Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 telah mendapatkan reaksi penolakan dari berbagai pihak. Undang-undang Sapujagat Cipta Kerja dipandang oleh beragam pihak sangat tidak memihak kepada buruh. Pendidikan yang dimasukkan ke dalam salah satu klaster dalam Undang-undang ini juga mendapatkan kritik dari kalangan yang menganggap sudah seharusnya masalah pendidikan murni menjadi materi dalam Undang-Undang pendidikan saja.
Kerancuan yang belum dapat dipahami oleh mayoritas rakyat karena hembusan isu bahwa pasal-pasal tentang ketenagakerjaan dipandang mengandung kontroversi telah menyulut demonstrasi di setiap pelosok negara ini. Buruh dan mahasiswa bergerak, meskipun dapat saja apa yang dikatakan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahwa sejumlah aksi demontrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja ditunggangi oleh pihak tertentu ada benarnya. Walakin, munculnya demonstrasi besar-besaran dengan dalih apapun yang menjadi tuntutan pada akhirnya sering berujung pada sikap anarki, pengrusakan fasilitas umum, hingga korban baik dari pihak pendemo juga dari para petugas.
Pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah seperti pada Undang-Undang Cipta Kerja pun berlangsung di ranah dunia maya. Perdebatan terhadap kehadiran regulasi ini semakin meruncingkan perbedaan pandangan politik dan cara masyarakat dalam menyikapi setiap kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah. Dalam kondisi ini, padahal materi regulasi tersebut jelas sekali bersentuhan langsung dengan kaum buruh, acapkali dijadikan peluang oleh para politisi untuk memerankan aksi keberpihakan mereka kepada masyarakat. Padahal jika dicermati secara saksama, peran para politisi dari pusat hingga daerah hakikatnya terlalu sering memperlihatkan ketidakajegan bahwa mereka benar-benar berpihak kepada masyarakat. Dalam ungkapan Niccolo Machiavelli, persoalan kekuasaan merupakan ranah realitas bukan sekadar idealisme, maka pada tataran realitas, apa yang terjadi sebenarnya, motif kekuasaan dan politik memang mengikuti adagium: tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan.
Pihak yang merasa harus membela pemerintah sering mengungkapkan kalimat berapi-api, misalnya terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ini, mereka dengan sangat ringan menuliskan kalimat: “ Sudah dibaca belum Undang-Undangnya? Para pendemo tidak tahu apa-apa, lantas ikut berdemo, situ sehat?” Sepintas, ungkapan seperti ini seolah benar, jika ditempatkan pada ranah idealisme. Memang seharunya setiap kebijakan dan regulasi benar-benar dipahami oleh masyarakat. Namun pada ranah realitas, dapat dibayangkan jika seorang buruh harus dipaksa untuk membaca Undang-Undang Cipta Kerja, sebuah pekerjaan berat bukan? Membaca dan mengkaji regulasi merupakan tugas pihak-pihak yang memiliki kompetensi tentangnya kemudian dibahasakan kembali kepada subyek dan obyek regulasi secara efektif. Cara mengkomunikasikan regulasi dan kebijakan yang kurang efektif kepada masyarakat ini telah menjadi sebab Undang-Undang Cipta Kerja tidak dipahami secara utuh oleh masyarakat. Hal ini juga telah membuka peluang disalahtafsirkan hingga dijadikan bahan hasutan oleh beberapa pihak bahwa regulasi ini sangat tidak berpihak kepada kaum buruh.
Sementara, kelompok yang kurang setuju dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja juga tampak membuat narasi-narasi liar, provokatif, dan pseudo-logic baik melalui media sosial atau platform obrolan daring. Narasi negatif ini dengan sangat mudah menyulut dan membakar kaum buruh. Demo besar-besaran pada akhirnya dilakukan dan berakhir dengan kericuhan. Di sisi lain, lembaga eksekutif dan legislatif di berbagai wilayah terlihat mulai memerankan sebagai aktor pembela yang sebetulnya tidak perlu dilakukan karena memang bukan ranah mereka.
Pengesahan RUU yang Kurang Peka
Kepekaan para anggota DPR yang mengesahkan RUU menjadi UU Cipta Kerja terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pascapengesahan dapat dipandang sangat kecil. Hal yang seharusnya dilakukan oleh para legislator sebelum mengesahkan RUU menjadi UU adalah bagaimana mereka dapat meraba dan merasa apa yang diaspirasikan oleh masyarakat, tokoh, dan pihak lain. Mereka juga sudah seharusnya, apalagi sebagai politisi yang menempati puncak piramida legislasi, membaca dengan cermat dampak dari pengesahan. Hal paling penting dalam pengesahan regulasi atau kebijakan bukan persoalan cepat, lambat, baik, jeleknya semata melainkan ketepatan, kemaslahatan, dan keberpihakan pada rakyat yang mereka wakili. Undang-Undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak sangat gegabah jika pengesahannya seolah kajar tayang.
Fungsi legislasi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat ketika mereka telah terpilih sebagai pemeran legislatif bukan hanya mewakili konstituen saat mereka dipilih. Tidak jauh berbeda dengan eksekutif, saat setelah terpilih menjadi kepada daerah dan kepala negara, Presiden misalnya tidak hanya milik rakyat yang telah memberikan pilihan kepadanya di saat Pilpres. Presiden telah menjadi simbol negara, artinya milik semua pihak, baik pihak yang tetap mati-matian memberikan dukungan atau sebaliknya mencaci maki hingga mati. Adagium yang tepat disematkan kepada kedua kelompok ini antara lain: Right or wrong is my president bagi simpatisan, dan dari pihak yang antipati berlaku adagium: semua salah presiden. Obyektivitas tampak menjadi samar dan bias dalam situasi seperti ini. Maka, cara dan tipe berpolitik kita di milenium kedua ini memang tidak lagi mencerminkan keajegan pranata politik.
Penolakan yang Utopis
Penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh partai politik tampak sangat utopis dan populis, hal ini menunjukkan peran legislatif saat sidang paripurna masih belum maksimal. Pengesahan Undang-Undang yang dilakukan di parlemen tersebut secara garis lurus sangat tidak tepat dilakukan penolakan di jalanan. Di gedung parlemen lah seharusnya para wakil rakyat menolak mati-matian sebuah regulasi yang mereka rembugkan, karena fungsi legislasi mereka memang seperti itu. Menggemakan wacana penolakan di jalanan justru telah menempatkan mereka sebagai sebuah parlemen yang memiliki mimbar di jalanan.
Para founding father negara ini telah memberikan contoh bagaimana sebuah parlemen memerankan fungsi mereka dengan kapabilitas yang mencirikan sebagai bangsawan besar. Sebagai contoh dalam sejarah kebangsaan kita, bagaimana dinamika perubahan dari mulai muatan dasar negara, perubahan UUD 45 ke UUD Sementara 1950 hingga kembali lagi kepada UUD 1945, merupakan kinerja yang dipenuhi oleh sikap kolaboratif dan akomofatif antar tokoh saat itu meskipun berbeda latar belakang baik partai, ideologi, juga pandangan hidup.
Sikap utopia diperlihatkan oleh kubu Islam saat merancang sila-sila dalam Pancasila, mereka memasukkan tujuh kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun sikap utopis tersebut luruh ketika tokoh-tokoh dari kubu nasionalis mengajukan sila pertama dalam Pancasila harus memerhatikan realitas keberagaman bangsa ini. Perwakilan dari kelompok Islam juga dengan legowo mengambil langkah realistis dengan menyetujui perubahan pada sila pertama Pancasilan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun isu yang berkembang perubahan sila pertama ini dilatarbelakangi oleh aspirasi dari tokoh-tokoh Indonesia bagian Timur yang tidak akan mengakui kedaulatan NKRI jika sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap dijadikan sila pertama, bukan berarti tokoh-tokoh Islam takut dengan ancaman ini kecuali mereka memang telah memilih kaidah dalam ushul fiqh, Dar’ul mafasid muqoddam ‘ala janbil masholih. Menghindari keburukan harus lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Jika saja para tokoh, eksukutif dan legislatif mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini, pertikaian, kecamuk demonstrasi, sudah tentu dapat dihindari. Bagaimana juga, perselisihan dalam dunia realitas apalagi jika pada perkembangannya dijadikan tunggangan politis merupakan suatu kondisi yang tidak mendahulukan –menurut Isaiah Berlin- kebaikan dari lubuk hari yang terdalam.
Dipublikasikan oleh Radar Sukabumi, 14 Oktober 2020
Kerancuan yang belum dapat dipahami oleh mayoritas rakyat karena hembusan isu bahwa pasal-pasal tentang ketenagakerjaan dipandang mengandung kontroversi telah menyulut demonstrasi di setiap pelosok negara ini. Buruh dan mahasiswa bergerak, meskipun dapat saja apa yang dikatakan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahwa sejumlah aksi demontrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja ditunggangi oleh pihak tertentu ada benarnya. Walakin, munculnya demonstrasi besar-besaran dengan dalih apapun yang menjadi tuntutan pada akhirnya sering berujung pada sikap anarki, pengrusakan fasilitas umum, hingga korban baik dari pihak pendemo juga dari para petugas.
Pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah seperti pada Undang-Undang Cipta Kerja pun berlangsung di ranah dunia maya. Perdebatan terhadap kehadiran regulasi ini semakin meruncingkan perbedaan pandangan politik dan cara masyarakat dalam menyikapi setiap kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah. Dalam kondisi ini, padahal materi regulasi tersebut jelas sekali bersentuhan langsung dengan kaum buruh, acapkali dijadikan peluang oleh para politisi untuk memerankan aksi keberpihakan mereka kepada masyarakat. Padahal jika dicermati secara saksama, peran para politisi dari pusat hingga daerah hakikatnya terlalu sering memperlihatkan ketidakajegan bahwa mereka benar-benar berpihak kepada masyarakat. Dalam ungkapan Niccolo Machiavelli, persoalan kekuasaan merupakan ranah realitas bukan sekadar idealisme, maka pada tataran realitas, apa yang terjadi sebenarnya, motif kekuasaan dan politik memang mengikuti adagium: tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan.
Pihak yang merasa harus membela pemerintah sering mengungkapkan kalimat berapi-api, misalnya terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ini, mereka dengan sangat ringan menuliskan kalimat: “ Sudah dibaca belum Undang-Undangnya? Para pendemo tidak tahu apa-apa, lantas ikut berdemo, situ sehat?” Sepintas, ungkapan seperti ini seolah benar, jika ditempatkan pada ranah idealisme. Memang seharunya setiap kebijakan dan regulasi benar-benar dipahami oleh masyarakat. Namun pada ranah realitas, dapat dibayangkan jika seorang buruh harus dipaksa untuk membaca Undang-Undang Cipta Kerja, sebuah pekerjaan berat bukan? Membaca dan mengkaji regulasi merupakan tugas pihak-pihak yang memiliki kompetensi tentangnya kemudian dibahasakan kembali kepada subyek dan obyek regulasi secara efektif. Cara mengkomunikasikan regulasi dan kebijakan yang kurang efektif kepada masyarakat ini telah menjadi sebab Undang-Undang Cipta Kerja tidak dipahami secara utuh oleh masyarakat. Hal ini juga telah membuka peluang disalahtafsirkan hingga dijadikan bahan hasutan oleh beberapa pihak bahwa regulasi ini sangat tidak berpihak kepada kaum buruh.
Sementara, kelompok yang kurang setuju dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja juga tampak membuat narasi-narasi liar, provokatif, dan pseudo-logic baik melalui media sosial atau platform obrolan daring. Narasi negatif ini dengan sangat mudah menyulut dan membakar kaum buruh. Demo besar-besaran pada akhirnya dilakukan dan berakhir dengan kericuhan. Di sisi lain, lembaga eksekutif dan legislatif di berbagai wilayah terlihat mulai memerankan sebagai aktor pembela yang sebetulnya tidak perlu dilakukan karena memang bukan ranah mereka.
Pengesahan RUU yang Kurang Peka
Kepekaan para anggota DPR yang mengesahkan RUU menjadi UU Cipta Kerja terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pascapengesahan dapat dipandang sangat kecil. Hal yang seharusnya dilakukan oleh para legislator sebelum mengesahkan RUU menjadi UU adalah bagaimana mereka dapat meraba dan merasa apa yang diaspirasikan oleh masyarakat, tokoh, dan pihak lain. Mereka juga sudah seharusnya, apalagi sebagai politisi yang menempati puncak piramida legislasi, membaca dengan cermat dampak dari pengesahan. Hal paling penting dalam pengesahan regulasi atau kebijakan bukan persoalan cepat, lambat, baik, jeleknya semata melainkan ketepatan, kemaslahatan, dan keberpihakan pada rakyat yang mereka wakili. Undang-Undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak sangat gegabah jika pengesahannya seolah kajar tayang.
Fungsi legislasi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat ketika mereka telah terpilih sebagai pemeran legislatif bukan hanya mewakili konstituen saat mereka dipilih. Tidak jauh berbeda dengan eksekutif, saat setelah terpilih menjadi kepada daerah dan kepala negara, Presiden misalnya tidak hanya milik rakyat yang telah memberikan pilihan kepadanya di saat Pilpres. Presiden telah menjadi simbol negara, artinya milik semua pihak, baik pihak yang tetap mati-matian memberikan dukungan atau sebaliknya mencaci maki hingga mati. Adagium yang tepat disematkan kepada kedua kelompok ini antara lain: Right or wrong is my president bagi simpatisan, dan dari pihak yang antipati berlaku adagium: semua salah presiden. Obyektivitas tampak menjadi samar dan bias dalam situasi seperti ini. Maka, cara dan tipe berpolitik kita di milenium kedua ini memang tidak lagi mencerminkan keajegan pranata politik.
Penolakan yang Utopis
Penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh partai politik tampak sangat utopis dan populis, hal ini menunjukkan peran legislatif saat sidang paripurna masih belum maksimal. Pengesahan Undang-Undang yang dilakukan di parlemen tersebut secara garis lurus sangat tidak tepat dilakukan penolakan di jalanan. Di gedung parlemen lah seharusnya para wakil rakyat menolak mati-matian sebuah regulasi yang mereka rembugkan, karena fungsi legislasi mereka memang seperti itu. Menggemakan wacana penolakan di jalanan justru telah menempatkan mereka sebagai sebuah parlemen yang memiliki mimbar di jalanan.
Para founding father negara ini telah memberikan contoh bagaimana sebuah parlemen memerankan fungsi mereka dengan kapabilitas yang mencirikan sebagai bangsawan besar. Sebagai contoh dalam sejarah kebangsaan kita, bagaimana dinamika perubahan dari mulai muatan dasar negara, perubahan UUD 45 ke UUD Sementara 1950 hingga kembali lagi kepada UUD 1945, merupakan kinerja yang dipenuhi oleh sikap kolaboratif dan akomofatif antar tokoh saat itu meskipun berbeda latar belakang baik partai, ideologi, juga pandangan hidup.
Sikap utopia diperlihatkan oleh kubu Islam saat merancang sila-sila dalam Pancasila, mereka memasukkan tujuh kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun sikap utopis tersebut luruh ketika tokoh-tokoh dari kubu nasionalis mengajukan sila pertama dalam Pancasila harus memerhatikan realitas keberagaman bangsa ini. Perwakilan dari kelompok Islam juga dengan legowo mengambil langkah realistis dengan menyetujui perubahan pada sila pertama Pancasilan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun isu yang berkembang perubahan sila pertama ini dilatarbelakangi oleh aspirasi dari tokoh-tokoh Indonesia bagian Timur yang tidak akan mengakui kedaulatan NKRI jika sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap dijadikan sila pertama, bukan berarti tokoh-tokoh Islam takut dengan ancaman ini kecuali mereka memang telah memilih kaidah dalam ushul fiqh, Dar’ul mafasid muqoddam ‘ala janbil masholih. Menghindari keburukan harus lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Jika saja para tokoh, eksukutif dan legislatif mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini, pertikaian, kecamuk demonstrasi, sudah tentu dapat dihindari. Bagaimana juga, perselisihan dalam dunia realitas apalagi jika pada perkembangannya dijadikan tunggangan politis merupakan suatu kondisi yang tidak mendahulukan –menurut Isaiah Berlin- kebaikan dari lubuk hari yang terdalam.
Dipublikasikan oleh Radar Sukabumi, 14 Oktober 2020
Posting Komentar untuk "Keunikan Cara Berpolitik di Milenium Ke-dua"