Al-Quran telah menjelaskan secara qath’i bahwa ibadah puasa merupakan salah satu ibadah yang telah dicatat dan ditentukan jauh sebelum Islam disebarluaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, puasa atau kebiasaan menahan lapar dan haus dari waktu fajar sampai terbenam matahari memang bukan merupakan hal aneh bagi masyarakat Arab dan masyarakat lain yang ada di dunia ini.
Puasa di Masyarakat Arab Jahiliyyah
Masyarakat Arab jahiliyyah pra-Islam telah mengenal praktik dan teori puasa. Bukan sekadar tidak makan dan minum, juga disertai dengan pengendalian nafsu di beberapa bulan yang mereka sebut sebagai bulan haram. Misalnya, di bulan Rajab, masyarakat Arab jahiliyyah selain puasa menahan lapar dan haus juga dituntut harus dapat menahan diri dari beberapa hal, antara lain: mengucapkan sumpah, perang, balas dendam, dan ziarah ke ka’bah atau hajian.
Di masyarakat Arab Jahiliyyah juga telah tersebar kebiasaan sumpah atau nazar, jika seseorang belum berhasil menggapai apa yang diinginkan, orang tersebut dapat bernazar melakukan perbuatan yang yang tidak biasa dilakukan seperti menahan diri dari makan dan minum sehari penuh. Bernazar juga dapat sebaliknya, tidak hanya setelah maksud dan tujuan terpenuhi, seseorang bisa bernazar tidak makan dan minum sampai maksud dan tujuan tercapai. Antara nazar pertama dan kedua sebetulnya tidak jauh berbeda, sama halnya dengan pascabayar dan prabayar di zaman ini.
Perempuan-perempuan Mekah merasa menyesal dan memendam kebencian terhadap anak-anak mereka yang berani mengkonversi keyakinan dari agama leluhur ke agama Islam. Para perempuan itu biasa bernazar atau bersumpah tidak akan makan, minum, dan keluar dari rumah sampai anak-anak mereka kembali memeluk keyakinan lama dan meninggalkan Islam. Dengan demikian, puasa yang berkembang di masyarakat Arab jahiliyah dapat dicirikan sebagai puasa insidental.
Setiap bulan Ramadan, sebelum menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW telah terbiasa menyendiri atau bertahannuts ke goa Hira. Uzlah atau mengasingkan diri di dalam goa yang dilakukan olehnya biasa disertai berpuasa di siang hari, menahan diri dari perbuatan sia-sia, dan menghindari hiruk-pikuk kehidupan kosmopolitan kuno masyarakat Mekah. Jadi, puasa memang telah biasa dilakukan oleh masyarakat Arab baik secara personal individual atau komunal sosial.
Puasa di Masyarakat India
Praktik puasa juga dilakukan oleh masyarakat India. Orang-orang Hindu di India memiliki beberapa pantangan yang tidak boleh dikerjakan, menahan diri dari pantangan-pantangan ini identik dengan praktik puasa. Ada juga jenis puasa yang dilakukan secara ekstrim, misalnya dengan menyiksa diri tidak mengonsumsi makanan dan minuman berhari-hari. Gautama pernah melarang pelaksanaan puasa seperti ini, ia lebih menganjurkan agar manusia menjauhkan diri dari makanan dan minuman yang dapat melenakan diri. Mengonsumsi makanan tidak baik (misalnya hasil dari mencuri), menurut Gautama akan berdampak pada aspek kejiwaan seseorang untuk bertindak tidak bijaksana. Bentuk puasa di dalam agama Buddha juga tidak jauh berbeda dengan keyakinan lainnya, menahan diri dari makanan dan minuhan sampai tengah hari. Lima hari sebelum Gautama meninggal, umat Buddha melaksanakan puasa sebabagai bentuk kesetiaan pada ajaran-ajaran luhurnya.
Para perempuan Jainisme telah terbiasa mengucapkan sumpah tidak akan makan, minum, dan menikmati hidup jika belum mendapatkan suami yang baik. Sementara di dalam agaman Hindu telah biasa dipraktikkan puasa menjelang penyelenggaraan festival dan ritual keagamaan.
Puasa di Masyarakat Yahudi dan Kristen
Di dalam agama Yahudi dan tradisi Judaisme dikenal puasa saat perayaan Yom Kippur, hari perdamaian. Puasa di dalam agama ini tidak lepas dari akar sejarah para leluhur mereka. Ketika Nabi Musa dan bangsa Yahudi melakukan eksodus dari Mesir tidak sedikit orang-orang Yahudi harus menahan lapar dan haus selama di perjalanan. Mereka juga pernah terkatung-katung selama 40 tahun di padang Thih. Apa yang dialami oleh leluhur mereka ini dijadikan ritual puasa oleh generasi berikutnya sebagai bentuk penghargaan kepada leluhur Yahudi. Mereka menyebutnya sebagai tradisi suci yang dibuat oleh orang-orang suci. Selain itu, di masyarakat Yahudi juga berlangsung pelaksanaan puasa oleh perempuan Yahudi beberapa hari sampai tiba di hari pernikahannya. Orang-orang Yahudi saleh telah terbiasa melakukan puasa di hari Senin dan Kamis.
Berbeda dengan Yahudi, para penganut kristen awal memiliki keyakinan tradisi puasa tidak dianjurkan oleh para nabi. Namun, tradisi menahan lapar dan haus pada perkembangan selanjutnya diresmikan oleh pihak gereja sebagai ritual keagamaan. Jika Yahudi dan Islam biasa melakukan puasa yang dianjurkan pada hari Senin dan Kamis, orang-orang kristen menganjurkan puasa di hari Rabu dan Jumat. Bagi penganut Luther, agama Protestan hanya memberikan kesempatan kepada para penganutnya untuk melakukan puasa secara individual. Penganut kristen ortodoks awal melakukan puasa sekitar 40 hari menjelang paskah. Di zaman sekarang, puasa dapat saja hanya masih dilakukan oleh beberapa komunitas kristen.
Upawasa atau Pasabrata di Nusantara
Kapitayan, keyakinan tertua di Nusantara memiliki ritual puasa dengan sebutan upawasa atau pasabrata. Puasa bercorak Kapitayan ini tidak jauh berbeda dengan puasa yang dilakukan oleh umat Islam sekarang. Bahkan, kata puasa juga merupakan bahasa serapan dari upawasa tradisi Kapitayan. Karena antara praktik puasa dalam Islam dengan Kapitayan tidak berbeda, pengaruh tradisi Kapitaran terhadap kebiasaan selaman bulan Ramadan begitu besar. Cara dakwah akomodatif wali songo telah berhasil mentransformasikan tradisi Kapitayan hingga masih dilakukan oleh masyarakat modern sampai sekarang. Wali songo dengan semangat keilmuannya telah berhasil memodifikasi tradisi Kapitayan kemudian dipadukan dengan nilai-nilai Islam hingga mengasilkan Islam namun bercorak Nusantara.
Beberapa ahli dan sejarawan merasa memiliki kepentingan untuk meneliti dan mengkaji ekspresi keagamaan (puasa) yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai peradaban. Berdasarkan maksud dan tujuannya, para ahli telah menyimpulkan kategorisasi puasa ke dalam tiga bagian, antara lain: (1) puasa merupakan proses penyambutan kegiatan-kegiatan penting di masyarakat, (2) puasa merupakan upaya untuk menggugurkan penyesalan atas perbuatan tidak baik seseorang, dan (3) puasa merupakan doa atau permohonan agar keinginan seseorang terkabul.
Contoh puasa sebagai prosesi penyambut kegiatan penting di masyarakat yaitu puasa yang dilakukan oleh orang-orang Romawi kuno. Ketika seseorang memiliki maksud ikut berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan penting harus benar-benar bersih dan bebas dari unsur jelek yang berasal dari makanan dan minuman. Orang-orang Romawi kuno memiliki keyakinan makanan dan minuman yang baik dan bersih akan memengaruhi jiwa dan praktik kehidupan manusia. Sementara itu, orang-orang Tionghoa biasa menyucikan diri dengan cara berpuasa sebelum mengorbankan hal yang mereka pandang sangat penting.
Puasa Mutih dan Mati Geni
Selain puasa wajib di bulan Ramadan, umat Islam di Tatar Pasundan juga mengenal jenis puasa lainnya. Puasa mutih yaitu menunaikan puasa dengan hanya mengonsumsi nasi putih dan air bening saat sahur dan buka, menihilkan unsur garam dan perasa lainnya merupakan tradisi yang telah lama berkembang di masyarakat Sunda. Mutih dimaksudkan untuk menyucikan diri. Agar unsur garam tidak terlalu mempengaruhi diri manusia, puasa ini dipandang sebagai upaya pengendalian amarah. Meskipun para praktiknya kita sering mendengar provokasi dari sebagian pihak bahwa puasa mutih ini tidak sesuai dengan ajaran agama, tidak sesuai sunnah Rasul, tetap saja jenis puasa ini pernah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan masyarakat.
Seseorang yang memiliki maksud dan cita-cita hebat misalnya ingin sakti mandraguna, puasa pati geni atau mati geni dapat dijalankan oleh orang tersebut. praktiknya tidak jauh berbeda dengan semedi atau tapabrata, seseorang yang berpuasa mati geni ini harus berdiam diri dengan cara duduk bersila di kamar, tanpa penerangan sinar matahari. Pelaku puasa ini dapat bertahan tidak makan dan minum selama beberapa hari.
Saat ini, jenis puasa yang pernah berkembang di masyarakat Sunda seperti di atas sudah jarang lagi dilakukan demi alasan perubahan zaman. Manusia modern memiliki anggapan bahwa kesaktian, kehebatan, dan kawruh manusia yang dihasilkan melalui cara tradisional disebut sebagai sebuah mitos khurafat. Akhirnya, orang-orang modern memusatkan perhatian pada apa yang mereka pandang sebagai sesuatu yang lebih rasional, modern, dan ilmiah. Orang modern lebih banyak bergelut dengan nalar dan melepaskan diri dari manas atau manah (qolbu).
Tidak heran, karena masyarakat modern terlalu mengandalkan prosessor (akal) di dalam kehidupan sambil menyelepelekan qolbu (weruh), orang-orang modern tampil sebagai individu dan komunitas yang mudah tersulut emosi, gegeran, mudah marah, mudah tersindir, dan baper. Begitu berbeda dengan para luluhur kita, ketika mereka mendapati sebuah masalah rumit hal yang paling awal diucapkan oleh leluhur kita yaitu: tenang, bersabar saja dulu.
Posting Komentar untuk "Macam-Macam Puasa"