Laba-Laba, Semut, dan Lebah



Pengambilan nama binatang sebagai judul besar beberapa surat di dalam al-Quran merupakan metafora atau penamtsilan(pemisalan) terhadap karakter, watak, dan pola pikir manusia. Al-Quran menyuguhkan bermacam-macam hidangan baik melalui judul, narasi, gramatika, tata bahasa (uslub), termasuk penamaan surat-suratnya. Ayat-ayat di dalam al-Quran bersifat muzmal-global telah menggelitik para cendekiawan muslim dari generasi ke generasi untuk ditafsirkan. Jutaan buku telah ditulis oleh para ulama muslim, kesemuanya dilatarbelakangi oleh semangat agar al-Quran dapat diterapkan dan relevan dengan kehidupan. Meskipun di satu sisi, harus diakui, ada beberapa kelompok yang menjadikannya sebagai rangkaian tekstual dan memandang al-Quran sebagai ayat-ayat baku, tanpa memerlukan penafsiran.

Tiga surat di dalam al-Quran antara lain: al-Ankabut (laba-laba), an-Naml (semut), dan an-Nahl (lebah) merupakan surat dari surat-surat lainnya yang menggunakan nama binatang. Ketiga surat tersebut, kecuali mengandung makna-makna tersurat dan lugas, juga dipenuhi oleh penamtsilan, bagaimana pola pikir manusia dalam menerjemahkan binatang-binatang tersebut. penggunaan nama binatang di dalam al-Quran memiliki maksud agar ayat-ayatnya dapat mudah dimaknai oleh beragam manusia dari berbagai latar belakang. Meskipun otoritas penafsiran al-Quran telah disepakati hanya bolehdilakukan oleh para mufassir, tetapi pada titik tertentu, pemikiran para mufassir abad pertengahan lambat laun akan memudar ketika berhadapan dengan realita yang terus berkembang, terutama pada ayat-ayat yang bersentuhan langsung dengan persoalan fiqih dan tasawuf.

Bukan hanya di dalam al-Quran kisah-kisah binatang dapat kita temui. Cerita binatang yang ditulis oleh Aesop, sastrawan Yunani abad ke 5 SM itu dapat kita baca sampai sekarang. Binatang digambarkan sebagai mahluk-mahluk yang dapat melakukan komunikasi verbal layaknya manusia. Tentu saja, penerjemahan bahasa binatang ke dalam bahasa manusia dilakukan oleh Aesop agar menimbulkan kesan perbincangan yang begitu mengalir. Meskipun faktanya saat sekumpulan kambing berada di dalam kandang, kita hanya akan mendengar kata "mmbeee", namun kata ini merupakan cara mereka berkomunikasi dengan kawanannya. Melalui kisah fabel, Aesop telah berhasil mentransformasikan sifat, tabiat, karakter, dan watak binatang yang pada beberapa situasi sering diadopsi oleh manusia dalam kehidupan ini. Apakah hal ini disebabkan oleh manusia sendiri berasal dari satu kerajaan besar binatang?

Perdebatan Panjang Manusia dan Sifat Binatang

Sebagai mahluk yang pandai melakukan komunikasi dan koordinasi, hanya di dalam dunia manusia ditemui perdebatan panjang sejak revolusi kognitif sampai sekarang. Manusia lah yang membicarakan konsepsi ketuhanan, kemanusiaan, pemikiran, ideologi, keyakinan, keimanan, khayali fiksi, realita, dan fakta-data. Perdebatan di dunia bintang berlangsung alami, siapa kuat dia yang menang. Lain halnya di dunia manusia, yang kalah dapat menjadi pemenang, sebaliknya pemenang dapat menjadi pecundang. Kekuatan di dalam pertarungan manusia tidak hanya fisik melulu. Di dunia manusia isak tangis pun dapat menjadi kekuatan. Orangtua akan kalah atau mengalah demi mendengar isak tangis anak-anaknya. Hanya di dunia manusia, mahluk lembut bernama perempuan dapat menghancurkan hati dan kekuatan seorang perkasa seperti Samson.

Penerapan revolusi kognitif dalam babak sejarah manusia telah berlangsung saat manusia berperadaban membangun koloni dan pemukiman. Pergeseran pemikiran dari bagaimana cara manusia mengumpulkan sumber makanan dan mengambilnya dari alam ke bagaimana cara manusia mempertahankan ketersediaan sumber makanan dan mendomestikasikannya telah mempercepat pertumbuhan cara berpikir manusia. Manusia membutuhkan tombak dan ketangkasan di era berburu. Sementara itu, di era domestikasi binatang, manusia tidak hanya membutuhkan tombak namun membutuhkan strategi bagaimana menjinakkan satwa liar, menempatkannya pada kandang, membantu perkembangbiakannya, menyembelihnya, memasaknya, dan menyajikannya agar benar-benar berdaya guna.

Insting berburu, kecekatan, atensi penuh, dan kebugaran tubuh masyarakat berburu diwariskeun kepada generasi selanjutnya. Di era revolusi agrikultur, piranti lunak bawaan ini benar-benar mengendap di alam bawah sadar manusia. Setelah pemukian-pemukiman terbentuk, sumber pangan terpenuhi, dan komunitas terbentuk, manusia cenderung lebih banyak berdiam diri, berkelompok bersama keluarga inti, sambil menjaga ladang-ladang milik mereka dari gangguan binatang perusak. Sikap agresif manusia perlahan mengendap dalam ruang-ruang kromosom, akan keluar dalam situasi tertentu menjadi watak beringas saat biokimia di dalam tubuh membangunkannya. Sisi kesangaran manusia ini diilustrasikan oleh Machiavelli sebagai watak singa yang harus dimiliki oleh penguasa.

Masyarakat komunal pertanian lebih banyak mengisi hidup mereka dengan berdiam diri. Pranata-pranata sosial mulai terbentuk. Untuk berkumpul bersama, membahas suatu persoalan, masyarakat mereka memerlukan tempat, sebuah bangunan bersama, bernama balai pertemuan. Agar masyarakat menjadi teratur, tertib, dan tidak neko-neko, di balai pertemuan tersebut dibahas norma-norma baru mulai dari aturan hingga penerapan hukuman bagi pelanggar. Norma sebagai aturan tidak tertulis dilengkapi oleh keyakinan, menjelma menjadi norma agama yang diciptakan oleh mansyarakat komunal agar manusia benar-benar mematuhi aturan tanpa alasan, dalam konsep agama-agama saat ini disebut sebagai bentuk keikhlasan. Hasil panen melimpah, dikumpulkan di balai pertemuan, disepakati bersama harus disambut dengan riang gembira dan rasa suka cita, diselenggarakan seremoni dan upacara hasil panen, dipadukan dengan pranata agama yang baru terbentuk, inilah awal kelahiran ritual persembahan termasuk di dalamnya proses penyembelihan binatang.

Tidak selamanya kemakmuran menyertai kehidupan masyarakat komunal primitif. Gagal panen, epidemi, dan goncangan akibat alam lazim terjadi di masyarakat primitif. Dalam kondisi inilah, watak binatang yang mengendap di palung paling dalam kromosom itu bangkit secara perlahan, biokimia mansyarakat kumonal primitif merangsang sikap ekspansif berkembang di dalam diri manusia. Ketersediaan sumber makanan semakin berkurang dapat dipenuhi jika mereka bergerak keluar melakukan ekspansi, merampas komunitas-komunitas lain yang masih menyimpan sumber cadangan makanan dalam jumlah besar. Di era berburu, manusia primitif masuk dan keluar hutan untuk memburu binatang buruan. Di era revolusi agrikultur manusia memasuki pemukiman-pemukiman lain sambiil membawa senjata. Sangat mirip, apakah mereka dapat keluar sambil membawa hasil buruan atau terbunuh oleh apa yang mereka buru.Sejarah konflik antar manusia berlangsung ketika mereka mengalami perkembangan bukan hanya kuantitas juga kualitasnya. Hobbes dalam De Cive menyebutnya dengan homo homini lupus bellum omnium contra omnes, manusia menjadi srigala bagi manusia lain dalam panggung sejarah pertempuran.

Pertarungan dan pertaruhan hidup mati manusia tidak hanya berlangsung secara fisik, juga dalam pemikiran. Pemikiran para filsuf pra-socrates yang memusatkan perhatian kepada alam telah memukul mundur mitos-mitos era Yunani Kunotentang eksistensi alam. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran para psysikoi diserang dan ditata ulang oleh para filsuf era Socrates, idealisme tumbuh di era Plato. Setelah era Socrates dan Plato, Aristoteles telah menerjemahkan idealisme Yunani ke dalam bidang kehidupan dalam bentuk etika dan logika. Pergolakan ini telah dialihkan oleh para sarjana muslim pada abad pertengahan di saat Eropa larut dalam perang saudara dan memperebutkan kekuasaan. Di saat wilayah-wilayah muslim berakrab-akrab dengan filsafat Yunani, Eropa justru kembali kepada pemikiran usang, mitologi. Membicarakan pengetahuan dipandang perbuatan bidat sama halnya saat para sarjana pra-socrates mengemukakan pandangan terciptanya alam.

Rasionalisme Laba-laba, semut, dan lebah

Rasionalisme yang telah dibangun oleh filsuf kuno seperti Aristoteles mulai menerima kritik di abad ke-17 dari kalangan empiris seperti Francis Bacon. Dalam pandangan Bacon, pemikiran kaum rasionalis kuno sangat identik dengan laba-laba yang memintal jaring. Mereka mengeluarkan hal yang bermanfaat bagi dirinya dari dirinya sendiri. Perwatakan kaum rasionalis oleh Bacon diibaratkan dengan laba-laba pemintal jaring ini karena para rasionalis saat itu lebih senang mencari kebenaran melalui pikirannya sendiri tanpa melihat fakta, kritik, dan situasi tertentu. Bacon memandang, kebenaran sama sekali sulit dilahirkan dari pandangan kaum rasionalis yang terlalu senang berselancar dalam kebenaran versi pikiran sendiri, sangat a priori.

Di dunia Islam, kaur rasionalis diwakili oleh para penganut Mu'tazilah. Bagi Francis Bacon, kebenaran di dalam pikiran tetap harus menghasilkan hal baru di dalam kehidupan. Ilustrasi sederhana pandangan Bacon ini bisa dibuktikan dengan situasi terkini. Di dalam logika yang tidak terpengaruh oleh situasi berlaku seperti ini: setiap siswa pasti ujian agar mereka lulus sekolah. Apakah logika ini berlaku di era pandemi? Toh, siswa yang tidak mengikuti ujian juga dapat lulus di era pandemi Covid-19 ini.

Ada juga para perancang rasionalisme ini memiliki watak yang mirip dengan semut, mereka hanya gemar mengumpulkan makanan apa saja, mengangkutnya, mengonsumsinya, lantas habis begitu saja. Para penganut rasionalisme seperti ini hanya gemar mengumpulkan data, apa saja dikoleksikan, tanpa mengolahnya, apalagi bisa bermanfaat bagi dirinya. Di dalam kehidupan ini, manusia seharusnya mencontoh lebah, mereka mengambil nektar bunga tanpa merusak bunga, memilih dan memilahnya, mengonsumsinya, lantas menghasilkan madu. Hal inilah yang seharusnya mewujud dalam kehidupan. Sangat wajar Bacon memiliki pikiran demikian, dia merupakan seorang penganut empiris.

Era pascakebenaran merupakan akumulasi perbedabatan panjang manusia. Meskipun para saintis sosial, agamawan, cendekiawan, dan para pemangku kepentingan menekankan pentingnya kerukunan, kehidupan sebaiknya dikembalikan kembali ke masa awal revolusi kognitif, pandangan seperti ini pun tetap dijadikan bahan pertentangan oleh kelompok-kelompok yang memang gemar bertikai. Pada dasarnya, hal ini terjadi dengan satu alasan yang dapat saja diterima oleh akal sehat. Manusia terus-menerus larut dalam perdebatan karena kita menempati planet Bumi ini sedang berperan sebagai para pemain.

Posting Komentar untuk "Laba-Laba, Semut, dan Lebah"