Cerpen: Matahari Mulai Tenggelam di Dago

Setelah Sholat Jum’at, aku sering duduk-duduk dulu di beranda mesjid Pemda. Ya, Pemda Kota Sukabumi memiliki mesjid Jami’ di dalam lingkungan perkantorannya. Demi alasan menjaga relijiusitas dan nilai-nilai kesucian, apa pun itu alasannya yang penting di mana pun, ketika sila tentang Ketuhanan masih dijadikan landasan berpijak, maka di sana juga kesucian, kesakralan, dan nilai-nilai spiritualitas harus dijaga, tetap dipertahankan.

Seorang teman pernah berkata: Tuhan tidak akan merugi jika tidak disembah, Dia tidak meminta agar dirinya disembah. Tapi bagiku, penyembahan terhadap Tuhan adalah panggilan masing-masing jiwa. Orang membutuhkan itu. Mesjid Jami’ pemerintah itu diberi nama Al-Ikhlash, katanya untuk merujuk agar ibadah dan pengabdian para pegawai itu didorong oleh semangat suka rela. Jika ada pegawai yang bekerja atas dorongan keuntungan pribadi, ya tidak mesti menjadi alasan mesjid diruntuhkan. Orang Kristen pun membangun gereja-gereja dan tempat kebaktian, menyebarkan berita kasih Yesus, bukan berarti orang-orang Kristen tidak ada yang salah dan sebagai pendosa. Benar dan salah memang ada dalam hidup ini, dan hati kita telah menjadi barometer pengukurnya: kejujuran.

Di depan mesjid, tepatnya di perkantoran pemerintah, banyak teman-temanku. Mereka bekerja dengan baik, datang tepat waktu, pulang paling belakangan. Meskipun tidak sedikit para pegawai yang lebih senang berleha-leha, baca koran, main tenis meja, mengobrolkan rencana gajian, dan seputar itu-itu juga.

Seorang teman menawariku makan siang di Dago. Di Sukabumi, jalan ini sering ramai di jam-jam seperti ini. Anak-anak sekolah banyak menghabiskan waktu dengan cara memenuhi pinggir-pinggir jalan. Penambah keramaian adalah di sana banyak tempat kuliner, kedai kopi, dan café-café kecil. Sepuluh tahun lalu, aku sering duduk-duduk bersama beberapa kawan di trotoar jalan Dago setiap malam Minggu, entah demi alasan apa, aku melakukannya, beginilah rata-rata manusia, melakukan satu hal namun jarang diresapi untuk apa kita bertindak dan melakukan itu. Que Sais Je? Entahlah, toh di dunia ini masih ada juga orang-orang yang bersikukuh ingin menjadi calon legislatif, padahal hanya sebagai wakil rakyat, tidak lebih dari itu.

Aku tidak menerima tawaran temanku, eh ajakan. Cukup aku katakan, “terima kasih!” Lha, kenapa aku harus berterima kasih, makannya juga belum? Itulah hidup di negara ini. Kata orang, iklim feodal, berusaha menghormati perasaan orang lain. Padahal penolakan dengan mengucapkan kalimat, ” Aku tidak bisa makan siang denganmu”-pun itu tidak akan melukai si pengajak. Ya, kalau manusia diberi kekuatan bisa membaca dan menerjemahkan hati, sudah dipastikan tingkat sufistik dalam kehidupan akan lebih meriah dan akan memakan nilai-nilai materialisme. Dunia hambar, lurus, tanpa cela, tanpa gosip-gosip murahan.

Tapi temanku tidak lembek, rupanya dia memaksa agar aku menemaninya makan, jika aku tidak makan, paling tidak minumlah atau merokok saja. Masalah makan, minum, dan rokok dia yang bayar. Artinya gratis. Dengan segera hal ini kuterjemahkan , ini adalah imbalan dari Tuhan, duduk di beranda mesjid ternyata menghasilkan buah, seketika itu juga. Jika tidak menemani makan siang, maka pupuslah pertemanan. Ini bukan ancaman, kecuali begitulah manusia, dengan hal sepele bisa mengakibatkan munculnya hal besar. Aneh, hanya dengan makan siang atau sekeping uang receh pernah ada kejadian pembunuhan. Maka aku mengikutinya menuju jalan Dago.

Selanjutnya aku dan dia berjalan berdampingan berjalan di atas trotoar. Terik matahari, ada keramaian, ratusan orang melakukan demonstrasi. Ini pantas aku jepret dengan kamera di ponsel, aku jadikan berita penting, hari ini juga, NewsFlash. Nah begitulah berita-berita di negara ini lahir, berita-berita kilat inilah yang menjadikan orang berbeda dalam menafsirkan, lagi pula apa inti pesan dan perubahan apa yang bisa terjadi dengan dimuatnya berita-berita? Namanya juga era informasi, jaman gelombang ke-tiga versi Toffler ditandai dengan ledakan dahsyat informasi.

Jepret! Kemudian gambar orang-orang yang sedang berdemonstrasi aku unggah melalui twitter. Agar warga dunia maya tahu, agar jagat raya tahu, di Kota Sukabumi pun orang bisa berdemo, artinya kebebasan berpendapat benar-benar dijamin di kota ini.

Aku menanyakan beberapa alasan kenapa ada demonstrasi hari ini kepada salah seorang pendemo, dia menjawab. ” Kami sedang melakukan unjuk rasa terhadap kekerasan di Mesir dan Suriah yang dilakukan oleh para tiran, Allahu Akbar!!!” Katanya berapi-api.

Siapa yang membantai dan siapa yang dibantai? Orang itu geleng kepala, tidak tahu, lantas melanjutkan demonstrasi. Ya, beginilah rata-rata manusia, seolah selalu merasa paling tahu segala sesuatu namun faktanya lebih banyak tidak tahu. Aku buka situs web Newyork Times, oh ternyata ada perang saudara di Mesir dan Suriah. Memang ada pembantaian oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Sebagai manusia aku sempat bergidik. Manusia kok membunuh manusia, tidak lebih baik membunuh onta atau kambing. Bisa disate!

” Sudah dua hari aku tidur di kantor?” Katanya di sela-sela makan. Setengah berbisik. ” Kamu tahu, kan?”

” Tidak!” Jawabku. Asap rokok mengepul. Menebar lalu hilang tersapu angin dari kipas angin di sudut warung nasi.

” Aku ada masalah rumit dan pelik dalam rumah tangga… Kau harus tahu itu!” Katanya lagi, tetap fokus pada nasi dan lauk pauk, namun dia sangat ingin didengar.

Dan dia pun menceritakan, setiap pulang kerja istrinya jarang menyapa, makan pun alakadarnya. Ya makanan pagi yang tidak disentuh-sentuh itu pun bukan olahan istrinya, tapi dibelinya dari warung masakan. Munculnya persoalan itu tiba-tiba. SMS lah pemicunya. Dua hari tidur di kantor, dia memberi alasan sibuk, pekerjaan menumpuk, akan ada audit dari BPK minggu-minggu ini, sebab sebagai seorang pegawai, asisten bendahara pula, dia memiliki alasan harus bertanggung jawab mengamankan atasannya karena atasan meminta demikian.

Hadirnya orang ketiga melaui pesan singkat itulah penyebab masalah.” Gila kenapa juga orang-orang dan perusahaan-perusahaan teknologi itu menciptakan ponsel, yang pada akhirnya hanya akan merusak kehidupan manusia saja.” Pekiknya . “ Sekadar SMS saja bisa menjadi riuh dan oleng jagat raya. Ada apa dengan kehidupan di jaman ini?!” Dia berasumsi.

Dia berkata lagi, nasi hampir habis. “ Aisyah pernah memergoki Rasulullah berhubungan dengan Maria Qibtiyyah di saat malam giliran Aisyah. Itu nabi, nabi saja melakukan dan pernah melakukan hal seperti itu, apalagi aku sebagai manusia biasa.”

Tidak ada pintu tobat juga rupanya, kata dia, istrinya sudah benar-benar kecewa, cinta itu telah diruntuhkan oleh kelakuannya sendiri. Dua hari lalu, istrinya memohon istirahat dulu dalam berumah tangga. Dia jujur, telah meminta maaf kepada istrinya, bahkan berjanji dengan sepenuh hati tidak akan mengulangi perbuatannya.

” Istriku, tetap tidak percaya, karena aku telah dianggap sebagai seorang pengkhianat!” Katanya, ya benar… Para pengkhianat hanya bisa melanjutkan hidup dengan para pencoleng! Usaha apa pun telah hancur, dia tidak akan diterima lagi oleh istrinya, apalagi keluarganya. ” Jika hidup ini bisa diulang, maka aku tidak akan menganggap hidup ini sebagai taburan puzzle! Aku akan menjaga gelas-gelas kristal agar tidak retak dan pecah..”

” Tapi hari ini adalah alasan masa depanmu, Bro!”

” Kau ini! Waktu berjalan begitu cepat kan? Tapi pikiran ini telah membawaku pada kotak kecil bernama penjara pikiran. Aku tidak mungkin menceraikan istriku karena tidak memiliki alasan untuk menceraikannya, karena dia begitu baik. Ya, ini murni salahku. Dua pilihan, aku mengawali hidup baru atau malah mengakhirinya sama sekali!” Sedikit ragu.

” Pulanglah! Kau buatkan satu bait puisi cinta atau apalah untuk istrimu!” Aku pun setengah ragu.

” Hah, puisi? Aku bukan lelaki sepertimu. Yang dengan seenaknya pernah memiliki keyakinan akan menghidupi anak istri dengan sebait puisi, kertas atau buku saja tidak bisa kau makan!”

Kami berbicara sangat antusias. Tiba-tiba kami membicarakan masa-masa sekolah. Pengejaran kami kepada anak-anak atau siswi kelas I masa-masa SMA dibongkar kembali. Ya, hidup ini begitu absurd, misteri, di masa SMA tidak satu pun siswi yang dikejar itu bisa kami tangkap. Bodoh memang, mengejar adik-adik kelas padahal teman-teman satu kelas pun banyak yang rela ditangkap.

Kopi hampir habis 5 gelas, rokok tinggal beberapa batang, dan senja tiba-tiba telah mendekat. Orang-orang berlalu-lalang di jalan besar itu. Anak-anak Sekolah, ya mereka cantik-cantik mereka tampan-tampan. Satu kondisi yang pernah kami alami 16 tahun lalu.

Saat matahari terbenam, Dago mulai gelap, lampu-lampu mercury mulai dinyalakan di beberapa café, Kami bergegas menuju Balai Kota kembali.

###

” Apa pentingnya kau tulis sebuah cerpen lalu kau sebarkan di Facebook. Kau makan-makan dengan temanmu itu tadi siang, lalu kau membahas masa lalumu mengejar adik kelas waktu duduk di bangku di SMA! Apa penting?” Istriku tiba-tiba menyerang.

” Ini, hanya fiksi!” Kataku padat.

Dia cemberut, lalu membanting pintu kamar.

###

Seminggu kemudian, aku bertemu lagi dengan temanku, si pegawai pemda itu, sengaja aku temui. Dia bergegas memburuku sambil membawa koran.

” Apa-apaan ini, kau tulis kisahku ke dalam bentuk sebuah cerpen! Dimuat di salah satu koran nasional pula! Mau mempermalukanku? Kau jadikan aku obyek penderita!” Dia menyerang sambil menunjuk-nunjuk cerpen dalam koran.

” Ini hanya fiksi!”

” Hahaha, alasan yang tepat, perlu kau ketahui, apa yang kau tulis tentangku ini memang tepat, hanya fiksi belaka. Aku tidak ada masalah dengan istriku, keluargaku baik-baik saja! Aku menginap  selama tiga malam di kantor itu hanya demi satu hal!”

” Apa itu?”

” Main poker di internet sampai subuh, kawan! Awasss, jangan kau jadikan kebohonganku ini sebagai bahan cerpen, awas kau!” Katanya ada nada ancaman, serius.

Ya, beginilah para lelaki. Aku menatap cerpen yang ku tulis kemudian melipat koran. Lantas berpikir, akan kah malam ini istriku tertawa atau tersenyum bahagia. Sudah satu minggu sejak kumuat cerpen ini di Facebook dia memperlihatkan wajah masam. Dengan honor cerpen yang dimuat di koran ini, aku pun masih belum yakin istriku akan segera tersenyum lagi kepadaku.

Kang Warsa, Januari 2014
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Matahari Mulai Tenggelam di Dago"