Pedestrian Dago


Opini saya dengan judul “Abad Pedestrian” yang dimuat oleh Radar Sukabumi 13 Oktober 2019 berisi tanggapan terhadap pemberitaan di harian ini edisi Selasa, 08 Oktober 2019 dan itu menarik untuk dibahas. Isi berita menyoal rencana Pemerintah Kota Sukabumi akan melakukan penataan pedestrian kawasan Dago (Jl. Ir. H Djuanda) tidak dapat dilakukan secepatnya karena proses lelang proyek sebesar Rp3.000.000.000,- mengalami hambatan. Salah satu peserta lelang melakukan sanggah banding terhadap pemenang tender penataan pedestrian kawasan Dago. 

Setelah menunggu satu tahun sejak terjadi sanggah banding, pembangunan pedestrian di Jl. Ir. H. Djuanda atau Dago telah dimulai dua minggu lalu. Dalam perspektif pemerintah kota, menghadirkan Pedestrian Dago merupakan salah satu upaya penataan kota yang dilakukan dengan beberapa pertimbangan, salah satunya keterukuran manfaat pedestrian bagi masyarakat di masa yang akan datang. Paling tidak, keberadaan pedestrian dalam waktu dekat ini menjadi pemantik atau pemicu, baik bagi pemerintah atau masyarakat untuk benar-benar memulai melakukan penataan secara serius terhadap kotanya sendiri. Penataan secara serius ini memang menjadi satu keniscayaan untuk menjawab dan mempersiapkan tantangan yang akan di hadapi oleh Kota Sukabumi jika pembangunan Tol Bocimi selesai.

Lebih jauh lagi, pembangunan yang terukur seperti menghadirkan pedestrian, selain dapat menyulap satu kawasan menjadi lebih tertata rapi, hal ini juga dapat memengaruhi alam bawah sadar warga kota bahwa suasana yang kondusif, rapi, dan nyaman dapat memengaruhi mentalitas mereka. Pembangunan pedestrian di Jl. Ir. H. Djuanda memiliki maksud agar pengguna jalan benar-benar merasakan situasi nyaman, sifat darinya adalah keterbukaan terhadap warga kota, harus menjadi magnet penarik untuk dikunjungi, agar warga yang telah menikmatinya dapat mempromosikan kembali kehadiran pedestrian ini kepada warga lain. Pekerjaan rumah atau tugas ke depan yang akan dihadapi oleh pemerintah bersama masyarakat yaitu bagaimana mempertahankan kenyamanan pedestrian bagi penggunanya.

Studi kasus terhadap beberapa pedestrian di kota lain berdasarkan persepsi pejalan kaki yang memicu ketidaknyamanan pemanfaatan pedestrian di antaranya yaitu jalur pedestrian yang di gunakan aktivitas pedagang asongan keliling atau pedagang kaki lima (PKL) yang sedang melakukan aktivitas perdagangan dan juga parkir mobil atau motor sembarangan pada jalur pedestrian di sepanjang jalan. Artinya, pedestrian telah memiliki fungsi ganda. Strategi yang harus diterapkan oleh pemerintah untuk menghindari fungsi ganda pedestrian ini harus tepat. Jauh sebelum pemabangunan pedestrian di Jl. Ir. H. Djuanda, selain berfungsi sebagai sirkulasi kendaraan bermotor dan pejalan kaki, aktivitas perdagangan telah berlangsung di kawasan ini. Sangat tidak mungkin bagi pemerintah menihilkan para pedagang dari kawasan ini meskipun dengan alasan penertiban jika tidak diawali dengan kesepakatan bersama atau sebuah konsensus yang tidak merugikan pihak manapun.

Jalan Dago sebagai salah satu jalan utama di Kota Sukabumi, maka sudah semestinya pedestrian mampu merefleksikan ruang lanskap fungsional sebagai area mobilitas, mengandung unsur keindahan, dan dapat menunjang kenyamanan penggunaannya. Dan sebagai ruang publik harus mampu mengakomodasi keinginan pengguna ruang sehingga menciptakan kenyamanan yang optimal bagi pengguna ruang tersebut. Kenyamanan pengguna akan menjadi faktor penentu pedestrian dikunjungi oleh warga serta diapresiasi secara baik oleh mereka. Bukan hanya ditentukan oleh konsep dan apa yang dibangun dan disiapkan di kawasan itu, pemerintah pun harus memikirkan faktor alam seperti pengaturan terik matahari, pedestrian harus mampu menjadi peneduh dan penyejuk bagi para pejalan kaki. Di kawasan sejuk dan teduh inilah warga akan lebih leluasa mengekspresikan ide, gagasan, dan karya mereka dalam bentuk sikap, hasil, dan produk berbudaya. Saya selalu mengutip ucapakan sejarawan Arnold Toynbee: peradaban besar selalu lahir di daerah yang sejuk.

Di salah satu grup media sosial ingar-bingar netizen secara simultan selalu menyampaikan kritik terhadap kebijakan Pemkot Sukabumi dalam membangun Pedestrian Dago . Kesimpulan yang dapat kita ambil dari kritik para netizen, meskipun tidak dimungkiri dari sekian kritik tersebut terkesan mengedepankan perundungan, Pemkot Sukabumi harus memiliki tekad serius dalam menata kawasan pedestrian. Ketidaksabaran para netizen saat mengamati kondisi Kota Sukabumi telah melahirkan pandangan: seolah Pemkot Sukabumi tidak memiliki sikap serius menjawab persoalan-persoalan tersebut. Padahal faktanya, Pemkot Sukabumi sudah tentu memiliki prinsip, ingin dan telah memulai mewujudkan Sukabumi sebagai kota yang tertata, teratur, bersih, dan tertib. Salah satunya dengan membangun pedestrian.

Manusia, Mahluk Pejalan Kaki

Kodrat manusia sejak fajar peradaban terbit merupakan mahluk bipedal yang senantiasi ingin berjalan. Setelah berumur enam hingga sembilan bulan, seorang bayi akan mulai merangkak, berusaha berjalan, dan dilatih oleh orangtuanya cara berjalan menunjukkan bahwa berjalan menjadi kodrat yang sulit dipisahkan dari manusia, tidak jauh berbeda dengan piranti lunak yang dibawa oleh manusia sejak lahir, hak azasi manusia (HAM).

Peradaban berburu dan meramu yang dilakukan oleh nenek moyang manusia pada 600.000 tahun lalu di era paleolithikum ditandai dengan gerak langkah manusia untuk mengumpulkan makanan terdiri dari daging dan tumbuh-tumbuhan dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Dengan cara berjalan, nenek moyang manusia melintasi kawasan-kawasan berbahaya sekaligus sebagai upaya melatih ketajaman sensor terhadap ancaman. Sebagai mahluk pemburu dan peramu nomaden, tidak menetap di satu tempat, berjalan merupakan cara ampuh manusia menghindari ancaman dan kepunahan. Di era batu tua, nenek moyang manusia menempati pramida bagian tengah rantai makanan, jika tidak memakan atau memangsa maka mereka akan akan menjadi makanan binatang lain.

Revolusi pertanian pada 10.000 tahun lalu telah memulai babak baru peradaban manusia, telah terjadi peralihan kebiasaan dari nomaden atau berpindah tempat kepada cara membuat pemukiman dan mendiami satu tempat. Aktivitas manusia beringsrut turun, jika selama ratusan ribu tahun lalu manusia mengerjakan 20 sampai 30 aktivitas oleh kaki dan tangan mereka, manusia mulai mengerjakan separuh aktivitas tersebut di era pertanian. Pertumbuhan ukuran otak dan kapasitas berpikir manusia sangat berpengaruh terhadap hal ini, manusia harus lebih banyak menggunakan akal dan pikiran agar keberadaan alam yang sebelumnya berwujud seperti raksasa menyeramkan berubah menjadi peri yang selalu siap meladeni dan mencukupi kebutuhan manusia. Hal ini bukan berarti semakin bertambah kapasitas otak yang digunakan akan membuat manusia menjadi lebih malas. Aktivitas lebih besar dikendalikan oleh otak manusia. Gambaran seperti ini sering kita lihat dalam sebuah ilustrasi, manusia di masa depan akan memperlihatkan ukuran kepala yang besar, sementara kaki dan tangan begitu mungil. Bayangan atau imaji kita terhadap manusia masa depan mirip dengan perwujudan sosok mahluk luar angkasa yang sering dimunculkan dalam film-film animasi dan fantasi.

Kebutuhan dasar manusia berdasarkan perkembangan babak sejarah terus mengalami penambahan. Meskipun pada dasarnya, telah dirangkum dalam piramida kebutuhan Maslow, jenis-jenis pemuas dan alat-alatnya terus berkembang. Pada satu babak sejarah dan kondisi tertentu, dapat saja dengan ketersediaan kebutuhan yang cukup dan terlalu melimpah sangat berbahaya bagi kelangsungan eksistensi manusia. Bidang-bidang pekerjaan yang dulu digerakkan langsung oleh tangan manusia telah diganti mesin-mesin dari mulai berukuran kecil hingga besar. Ukuran dan kapasitas akal pikiran manusia memang membesar tetapi tanpa aktivitas atau gerak organ lainnya, eksistensi manusia terancam oleh berbagai penyakit yang muncul dari internal diri manusia. Ketergantungan manusia terhadap obat untuk memulihkan kesehatan akan lebih tinggi dari sebelumnya.

Pembangunan pedestrian bukan hanya upaya mempercantik kota lebih dari itu dimaksudkan untuk mengajak manusia agar mau bergerak, berjalan, dan mengembangkan kembali kreativitas yang lebih banyak dilakukan oleh organ tubuh lain. Memfungsikan kembali otak sebagai pusat perintah organ lainnya. Sesuai asal katanya pedestrian merupakan padanan kata pedos dalam bahasa Yunani yaitu kaki dan way yang diartikan sebagai jalur pejalan kaki. Jalur pedestrian juga diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin) ketempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki. Dengan demikian, jalur pedestrian diharapkan menjadi suatu wadah yang menarik untuk kegiatan sosial seperti bersosialisasi dan bersantai, serta bertemu dan bertegur sapa guna untuk meningkatkan perkembangan jiwa dan spiritual.

Keterangan foto: Suasana Jl. Ir. H. Djuanda, sumber: portal.sukabumikota.go.id
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Pedestrian Dago"