Kolaborasi Kreatif Membentuk Kampung Tohaga

Kolaborasi telah menjadi mantra atau jampi ampuh sejak lima tahun terakhir. Meskipun praktiknya telah dilakukan oleh setiap orang, tetapi pembahasan dan pembahasaan kembali istilah ini mulai menyebar dan diwacanakan oleh penutur bahasa mulai dari pemerintah hingga masyarakat sejak internet telah benar-benar dipandang sebagai kebutuhan pokok. Kolaborasi dalam berbagai hal dan dapat disebut sebagai suatu proses konvergensi berbagai unsur telah menjadi keniscayaan yang sulit dihindari oleh manusia di era kemajuan infotech. 

Perkembangan awal kolaborasi dan konvergensi –mau tidak mau harus diakui– bermula sejak manusia memproduksi gawai canggih dan cerdas seperti smartphone. Beberapa dekade sebelumnya, setiap kanal atau saluran berjalan secara masing-masing. Televisi dan radio berjalan pada kanal gelombang elektromagnetik, telepon berjalan melalui saluran kabel, kamera, tustel, dan peralatan elektronik lainnya berjalan pada saluran yang tidak terkonvergensi dengan gawai-gawai lainnya.

Kebangkitan produksi ponsel cerdas yang ditunjang oleh internet berkecepatan tinggi tidak dapat mengelakkan kebutuhan kolaborasi dan konvergensi setiap gawai dan peralatan. Saat ini, dalam satu genggaman, manusia dapat menonton televisi daring, mendengarkan lagu di Spotify, memotret dirinya sendiri tanpa harus menunggu seorang tukang potret keliling yang datang mingguan, membuat film tentang dirinya sendiri, mengobrol pada saluran telepon dan platform obrolan daring, bahkan dalam satu waktu, manusia modern dapat mengoperasikan beberapa aplikasi dalam satu gawai sekaligus.

Situasi seperti di atas, ketika manusia telah berhasil mengkonvergensikan gawai, internet, dan beragam aplikasi, jauh-jauh hari telah disebutkan oleh Karl Popper, akan membentuk masyarakat terbuka, sebuah masyarakat yang berafiliasi dengan sistem ekonomi pasar. Bagi Popper, sistem ekonomi pasar jauh berbeda dengan kapitalisme yang berkiblat pada Darwinisme Sosial.

Jika di dalam kapitalisme disebutkan mereka yang kuat dan pemilik kapital yang selalu memenangkan persaingan atau pertarungan, di dalam ekonomi pasar yang disodorkan oleh Popper, keadilan yang dijunjung tinggi lah yang akan bertahan dan mampu memuaskan setiap pihak. Seperti halnya di dalam penggunan internet, jauh sebelum ekonomi pasar dikembangkan oleh negara-negara di dunia, harga paket internet masih sulit dijangkau oleh beberapa kalangan, tetapi saat ini, dengan berbekal pulsa seribu rupiah, manusia dapat membeli paket internet unlimited harian.

Kelahiran masyarakat terbuka bersamaan dengan konvergensi berbagai kanal ini ditekankan oleh Popper bahwa kebaikan bersama dan keadilan sosial menjadi syarat mutlak dalam masyarakat. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan. Alasan Popper betapa pentingnya campur tangan negara disebabkan oleh cara pandang keliru manusia terhadap makna kebebasan.

Sejak era pencerahan (aufklarung), para penganut kebebasan seolah memiliki pandangan pseudo, kebebasan mutlak tanpa batas berarti pihak yang kuat secara semena-mena dapat melakukan penyintasan seenaknya kepada pihak lain yang dipandang lemah dan belum mendapatkan kemerdekaan. Masyarakat terbuka tanpa campur tangan negara justru akan mengaburkan kemerdekaan manusia yang hakiki dan tergantikan oleh “ocehan dan omelan” berbagai pihak yang menganggap bahwa dirinya bebas mengemukakan pendapat meskipun tidak bernilai pendapat.

Kebaikan dari Masyarakat Terbuka

Hal baik yang perlu dicatat dengan kelahiran masyarakat terbuka, bukan masyarakat jumud, magis, tribal, dan kolektif adalah kemerdekaan dan jalan hidup setiap individu diputuskan oleh caranya sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, iklim seperti ini akan melahirkan kreativitas atau dalam terma Sunda disebut sikap motékar dalam setiap invividu. Bagi masyarakat modern, kreativitas individu dipandang sebagai sumber daya terbarukan yang akan mengganti posisi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Bagi Indonesia, kemunculan individu kreatif ini merupakan modal sosial dalam menyongsong Indonesia Emas tahun 2045.

Kebijakan pemerintah dari pusat sampai daerah difokuskan pada ikhtiar bersama membangun sumber daya manusia (SDM) unggul. Dengan menyodorkan pandangan Popper seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kelahiran individu kreatif yang dipadukan dengan nilai keadilan sosial ini diharapkan dapat mewujudkan masyarakat sejahtera. Saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil telah melakukan pembenahan terhadap masalah ini dengan mendirikan Bandung Creative Hub, sebuah lembaga tempat insan atau individu kreatif berkumpul bersama mempraktikkan gagasan-gagasannya lebih daripada sekadar ide.

Kota dan Kabupaten lainnya, seperti Sukabumi mulai mengadaptasi gagasan tersebut dengan mendirikan Sukabumi Creative Hub. Meskipun kebijakan tersebut sampai saat ini baru diserap oleh kaum milenial urban-perkotaan, pada tahap selanjutnya jika lembaga ini dikelola secara baik dan menerapkan prinsip keadilan, penyerapannya akan sangat terbuka dapat diterima oleh setiap kelompok masyarakat.

Mantra Kolaborasi

Jika masyarakat kolektif magis dan tradisional selalu menghubungkan kehidupannya dengan jampi, jangjawokan, dan mantra, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat modern, mereka tetap menggunakan mantra-mantra modern baik berupa kode-kode algoritma juga pembahasaan yang dituturukan seperti halnya ungkapan kata kolaborasi. Secara harafiah, kata ini diartikan sebagai perbuatan kerja sama dengan pesaing. Jika ditelaah lebih saksama, sikap ini sebetulnya ingin menihilkan bentuk-bentuk persaingan, permusuhan, dan memunculkannya ke dalam kerja sama yang dipandang lebih halus dan menguntungkan semua pihak.

Kemunculan Perang Dingin sejak akhir Perang Dunia II yang dilakukan oleh dua blok; Barat dan Timur telah mempolarisasikan dunia menjadi dua kubu: kapitalis-liberalis dan komunis-sosialis. Dunia yang terbelah ini menjadi beku dan dingin, persaingan dan permusuhan menguat, setiap pihak saling curiga, dipenuhi oleh propaganda yang pada akhirnya meskipun kapitalisme dan komunisme mati-matian membantah hegemoni, kekuasaan yang dibangun oleh dua blok ini justru melahirkan tirani kelompok bagi kapitalisme dan tirani tunggal bagi komunisme.

Keruntuhan Komunisme pada medio 80-an dipandang sebagai kemenangan kapitalisme tidak sepenuhnya benar. Sebab pada praktiknya, pada era ini ekonomi pasar yang tumbuh. Perusahaan-perusahaan besar tidak lagi semena-mena melakukan produksi besar-besaran suatu barang. Pembuatan produk apa saja dilatarbelakangi oleh sejauh mana barang tersebut dapat diterima oleh pasar. Adagium konsumen adalah raja benar-benar dipegang oleh para pemilik perusahaan.

Persaingan global yang mucul pada dekade 80-an hingga sekarang disebutkan oleh beberapa ahli sosial tidak lagi digunakan sebagai media propaganda. Beberapa negara memang memproduksi senjata balistik nuklir, namun mereka sama sekali mengalami kesulitan bagaimana menggunakannya? Pembuatan senjata nuklir sama sekali tidak dimaksudkan digunakan untuk perang melainkan sekadar untuk unjuk gigi pada negara lain sebagai negara kuat. Pada praktiknya, setiap negara dihubungkan oleh mantra kolaborasi meskipun antara Amerika Serikat dan Tiongkok seolah melakukan persaingan yang semakin meruncing.

Di ranah lokal (Kota Sukabumi) hal tersebut keluar saat penulis melakukan dialog interaktif dengan Nurwenda Juniarta dan Kang Endad dalam acara mingguan “Ngaji Sejarah dan Arsip Kota Sukabumi”. Sebagai karikaturis dan seniman spon, kedua orang ini telah melakukan kolaborasi dalam menyajikan seni rupa kreatif agar diterima oleh masyarakat baik lokal maupun global. Kolaborasi dalam berkesenian seperti ini patut menjadi contoh bagi insan-insan kreatif di Kota Sukabumi untuk membangun kerja sama daripada mengedepankan saling unjuk gigi. Sebab pada dasarnya, setiap bentuk dan seni kreatif yang dihasilkan dan dikembangkan oleh individu selalu saling berkaitan satu sama lainnya.

Sejak pandemi Covid-19, pemilik Batik Tulis Lokatmala, Fonna Melania telah membangun kolaborasi dengan beberapa komunitas dan perkumpulan. Darinya telah lahir gagasan genuine yang belum pernah dikenal sebelumnya bernama Sukabumi Enterprise. Gagasan yang sudah seharusnya diadopsi dan diproyeksikan sebagai jenis kolaborasi dan cara membangun jejaring dengan masyarakat di luar kota.

Kolaborasi juga tidak hanya dibatasi pada sektor ril perekonomian. Setiap unsur, lembaga, dinas, hingga organisasi kemasyarakatan diharapkan dapat membangun kerja sama apik dengan pihak lain. Tahun 2015, sebelum menjabat Wakil Wali Kota Sukabumi, H. Andri Setiawan Hamami pernah mengungkapkan harapan kepada penulis, sudah seharusnya warga Kota Sukabumi memiliki komitmen berdiri di atas kaki sendiri dan mandiri. Kemandirian di era masyarakat terbuka ini tidak berarti segala sesuatu ditanggung sendiri, melainkan dilengkapi secara bersama-sama untuk membangun masyarakat mandiri. Pada kebijakan yang diterbitkan oleh Pemkot Sukabumi, masyarakat ini pada tahap selanjutnya akan membentuk perkampungan tohaga (kokoh).

Dipublikasikan di watyutink.com, Rabu 21 Oktober 2020
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Kolaborasi Kreatif Membentuk Kampung Tohaga"