Diakui atau tidak, mayoritas siswa di negara ini kurang menyukai pelajaran matematika. Rasa kurang suka ini telah melahirkan pandangan kurang baik juga kepada guru-guru matematika, penyebutan guru killer, sangar, galak, dan pelit memberikan nilai kepada siswa sudah lazim disematkan kepada sebagian besar guru mata pelajaran matematika. Dampak susulan lainnya, ada kecenderungan, para siswa juga akhirnya menjadi kurang menyukai pelajaran-pelajaran eksak seperti; fisika dan kimia. Mata pelajaran turunan lainnya yang berhubungan dengan angka-angka membuat para siswa bosan, malas, dan berusaha menghindarinya.
Pertanyaan-pertanyaan –seolah dipengaruhi oleh sikap empiris– sering keluar dari para siswa bahkan masyarakat, misalnya: apa manfaatnya kita mempelajari geometri, trigonometri, logaritma, dan rumus-rumus fisika di dalam kehidupan? Ada juga pertanyaan lebih sangar karena dipengaruhi oleh semangat religius yang timpang, seperti: Apakah nanti kita akan ditanya perkalian oleh malaikat di alam kubur? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kita dengar dan tanpa disadari pernah kita ucapkan baik dengan serius atau hanya sekadar canda gurau.
Kelahiran ilmu pasti dan ilmu alam sangat besar dipengaruhi oleh keberadaan dunia yang telah diciptakan oleh kecerdasan tertinggi dengan akurasi hitungan yang tepat pasti. Jarak Bumi ke Matahari, Bumi ke Bulan, ukuran planet-planet, organ tubuh manusia, gravitasi, lama orbit setiap benda angkasa, hingga kekentalan air yang kita konsumsi –sangat jelas– tidak dapat dipisahkan dari hitungan dan angka-angka. Tanpa mengenal dan memahami geometri, manusia tidak mungkin melihat indahnya Candi Borobudur dan Prambanan, umat Islam mustahil dapat menunaikan ibadah Haji jika Kabah dibangun tanpa perencanaan geometri yang matang. Untuk ukuran kekinian, bagaimana mungkin manusia dapat menikmati berselancar di dunia maya, memiliki gawai dan ponsel cerdas, bercuap-cuap ria melalui media sosial jika Al-Khawarizmi tidak memusatkan perhatian pada logaritma?
Para pecinta matematika dan ilmu pasti memandang rumus dan angka-angka merupakan sederet wahyu suci. Tetapan yang telah diciptakan oleh kecerdasan tertinggi. Manusia harus mengikuti tetapan ini, seperti diungkapkan oleh Francis Bacon, natura non nisi parenda vinticur, alam hanya dapat ditaklukkan dengan cara mematuhinya. Konsekwensi yang dihadapi oleh umat Islam sejak era renaisans karena atensi dan perhatian kepada ilmu-ilmu pasti mulai memudar adalah harus rela tertinggal beberapa langkah dari Eropa yang mulai menyadari pentingnya mematuhi hukum-hukum alam dan memasukkannya ke dalam laboratorium-laboratorium sejak abad 17 M. Mematuhi alam merupakan satu keharusan karena manusia menjadi bagian darinya.
Tidak menyukai ilmu alam dan ilmu pasti sama artinya dengan tidak menyukai diri kita sendiri. Manusia merupakan mahluk algoritma, ini merupakan suatu ketetapan. Keberadaan berbagai gawai mulai dari kalkulator, komputer, ponsel cerdas, dan pengembangan kecerdasan artifisial merupakan proyeksi terhadap keberadaan manusia. Ruang penyimpanan dalam sebuah ponsel cerdas adalah tiruan otak manusia dengan ruang penyimpanan tanpa batas dan tanpa harus dibeli. Kode-kode angka sebagai basis operasional gawai cerdas merupakan tiruan dari sel-sel dan saraf manusia yang saling berhubungan satu sama lain.
Kecerdasan artifisial mulai dikembangkan secara bertahap merupakan upaya manusia untuk membenamkan emosi dan perasaan yang ada dalam diri manusia ke dalam perangkat-perangkat cerdas. Cara kerja perangkat tersebut mirip dengan manusia, tetapi masih sederhana, mereka hanya dapat merespon emosi dan perasaan manusia berdasarkan gejala yang ditimbulkannya. Sebaliknya, sebagai mahluk algoritma, justru emosi manusia lah yang mudah dipengaruhi oleh keberadaan perangkat-perangkat cerdas ini.
Manusia dapat berbahagia saat sebuah ponsel dapat mengucapkan kata-kata, membalas sapaan, dan memberikan solusi yang relevan terhadap permasalahan yang dihadapi. Manusia juga dapat meluapkan kekecewaan ketika dikalahkan dalam permainan catur oleh aplikasi permainan yang baru saja diluncurkan. Kapan komputer dan mesin catur ini berlatih? Mengherankan, manusia berlatih catur sejak usia anak-anak sampai menghasikan waktu berpuluh tahun dikalahkan oleh aplikasi catur yang baru saja diluncurkan.
Lantas, apakah manusia pada akhirnya akan takluk dan menjadi budak kecerdasan buatan di masa depan? Apakah manusia akan tersingkirkan oleh perangkat-perangkat cerdas karena bidang-bidang pekerjaan pun pada akhirnya direbut oleh robot-robot cerdas? Pernyataan seperti ini merupakan sebuah refleksi dari peristiwa kehidupan yang dialami oleh manusia sendiri. Tuhan telah menciptakan manusia, kecerdasan yang dibenamkan kepada manusia sebetulnya merupakan citra Tuhan, namun dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit manusia merasa paling cerdas dari-Nya dan berusaha mengalahkan Tuhan, paling tidak berusaha merebut kekuasaan-Nya. Lambat laun, dapat saja robot-robot cerdas yang dibuat oleh manusia juga merebut kekuasaan manusia atas diri mereka ketika kesadaran telah dibenamkan kepada mahluk-mahluk artifisial ini.
Benar, manusia-manusia yang kurang menyukai matematika dan ilmu-ilmu alam lah yang akan menjadi korban dan budak gawai-gawai cerdas di masa depan. Tanpa pertimbangan rasionalitas dan hanya mengandalkan sikap emosional manusia akan mudah terjerembab ke dalam rayuan manis gawai cerdas, apalagi jika suatu saat nanti gawai-gawai cerdas ini benar-benar telah mampu membaca emosi dan perasaan manusia. Dan situasi ini sudah mulai berjalan. Gejala emosional yang dipancarkan oleh manusia dapat dibaca secara cepat oleh gawai cerdas yang telah memiliki basis data gejala yang disebabkan oleh luapan biokimia di dalam tubuh manusia. Saat manusia bahagia, dapat saja gawai cerdas tiba-tiba menawarkan pemutaran lagu We Are The Champion atau Goyang Dombret. Di saat manusia sedih, gawai cerdas dapat saja memutar lagu-lagu melankolis. Atau menawarkan jenis hiburan yang paling cocok dengan karakter pemilik gawai.
Pada akhirnya, gawai cerdas akan memiliki beragam asumsi dan pemikiran tentang manusia yang telah menciptakannya. Ini sangat mirip dengan manusia yang sering memperbincangkan Tuhan dengan versi manusia sendiri. Bukankah setiap manusia selalu berusaha merebut perhatian dari Tuhan dengan menawarkan diri, merajuk-merayu dengan kebaikan. Tentu saja, Tuhan sangat berbeda dengan manusia, Dia tidak akan pernah merasa tersanjung, tersinggung, apalagi mengikuti keinginan manusia ciptaan-Nya. Tetapi manusia tidak demikian, mereka akan mematuhi perintah Google saat menyalakan rute jalan untuk sampai ke tempat tujuan. Manusia akan gelisah ketika indikator batere gawai cerdas memperlihatkan angka 10%, bahkan cenderung menghamba kepada gawai tersebut. Di masa depan, gawai-gawai cerdas ini akan mengucapkan terima kasih sebagai rasa syukur kepada manusia karena telah membantu daya hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan –seolah dipengaruhi oleh sikap empiris– sering keluar dari para siswa bahkan masyarakat, misalnya: apa manfaatnya kita mempelajari geometri, trigonometri, logaritma, dan rumus-rumus fisika di dalam kehidupan? Ada juga pertanyaan lebih sangar karena dipengaruhi oleh semangat religius yang timpang, seperti: Apakah nanti kita akan ditanya perkalian oleh malaikat di alam kubur? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kita dengar dan tanpa disadari pernah kita ucapkan baik dengan serius atau hanya sekadar canda gurau.
Kelahiran ilmu pasti dan ilmu alam sangat besar dipengaruhi oleh keberadaan dunia yang telah diciptakan oleh kecerdasan tertinggi dengan akurasi hitungan yang tepat pasti. Jarak Bumi ke Matahari, Bumi ke Bulan, ukuran planet-planet, organ tubuh manusia, gravitasi, lama orbit setiap benda angkasa, hingga kekentalan air yang kita konsumsi –sangat jelas– tidak dapat dipisahkan dari hitungan dan angka-angka. Tanpa mengenal dan memahami geometri, manusia tidak mungkin melihat indahnya Candi Borobudur dan Prambanan, umat Islam mustahil dapat menunaikan ibadah Haji jika Kabah dibangun tanpa perencanaan geometri yang matang. Untuk ukuran kekinian, bagaimana mungkin manusia dapat menikmati berselancar di dunia maya, memiliki gawai dan ponsel cerdas, bercuap-cuap ria melalui media sosial jika Al-Khawarizmi tidak memusatkan perhatian pada logaritma?
Para pecinta matematika dan ilmu pasti memandang rumus dan angka-angka merupakan sederet wahyu suci. Tetapan yang telah diciptakan oleh kecerdasan tertinggi. Manusia harus mengikuti tetapan ini, seperti diungkapkan oleh Francis Bacon, natura non nisi parenda vinticur, alam hanya dapat ditaklukkan dengan cara mematuhinya. Konsekwensi yang dihadapi oleh umat Islam sejak era renaisans karena atensi dan perhatian kepada ilmu-ilmu pasti mulai memudar adalah harus rela tertinggal beberapa langkah dari Eropa yang mulai menyadari pentingnya mematuhi hukum-hukum alam dan memasukkannya ke dalam laboratorium-laboratorium sejak abad 17 M. Mematuhi alam merupakan satu keharusan karena manusia menjadi bagian darinya.
Tidak menyukai ilmu alam dan ilmu pasti sama artinya dengan tidak menyukai diri kita sendiri. Manusia merupakan mahluk algoritma, ini merupakan suatu ketetapan. Keberadaan berbagai gawai mulai dari kalkulator, komputer, ponsel cerdas, dan pengembangan kecerdasan artifisial merupakan proyeksi terhadap keberadaan manusia. Ruang penyimpanan dalam sebuah ponsel cerdas adalah tiruan otak manusia dengan ruang penyimpanan tanpa batas dan tanpa harus dibeli. Kode-kode angka sebagai basis operasional gawai cerdas merupakan tiruan dari sel-sel dan saraf manusia yang saling berhubungan satu sama lain.
Kecerdasan artifisial mulai dikembangkan secara bertahap merupakan upaya manusia untuk membenamkan emosi dan perasaan yang ada dalam diri manusia ke dalam perangkat-perangkat cerdas. Cara kerja perangkat tersebut mirip dengan manusia, tetapi masih sederhana, mereka hanya dapat merespon emosi dan perasaan manusia berdasarkan gejala yang ditimbulkannya. Sebaliknya, sebagai mahluk algoritma, justru emosi manusia lah yang mudah dipengaruhi oleh keberadaan perangkat-perangkat cerdas ini.
Manusia dapat berbahagia saat sebuah ponsel dapat mengucapkan kata-kata, membalas sapaan, dan memberikan solusi yang relevan terhadap permasalahan yang dihadapi. Manusia juga dapat meluapkan kekecewaan ketika dikalahkan dalam permainan catur oleh aplikasi permainan yang baru saja diluncurkan. Kapan komputer dan mesin catur ini berlatih? Mengherankan, manusia berlatih catur sejak usia anak-anak sampai menghasikan waktu berpuluh tahun dikalahkan oleh aplikasi catur yang baru saja diluncurkan.
Lantas, apakah manusia pada akhirnya akan takluk dan menjadi budak kecerdasan buatan di masa depan? Apakah manusia akan tersingkirkan oleh perangkat-perangkat cerdas karena bidang-bidang pekerjaan pun pada akhirnya direbut oleh robot-robot cerdas? Pernyataan seperti ini merupakan sebuah refleksi dari peristiwa kehidupan yang dialami oleh manusia sendiri. Tuhan telah menciptakan manusia, kecerdasan yang dibenamkan kepada manusia sebetulnya merupakan citra Tuhan, namun dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit manusia merasa paling cerdas dari-Nya dan berusaha mengalahkan Tuhan, paling tidak berusaha merebut kekuasaan-Nya. Lambat laun, dapat saja robot-robot cerdas yang dibuat oleh manusia juga merebut kekuasaan manusia atas diri mereka ketika kesadaran telah dibenamkan kepada mahluk-mahluk artifisial ini.
Benar, manusia-manusia yang kurang menyukai matematika dan ilmu-ilmu alam lah yang akan menjadi korban dan budak gawai-gawai cerdas di masa depan. Tanpa pertimbangan rasionalitas dan hanya mengandalkan sikap emosional manusia akan mudah terjerembab ke dalam rayuan manis gawai cerdas, apalagi jika suatu saat nanti gawai-gawai cerdas ini benar-benar telah mampu membaca emosi dan perasaan manusia. Dan situasi ini sudah mulai berjalan. Gejala emosional yang dipancarkan oleh manusia dapat dibaca secara cepat oleh gawai cerdas yang telah memiliki basis data gejala yang disebabkan oleh luapan biokimia di dalam tubuh manusia. Saat manusia bahagia, dapat saja gawai cerdas tiba-tiba menawarkan pemutaran lagu We Are The Champion atau Goyang Dombret. Di saat manusia sedih, gawai cerdas dapat saja memutar lagu-lagu melankolis. Atau menawarkan jenis hiburan yang paling cocok dengan karakter pemilik gawai.
Pada akhirnya, gawai cerdas akan memiliki beragam asumsi dan pemikiran tentang manusia yang telah menciptakannya. Ini sangat mirip dengan manusia yang sering memperbincangkan Tuhan dengan versi manusia sendiri. Bukankah setiap manusia selalu berusaha merebut perhatian dari Tuhan dengan menawarkan diri, merajuk-merayu dengan kebaikan. Tentu saja, Tuhan sangat berbeda dengan manusia, Dia tidak akan pernah merasa tersanjung, tersinggung, apalagi mengikuti keinginan manusia ciptaan-Nya. Tetapi manusia tidak demikian, mereka akan mematuhi perintah Google saat menyalakan rute jalan untuk sampai ke tempat tujuan. Manusia akan gelisah ketika indikator batere gawai cerdas memperlihatkan angka 10%, bahkan cenderung menghamba kepada gawai tersebut. Di masa depan, gawai-gawai cerdas ini akan mengucapkan terima kasih sebagai rasa syukur kepada manusia karena telah membantu daya hidupnya.
Dimuat Watyutink 19 Juli 2020
Posting Komentar untuk "Manusia Si Mahluk Algoritma"