa puas bahwa dirinya memang telah berhasil mengaktualisasikan diri meskipun melalui media sosial.
Gawai cerdas telah membundelkan kebutuhan-kebutuhan tersier dan barang yang dipandang mewah beberapa dekade lalu. Kamera, radio, tape recorder, televisi, telepon, nintendo, jam digital, pemutar video, kompas, peta, rak-rak buku, sekaligus bukunya dipaketkan dalam satu piranti dalam genggaman.
Dimuat Radar Sukabumi 28 Juli 2020
Kebutuhan fisiologi tersebut mengalami perkembangan dari tiga kebutuhan pokok: sandang, pangan, dan papan ditambah dengan kuota internet dan batre ponsel cerdas.
Keberadaan berbagai gawai dari mulai komputer, ponsel cerdas, dan tablet telah terikat erat dengan pemiliknya. Hal ini dirasakan oleh manusia-manusia modern yang telah mengikatkan diri mereka pada piranti-piranti tersebut, dari mulai bangun tidur hingga terlelap tidur, rata-rata manusia modern tidak dapat dijauhkan dari ponsel miliknya.
Pada akhirnya, rata-rata manusia modern mengalami kesulitan untuk melepaskan diri mereka dari ikatan kebutuhan berupa sumber pendukung ponsel cerdas: kuota internet dan batre.
Kebutuhan manusia modern terhadap kuota internet dan batre sebetulnya tidak harus dipandang sebagai kebutuhan mendasar, manusia tidak akan mengalami kelaparan jika ponsel cerdas yang mereka miliki tidak dapat terhubung dengan jaringan internet.
Manusia tidak akan menggigil kedinginan jika tablet atau komputer cerdas yang mereka miliki kehabisan daya batrenya. Manusia seharusnya tidak perlu menanggung beban rasa malu jika mereka belum memiliki power bank, ponsel cerdas, televisi cerdas, atau piranti cerdas lainnya. Bandingkan jika manusia tidak memiliki makanan, pakaian, dan hunian yang laik.
Pada kondisi ekstrim, harus diakui, pandangan manusia modern terhadap kepemilikan gawai-gawai cerdas tersebut telah melahirkan sikap timpang dan dialami oleh generasi milenial. Tanggal 4 Juni 2020, tribunnews.com memberitakan kasus bunuh diri seorang siswa salah satu SMP di Jakarta karena tidak dapat mengikuti pembelajaran daring selama pandemi Covid-19.
Siswa tersebut diduga tidak kuat menanggung malu karena tidak memiliki ponsel cerdas di saat teman-teman sebayanya mengikuti kegiatan belajar daring.
Bukan hanya terjadi di Indonesia, seminggu kemudian, pada 10 Juni 2020, suara.com memberitakan kematian tragis seorang pelajar gadis di Punjab karena tidak mampu membeli ponsel cerdas untuk kegiatan belajar daring.
Kasus-kasus serupa yang luput dari pemberitaan dapat saja terjadi di setiap pelosok dunia, meskipun dalam jumlah kecil, paling tidak harus menjadi catatan manusia modern bahwa keberadaan gawai-gawai dan piranti cerdas ini dapat menghantam ranah kejiwaan dan mental manusia saat terkoneksi dengan bidang lain yang menuntut eksistensi atau survival manusia dalam kehidupan sosial. Hal yang seharusnya memang tidak perlu terjadi dalam kehidupan.
Dapat saja dikatakan, keberadaan gawai-gawai cerdas setelah terhubung dengan bidang-bidang lainnya telah memengaruhi piramida kedua dari kebutuhan dasar manusia: keamanan, safety and security. Rasa malu yang harus ditanggung oleh seseorang karena belum memiliki gawai cerdas lambat laun memberikan pengaruh besar terhadap keamanannya.
Perkembangan selanjutnya, kekhawatiran sebagai wujud berkurangnya kebutuhan rasa aman tersebut juga dialami oleh anak-anak yang telah memiliki gawai cerdas dan dapat menggunakannya dalam kegiatan belajar daring.
Harian KOMPAS tanggal 21 Juli 2020 menginformasikan kejiwaan anak terancam di tengah pandemi sebagai dampak dari kegiatan belajar di rumah atau daring. Fasilitas pendukung kegiatan belajar daring tidak memadai, ketidakmampuan anak belajar secara mandiri, dan meningkatnya tekanan psikososial dari lingkungan menjadi tiga faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental anak.
Kebijakan pembelajaran selama pandemi yang diambil oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama Republik Indonesia kondisi ini harus memerhatikan faktor tersebut untuk menghindari kemungkinan yang tidak dapat diprediksi.
Kebutuhan dasar mendapatkan rasa aman jika terlewati akan berpengaruh terhadap kebutuhan sosial anak. Mereka membutuhkan kehangatan persahabatan dan rengkuhan keluarga tanpa diberi beban berlebih oleh faktor yang justru dapat merenggangkan anak dengan kebutuhan sosialnya.
Anak-anak membutuhkan rengkuhan dan belaian keluarga tanpa disertai faktor penyekat yang justru dapat memisahkan ikatan emosial mereka dengan keluarga.
Lembaga pendidikan melalui para tenaga pendidik harus benar-benar memerhatikan penyampaian materi dan soal yang tepat agar dapat mengeratkan hubungan anak dengan orangtuanya. Tuntutan lain yang biasa ditekankan oleh lembaga pendidikan kepada para peserta didik harus diperlonggar selama mereka mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh.
Materi pembelajaran jarak jauh harus dipadatkan, memuat konten-konten aktual yang menumbuhkan hubungan baik antara anak-anak dengan orangtua mereka.
Keberadaan gawai atau piranti-piranti yang telah diciptakan oleh manusia selalu memengaruhi kondisi mental manusia dari tahun ke tahun. Produksi besar-besaran televisi di akhir milenium pertama masehi disebutkan oleh Alvin dan Heidi Toffler dalam buku Mencetak Peradaban Baru telah menjelma menjadi trinitas baru pengganti trinitas lama. Di masa lalu, orang-orang melakukan pemujaan kepada harta, tahta, dan wanita, memasuki awal milenium kedua telah terjadi pengalihan pemujaan kepada komputer, telepon, dan televisi.
Di era televisi tabung dan hitam putih, di dalam satu kampung, pemiliknya masih dapat dihitung dengan jari tangan. Hanya orang-orang tertentu yang mampu membeli televisi tabung hitam putih. Pemilik televisi dapat dikatakan merupakan orang kaya atau terkaya di kampung tersebut.
Anak-anak mulai penasaran dengan daya hipnotis kotak ajaib ini. Setiap sore mereka bergerombol di rumah pemilik televisi, menonton film kartun beramai-ramai, menimbulkan sensasi ketagihan. Karl Marx dan Engels menyebutkan agama sebagai candu masyarakat.
Di babak baru peradaban milenial kedua pandangan Marx dan Engels yang lahir pada awal abad ke-19 ini mengalami pergeseran, televisi lah yang telah menjadi candu bagi masyarakat terutama anak-anak.
Anak-anak selalu mempraktikkan ulang adegan-adegan para tokoh yang ditayangkan oleh televisi. Seorang anak tidak pernah menghentikan gerakan silat saat mereka berjalan setelah menonton film laga di televisi. Ada juga seorang anak yang melempari rumahnya sendiri ketika tidak diberi izin menonton televisi oleh orangtuanya.
Di penghujung tahun 1990 sampai tahun 2010, rata-rata setiap rumah telah memiliki televisi, kotak ajaib itu telah memasuki kamar-kamar kecil, terhubung dengan Laser Disc, Compact Disc, Video Compact Disc, dan Digital Versatile Disc Player.
Dalam skala mikro, pertumbuhan produksi perangkat elektronik tersebut bersamaan dengan peningkatan produksi piringan CD dan VCD bajakan disinyalir menjadi penyebab runtuhnya bisnis bioskop -bioskop di Sukabumi.
Meskipun sekadar asumsi, paling tidak berakhirnya masa kejayaan bioskop di Sukabumi pada awal milenium kedua masehi berisisan dengan penjualan piringan CD dan VCD bajakan di pasar-pasar terbuka di kota ini. Bisnis lain yang tergerus dalam situasi ini yaitu toko-toko penyewaan VCD. Hanya dengan uang Rp10 ribu, konsumen mendapatkan tiga keping VCD bajakan yang dijual di emperen toko Sukabumi.
Industri musik juga menanggung kerugian akibat pembajakan lagu-lagu oleh produsen VCD. Bayangkan, di tahun 2002-2009, konsumen dapat menikmati ratusan berbagai genre lagu dan musik berformat mp3 dalam satu keping VCD dengan harga murah.
Satu keping piringan VCD bajakan telah mengekstrasi puluhan kaset. Perbandingannya, jika seseorang membeli sebuah kaset berisi 10 sampai 12 lagu dengan harga Rp15 ribu, sementara itu dengan harga yang sama, seseorang dapat memiliki tiga keping VCD bajakan berisi 500 lagu.
Saat anda berjalan-jalan di sepanjang jalan Kapten Harun Kabir dan Jl. Ahmad Yani Kota Sukabumi pada tahun 2000-2009, telinga akan akrab dengan berbagai lagu yang diputar di lapak-lapak penjual VCD bajakan.
Berbagai genre lagu dan musik juga diputar di rumah penduduk di perkampungan setiap pagi. Bagi industri musik, kebutuhan dasar manusia berupa penghargaan (esteem) terhadap hak cipta benar-benar telah tercerabut.
Walakin bagi konsumen dan masyarakat, kebutuhan dasar pada piramida ke-empat tersebut dipandang sebagai kemerdekaan untuk mendengarkan lagu kesukaan mereka dengan cukup murah. Dapat menikmati lagu dengan harga murah merupakan hak setiap orang, liberalisasi musik, pasar bebas, konsumen yang berhak memutuskan.
Masyarakat kita memiliki pikiran dengan menjamurnya VCD bajakan tersebut, band-band domestik dan lagunya menjadi lebih popular di masyarakat jika dibandingkan dengan tahun 1990-2000 ketika pemusik dari Malaysia dengan lagu nuansa Melayu lebih popular di negara ini.
Televisi tabung, LD, CD, VCD, dan DVD player berakhir masa kejayaannya ketika revolusi informasi dan teknologi (infotek) sampai pada tahap persaingan pemasaran secara besar-besaran ponsel cerdas dan berbagai platform sistem operasi, aplikasi, dan piranti pendukung lainnya. Ponsel telah ber-evolusi bukan pada ukurannya saja, juga pada fungsinya.
Telepon memiliki arti suara atau perbincangan dilakukan dari jarak jauh, namun ponsel sudah lebih dari itu. Gawai cerdas yang telah dilengkapi oleh kamera depan dan belakang serta terintegrasi dengan Global Positioning System (GPS) telah menjelma menjadi piranti pengawas yang dapat melacak pemiliknya dari jarak jauh. Ponsel-ponsel sederhana benar-benar berfungsi sebagai perangkat perbincangan jarak jauh, walakin ponsel cerdas telah menjelma menjadi perangkat pengendali atau yang dikendalikan dari jarak jauh.
Berbagai platform aplikasi bukan hanya berfungsi sebagai media bersenda gurau, namun sekaligus menjadi piranti surveyor yang dapat mengumpulkan data seluruh pengguna dalam satu kali waktu.
Media sosial seperti Facebook tidak perlu membuat tim pencacah lapangan untuk menyurvei kesukaan masyarakat di berbagai pelosok dunia, Facebook hanya perlu membuat formulir profil pengguna agar diisi secara sukarela oleh penggunanya, mulai dari negara, suku bangsa, agama, kegemaran, pandangan politik, gender, dan data-data lainnya.
Kebutuhan dasar manusia pada piramida tertinggi yaitu kebutuhan mengaktualisasikan diri agar tetap eksis telah disiapkan di dalam piranti-piranti cerdas. Manusia tinggal berfose, difoto, diunggah, disebarkan, lantas merasa puas bahwa dirinya memang telah berhasil mengaktualisasikan diri meskipun melalui media sosial.
Gawai cerdas telah membundelkan kebutuhan-kebutuhan tersier dan barang yang dipandang mewah beberapa dekade lalu. Kamera, radio, tape recorder, televisi, telepon, nintendo, jam digital, pemutar video, kompas, peta, rak-rak buku, sekaligus bukunya dipaketkan dalam satu piranti dalam genggaman.
Dimuat Radar Sukabumi 28 Juli 2020
Posting Komentar untuk "Kebutuhan Dasar Kaum Milenial"