Cerpen: Lelaki dan Takdirnya



Awalnya, dia selalu berpikir, kenapa setiap bulan dia harus datang ke kantor desa, mengisi formulir yang disediakan oleh aparat desa dengan ballpoint yang hampir habis. Biodata selengkap-lengkapnya, tidak boleh ada yang tertinggal atau kosong apalagi dengan sengaja tidak diisi jawaban atas beberapa pertanyaan di dalam formulir tersebut. Apa karena orangtuanya tercatat sebagai bekas anggota PKI kemudian dia pun harus menanggung akibatnya? Dia pernah mempertanyakan hal ini kepada Tuhan, barangkali dia salah tinggal atau salah keluar dari rahim seorang bekas anggota Gerwani dan ayahnya bekas anggota BTI? Tidak ada jawaban dari Tuhan.

Dia pernah berpikir juga untuk memutus mata rantai ketidakberuntungan dirinya sebagai anak seorang bekas anggota PKI dengan sering mengikuti pengajian-pengajian, menjadi salah satu santri di sebuah pondok pesantren. Agar masyarakat tahu, kalau dia bertuhan, menyembah Tuhan yang sama dengan kebanyakan orang. Dia telah menghafal Juz 30 dari Al-Quran, hampir menghafal bait-bait dalam Kitab Alfiyyah, atribut yang melekat pada dirinya sebagai seorang anak bekas anggota PKI sama sekali tidak bisa dihilangkan. Belenggu itu mengekang dirinya, dalam KTP pun, saat usianya menginjak tujuh belas tahun, tertulis kata OT, Organisasi Terlarang, bahkan warna KTP pun dibedakan dari KTP-KTP penduduk lain. Dia ingat, Pancasila dirangkum bukan untuk menjadikan warga negara sebagai para penista.

Pernah suatu waktu, dia ditawari mengimami sholat Maghrib, orang banyak berbicara sebelum Takbiratul Ihram dikumandangkan, “ Dia anak seorang Gerwani…”. Selama mengimami sholat, dalam pikirnya terus bertanya kepada Tuhan, apa salah dia, sehingga Tuhan memilihnya menjadi anak seorang bekas anggota Gerwani. Apakah ibunya juga salah menjadi seorang anggota Gerwani di tahun 1961 tanpa sepengetahuan ibunya tiba-tiba dia telah tercatat sebagai bagian dari organisasi wanita itu? Kekhusuan sholat pun berbaur dengan riuh pertanyaan tanpa jawab. Keesokan harinya, dia memutuskan untuk menjadi ma’mum saja, celaka jika seorang imam tidak bisa melaksanakan sholat dengan khusu' hanya karena bertanya kepada Tuhan tentang dirinya, terlalu egois, sementara sholat berjamaah bukan hanya untuk diri sendiri.

Di kantor desa pun ramai membicarakan, seorang anak bekas anggota PKI kok bisa menjadi imam sholat. Jelas sekali ini merupakan hal yang tidak lazim. Kepala Desa apalagi, mengingatkan kepada para bawahannya agar jangan sampai hal ini terdengar oleh orang-orang di kantor kecamatan, lebih berbahaya lagi jika sampai ke telinga para aparat keamanan. Desa ini akan diusut sampai ke akar-akarnya. Kepala Desa tidak mau tersangkut urusan berbelit-belit harus dipanggil ke kantor kecamatan, kantor kepolisian, dan kantor Koramil. Ribet! Jadi semua harus diam.

###

“ Kenapa kamu menerima tawaran menjadi imam?”

Dia merasa telah bersalah, kenapa malam tadi dia terima juga tawaran menjadi imam, padahal di mesjid itu masih ada orang lain, santri lain. Awalnya hanya untuk membuka belenggu sebagai anak bekas anggota PKI, agar masyarakat mengakui sendiri, tidak ada kesalahan yang diwariskan oleh orangtua kepada anak-anaknya. Tidak ada hal yang harus ditebus oleh dirinya atas keanggotaan PKI orangtuanya beberapa puluh tahun lalu. Ya, tapi dia telah salah kira, salah mengambil keputusan. Kenapa tawaran menjadi imam itu diterimanya? Bahkan Tuhan saja… ya Tuhan saja belum memberiikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaannya.

“ Jika ada tawaran lagi menjadi imam, sebaiknya kamu tolak saja. Menjadi makmum juga pahalanya tetap dua puluh tujuh derajat!” Kepala Desa itu menegaskan.

Tapi dia tidak berpikir untuk mendapatkan pahala dari Tuhan. Dia hanya butuh jawaban dari Tuhan, kenapa harus dirinya yang menanggung beban berat sebagai anak bekas anggota PKI. Di masa lalu, sudah pasti negara ini tidak hanya diisi oleh para pejuang, ada juga pengkhianat. Kenapa anak dan cucu para pengkhianat negara ini tidak menanggung beban berat seperti hal yang menimpa pada dirinya. Apa Tuhan adil? Keadilan seperti apa, jika anak bekas seorang anggota PKI mengimami sholat kemudian harus dipanggil ke kantor desa sedangkan anak-anak lain, ada yang menghabiskan malam sampai pagi dengan berjudi, sama sekali tidak mendapatkan teguran dari aparat desa, bahkan dari Tuhan sekalipun?

“ Sebaiknya kamu isi saja surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatanmu ini. Aku tahu, kamu itu pintar ngaji, tahu seluk-beluk agama, berbeda denganku, orang tua yang tidak bisa menghafal secara benar bacaan-bacaan. Tapi kamu juga harus sadar, aku ini seorang kepala desa, jika kamu masih berani menerima tawaran menjadi imam mesjid, aku pasti akan dipanggil oleh camat sampai bupati. Jadi kita harus saling mengerti, kamu harus membantuku.”

Kemudian dia memutuskan untuk mengisi surat pernyataan, tidak akan mengulanginya lagi menjadi imam. Tawaran itu akan dibiarkan saja, seolah dirinya merupakan manusia paling bodoh.

###

Lelaki harus menikah, ya umurnya sudah hampir tiga puluh tahun. Dia harus membangun rumah tangga. Harus mendapatkan kehangatan sebagaimana orang lain menerimanya. Namun sudah pasti, tidak akan ada seorang wanita pun, secantik atau sejelek apa pun menerimanya sebagai seorang suami. Hanya wanita-wanita tidak normal yang akan menerima dirinya sebagai pasangan hidupnya. Dia harus kehilangan cinta juga hanya karena dirinya sebagai anak bekas anggota PKI? Hidup macam apa ini, lelucon dan sama sekali tidak normal, benar-benar tidak normal.

Ukuran normal dan tidaknya hidup ini pun masih bias, masih samar. Entah ukurannya benar atau salah, indah atau jelek. Dia menyaksikan sendiri, ukuran hidup bernegara ini adalah Pancasila yang harus diyakini oleh siapapun sebagai sumber hukum tertinggi, landasan ideal. Tapi setiap bulan, dia melihat orang-orang tua harus mengisi beberapa lembar formulir, menyatakan diri mereka akan berbuat baik, tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan oleh PKI. Apakah kemanusiaan memang seperti ini. Mana sebetulnya yang paling keparat? Dia berpikir, PKI memang keparat…

Dia harus kehilangan orientasi hidup dan cinta. Ya, cinta begitu terlarang bagi orang-orang seperti dirinya. Jika saja hidup ini sebuah permintaan, dia akan meminta kepada Tuhan agar orangtuanya dijadikan Anggota BKR atau TKR atau pasukan Siliwangi daripada harus masuk menjadi anggota Partai paling keparat yang telah memasukkan dirinya ke dalam strata sosial seperti sekarang. Tapi hidup ini bukan hanya permintaan, hidup ini jalan begitu panjang. Bagi dirinya, jalan panjang ini tidak dipenuhi oleh pepohonan dan bunga-bunga halus, kecuali oleh rerumputan kuning kering dan sungai-sungai tanpa air.

###

Dia memutuskan untuk pindah tempat tinggal.

Sebagai seorang santri dan telah dibekali oleh ilmu keagamaan, dia begitu yakin atas ucapan gurunya. Jangan menghiraukan ucapan manusia, mereka itu lebih banyak tidak tahu daripada tahu, ketika tahu pun mereka lebih banyak tidak mengerti. Benar! Harusnya seperti itu, jawaban Tuhan itu harus seperti itu, bukan sebaliknya masyarakat mengecap dirinya sebagai anak bekas anggota PKI saja. Mungkin saja dunia belum memihak kepada dirinya, dunia saat ini, tempat tinggalnya. Mudah-mudahan, jika dia pindah tempat tinggal ke daerah pinggiran di kaki gunung sebelah Selatan, dunia akan memihaknya, dunia akan memilih dirinya, dan dia akan bisa meminta agar keadilan itu terwujud.

Penduduk di daerah Selatan di kaki sebuah gunung itu baik hati. Mereka menerima kehadirannya. Ini awalan paling baik atau benar-benar akhir dari hidupnya? Karena dia pandai mengaji, kehadiran pertamanya di sebuah surau, dia mengumandangkan adzan, merdu sekali, banyaklah orang bertanya-tanya siapa sosok lelaki baru ini. Ketua kampung pun menerimanya, menyiapkan satu kamar untuknya. Masyarakat banyak meminta agar dirinya mengajari anak-anak mereka mengaji di surau. Ini legenda hidup baru! Begitu pikirnya.

###

Para penduduk di daerah Selatan di kaki sebuah gunung mayoritas bekerja sebagai peladang, pencari kayu bakar kemudian dijual ke kampung yang mereka anggap sebagai kampung kota. Berbeda dengan keadaan kampung halamannya, penduduk di kampung ini menghormatinya, menyebut dirinya bapa Muallim, orang yang pandai ilmu agamanya. Setelah selesai mengajar anak-anak mengaji, dia pergi ke ladang atau huma, ikut bersama ketua kampung menyiangi rumput-rumput liar. Sesekali ikut berburu babi hutan atau burung, masuk ke hutan atau naik ke puncak gunung.

“ Tuhan telah memberiikan jawaban!” Bisiknya.

Dan jawaban kedua dari Tuhan adalah seorang penduduk datang ke rumah ketua kampung kemudian menawarkan dengan bahasa orang kampung, putrinya telah akil baligh, cukup umur untuk membina rumah tangga. Rumah perempuan itu beberapa meter saja dari rumah ketua kampung, dia juga tahu siapa perempuan itu. Perempuan yang sering mencuci pakain ke sungai berair jernih di tepi kampung. Sering berpapasan juga.

###

“ Bagaimana, kamu sudah siap menerima ajakan Rohman?”

Dia tidak ingin salah lagi, menerima tawaran seperti menjadi imam sholat beberapa bulan lalu. Tapi ini masalah hati. Hati tidak akan pernah salah dalam memilih. Dia mengiyakan.

“ Kau ajak saja orangtuamu ke sini besok.. untuk memastikan.” Kata ketua kampung.

Sebenarnya dia tidak ingin lagi hidup ini dicampuri kembali oleh apapun yang berhubungan orangtuanya. Ini akan menghancurkan kembali jalan hidupnya, akan mencabut kembali rumput-rumput hijau yang baru saja ditanamnya itu.

“ Besok aku akan mengantarmu.. ke kampung halamanmu!” Ketua kampung menatapnya. “ Jangan ragu, ya..ya aku juga dulu mengalami hal yang sama, saat ditawari untuk segera menikah. Ya, seperti kamu sekarang.”

Ketua kampung tidak tahu!

“ Orangtuaku sudah meninggal!” katanya tidak yakin. “ Aku tidak punya siapa-siapa lagi.”

“ Ya, sudah, tidak perlu kita besok ke kampung halamanmu. Jadikan saja, minggu depan kita hajat, hahaha. Wanita mana yang akan menolak orang pandai ilmu agama sepertimu! Hanya wanita tidak waras saja!”

###

“ Tuhan, aku telah membohongi diriku sendiri, aku telah menganggap kedua orangtuaku meninggal. Tapi aku tidak sanggup hidup tanpa cinta, jika aku berdosa atas kebohonganku, hukumlah aku… beri teguran.” Dia bergumam, duduk sendiri di atas batu besar di pinggir sungai. Di musim kemarau, air sungai tidak terlalu melimpah, malah hampir kering.

Sekarang dia mulai takut untuk berkata jujur. Lebih menakutkan dari hidup di kampung halamannya. Dia terlanjur berbohong kepada ketua kampung, namun jika dia jujur maka entahlah, mungkin benar, rerumputan hijau itu tiba-tiba akan mengering. Tapi dia harus jujur, kebohongan bukan jalan hidupnya. “ Aku tidak takut untuk berkata jujur, tapi aku sangat takut untuk menghadapi hidup ini. Aku takut kehilangan kembali legenda hidupku!”

###

“ Dia anak bekas anggota PKI, ibunya bekas anggota Gerwani dan bapaknya bekas anggota BTI. Tapi itu dulu… dulu sekali!” Kata ketua kampung meyakinkan kepada bapak dan perempuan cantik itu.

Bapak dan anak perempuan itu saling menatap, berbicara melalui isyarat. Lanjutkan atau tidak. Namun seluruh orang telah tahu, anak cantiknya akan dinikahkan minggu depan kepada seorang Muallim. Lelaki itu pun sadar, dirinya adalah petugas kantor desa, seorang mandor, tukang tarik uang pajak. Lelaki itu tahu, setiap bulan di kantor desa sering diadakan pendataan orang-orang yang dinyatakan terlibat gerakan PKI di tahun 60-an, tapi dia sama sekali tidak tahu untuk apa hal itu dilakukan.

“ Aku ketua kampung, kamu pegawai desa. Tapi kita juga tidak tahu kenapa kita menjadi seperti ini. Aku tidak pernah meminta menjadi ketua kampung kepada Tuhan. Demikian juga kamu, juga dia…!” Kata ketua kampung.

Lelaki dan anak gadisnya saling menatap kembali. Tidak memberiikan jawaban seperti Tuhan tidak memberikan jawaban kepadanya ketika bertanya: kenapa dirinya yang harus menanggung beban hidup ini?

###

Begitulah dia mengisahkan hidupnya kepadaku.

“ Aku tidak jadi menikah dengan perempuan cantik itu. Itu pilihanku, demi kebahagiaan Si perempuan dan keluarganya.” Katanya. “ Tapi aku begitu yakin, takdir Tuhan itu ada, maka manusia wajib dan harus sabar menunggunya, kapan takdir itu menjumpai kita!”

Seorang perempuan setengah baya membawa dua cangkir kopi. Tersenyum dan mempersilakan agar kami meminum kopi. Perempuan ini adalah istrinya. Di pangkuan lelaki setengah baya di hadapanku adalah seorang anak kecil. Balita itu cucunya.

“ Aku tidak akan menuliskan kisah ini. Tapi orang harus tahu tentang takdir Tuhan itu!” Kataku.

“ Benar, itulah takdirmu… Lakukanlah karena semua manusia selalu memiliki alasan untuk mengerjakan apapun.” [ ]

Kang Warsa- Sukabumi, Oktober 2013
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Lelaki dan Takdirnya"