Devosi keagamaan, sumber gambar: Terangiman.com
Dalam beberapa film bergenre horor Hollywood, sampai akhir tahun 90-an, sangat lumrah dipertontonkan, hantu-hantu selalu stres dan mengalami depresi saat melihat simbol keagamaan, misalnya salib. Umat beragama dari keyakinan manapun, hingga kini memang masih memiliki pandangan simbol-simbol keagamaan sebagai sesuatu yang penuh magis dan mampu penangkal keberadaan mahluk-mahluk jahat.
Sebetulnya, bagi masyarakat kita, bukan hanya simbol keagamaan yang diyakini memiliki kekuatan magis, dalam iklim yang kental dengan dinamisme, benda-benda lain yang dianggap keramat seperti keris, golok, batu, giok, dan sejenisnya diyakini memiliki kekuatan magis tidak hanya mampu menangkal kejahatan juga dapat menarik keberuntungan.
Namun, saat ini telah terjadi pergeseran pandangan, dalam film horor Hollywood, hantu-hantu tersebut rupanya sudah tidak stres dan takut, apalagi sampai terbakar saat diperlihatkan salib kepada mereka. Para sineas Hollywood mulai mengambil langkah yang lebih rasional dan hendak memosisikan simbol keagaman bukan barang atau benda yang memiliki fungsi untuk menakut-nakuti hantu lagi.
Di dalam Simbol terdapat pesan penting dari keberagamaan yaitu nilai yang dikandung di dalamnya harus dimaknai dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Misalnya salib, bagi orang-orang Kristen tentu saja salib dipandang sebagai simbol paling penting dalam kredo mereka mengingat keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan proses penyaliban Yesus pada kayu salib.
Lebih dari itu, dalam simbol salib tersebut terkandung nilai dan pesan penting kemanusiaan. Bentuk salib bagaimanapun juga merupakan kerangka utama manusia, kepala, tangan, dan kaki yang ajeg. Di dalam simbol ini juga terdapat equilibrium keseimbangan antara tindakan dan pikiran. Maka sangat wajar jika simbol salib ini bukan lagi sebagai benda yang harus ditakuti, hatta oleh jin dan hantu sekalipun.
Dalam film Van Helsing, tokoh Drakula dengan gagahnya membohongi Van Helsing seolah terbakar ketika memegang salib. Nyatanya tidak. Di film the Nun pun sama, saat seorang biarawati memperlihatkan salib kepada hantu perempuan itu, si hantu sama sekali tidak merasa takut oleh salib.
Film lainnya, The Mummy, saat seorang guide memperlihatkan simbol keagamaan sambil merafal mantra dalam berbagai bahasa Timur Tengah, Si Mummy terlihat bingung. Si Mummy baru merespon ketika guide tersebut merafalkan mantra dalam bahasa Ibrani. "Bahasa kaum budak!" Kata
Mummy.Penyebuatan “bahasa budak” terhadap bahasa Ibrani disebabkan oleh alasan sejarah, bangsa Israel diperbudak oleh Kerajaan Mesir Kuno selama beberapa periode kepemimpinan Pharao.
Devosi Keagaamaan Namun Penuh Ketakutan
Akhir-akhir ini, orang-orang di negeri ini memperlihatkan devosi keagamaan mereka dengan memperlihatkan sikap takut dan stress terhadap simbol keagamaan dan keyakinan orang lain. Satu persoalan yang sebetulnya telah selesai dibahas oleh ulama-ulama salaf (terdahulu). Devosi keagaman yaitu memuja dan menyanjung keyakinan diri sendiri. Dalam keberagamaan tentu saja sikap ini sangat lumrah dimiliki oleh setiap pemeluk agama dan keyakinan.
Seorang penganut Islam dan agama lainnya berhak meyakini bahwa agama yang dianutnya merupakan agama yang paling benar. Namun keyakinan tersebut tidak lantas disertai dengan sikap takut berlebihan terhadap keyakinan orang lain hingga harus memberikan vonis keyakinan atau agama orang lain merupakan kesesatan yang nyata.
Devosi keagamaan yang diserta oleh rasa takut berlebihan terhadap keyakinan orang lain sama sekali tidak pernah dialami oleh para nabi, rasul, dan penyebar agama Islam. Misalnya, Nabi Muhammad SAW saat berdakwah di Mekah menempatkan dirinya sebagai orang Mekah, sebgaai bagian dari suku Quraisy dan klan Hasyim, tetap mengindahkan tradisi dan laku baik sebagai warisan leluhurnya.
Mekah merupakan kota metropolitan saat itu, berziarah ke Ka’bah telah dilakukan oleh masyarakat Arab Kuno dari berbagai pelosok. Mereka menyimpan patung dan berhala sebagai sesembahan masing-masing klan dan kaumnya. Terdapat sekitar 360 berhala disimpan di dalam Ka’bah termasuk salah salah satu berhala tersebut yaitu Hajar Aswad.
Selama periode dakwah di Mekah, Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak pernah menghindari Ka’bah hanya karena saat itu dipenuhi oleh berhala. Beliau bersama para sahabatnya tetap melakukan tawaf, tanpa ada rasa takut kehilangan keyakinan tauhidnya. Bahkan, selama beberapa kali, kaum musyrikin Mekah pernah menumpahkan kotoran unta tepat di kepalanya saat sedang bersujud di pinggir Ka’bah.
Selama berdakwah, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menghina dan mengejek keyakinan sesembahan masyarakat Mekah. Nabi hanya mengajak kepada orang-orang Mekah untuk menyembah Tuhan yang Satu, Tuhan yang sebenarnya telah dikenal dan sangat familiar di dunia Arab Kuno saat itu.
Pada tataran logis, di dalam al-Quran memang ditegaskan bahwa berhala-berhala yang disembah oleh musyrikin Mekah itu sama sekali tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudarat. Memang benar, menstatiskan benda dan mendiamkannya berarti telah menjadikan malfungsi benda tersebut.
Misalnya, golok yang seharusnya digunakan membelah kayu, bambu, dan menebang pohon, kemudian disimpan dengan cara dibungkus dengan kain putih atau hitam, otomatis golok tersebut telah kehilangan fungsi fisiknya.
Apa yang dialami dan dilakukan oleh Nabi Muhammd SAW sungguh berbeda secara diametral dengan sikap sebagian dari kita saat ini.Hal tidak jauh berbeda juga terjadi pada agama lainnya, mayoritas penganut Kristen di dunia saat ini bisa jadi sudah banyak yang keluar dari tuntunan Yesus. Umat Hindu di dunia sudah tidak lagi mengindahkan ajaran Dharma. Penganut Buddha telah keluar dari ajaran Gautama yang menekankan betapa pentingnya menerapkan kesederhanaan dalam hidup. Penganut Konghuchu sudah jauh dari ajaran Konfusius dan Tao. Jalan hidup wu wei, mengalir sebagaimana adanya, rasanya sudah jarang dipraktikkan oleh penganut Konghuchu saat ini.
Hingga keyakinan kita terhadap Tuhan pun sebenarnya masih perlu dipertanyakan ketika dalam pikiran kita dihantui oleh rasa takut berlebihan terhadap simbol keagamaan lain yang dianggap sebagai berhala. Pengakuan di dalam pikiran jika berhala yang disembah oleh orang lain sebagai tuhan penganut keyakinan lain dapat dikategorikan sebagai kemusyrikan pikiran. Ketika kita meyakini batu dan patung yang disembah oleh orang lain merupakan tuhan yang berbeda dengan tuhan yang kita sembah, mau tidak mau kita telah meyakini ada tuhan lain selain Tuhan yang kita sembah.
Benteng Penghalang Hidayah
Dulu, saat kasus Ahok tentang penistaan agama ramai diperbincangkan, saya malah sempat berpikir: jangan-jangan, karena sikap sebagian dari kita yang terlalu membenci manusia secara berlebihan telah menghalangi seorang Ahok untuk mendapatkan "hidayah". Tidak menutup kemungkinan, andai saja kita bersikap lebih bijak dan legowo, Ahok juga akan berpikir untuk memeluk Islam karena merasa nyaman dengan perlakuan dari kita.
Mari kita mengambil pelajaran penting dari proses penyebaran Islam oleh Wali Songo. Rasa fanatisme keberagamaan berlebihan dalam diri kita telah menyimpulkan secara salah seolah Islam dapat dengan mudah diterima oleh leluhur Nusantara. Sama sekali tidak demikian, dibutuhkan waktu hingga 800 tahun lebih sampai Islam dapat diterima oleh masyarakat Nusantara setelah para Wali Songo mendesain metode dakwah secara benar dan tepat bagi masyarakat Nusantara.
Masyarakat Nusantara telah memegang tegus keyakinan Kapitayan. Di dalam keyakinan ini Tuhan benar-benar ditempatkan sebagai sesuatu yang adikodrati tidak dapat terjamah oleh pikiran manusia, tan kena kinaya ngapa. Keyakinan ini tidak menyembah kepada patung, batu, dewa-dewi, dan piranti keras keagamaan lainnya.
Islam disejajarkan oleh nenek moyang Nusantara penganut Kapitayan dengan agama lainnya sebagai penyembah berhala karena dipandang masih bersujud kepada Ka’bah. Penganut Kapitayan tidak akan menerima agama apapun jika di dalamnya masih memperlihatkan ritual pemujaan kepada benda-benda.
Baru pada perkembangan selanjutnya, Wali Songo memberikan penjelasan penting tentang hubungan erat antara teologis di dalam Islam dengan Kapitayan. Jika di dalam Kapitayan terdapat konsep Tuhan itu “tan kena kinaya ngapa”, di dalam Islam dikenal dengan konsep “laysa kamitslihi syaiun”. Praktik sembangyang penganut Kapiyatan juga tidak jauh berbeda dengan kaifiyat atau tata cara Salat umat Islam. Sampai saat ini umat Islam di Indonesia masih menggunakan istilah sembahyang dan Tuhan dalam keberagamaannya.
Dalam hal lainnya, tradisi Kapitayan oleh para Wali Songo penyebar Islam diakomodir mejadi tradisi yang benar-benar membumi di masyarakat Nusantara, mulai dari pembuatan nasi tumpeng, acara selamatan, kenduri (formulasi antara tradisi Nusantara dengan Persia), dan tradisi lain yang masih dipraktikkan sampai saat ini.
Cara yang telah ditempuh oleh Wali Songo tersebut menjadi kunci pembuka gerbang hidayah hingga orang-orang Nusantara para penganut Kapitayan berduyun-duyun memeluk Islam. Lantas dengan sikap pongah karena ketidakmengertian terhadap sejarah, kita mengatakan: betapa mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Nusantara karena memiliki kesamaan teologis. Sama sekali tidak begitu, para wali songo telah berjuang secara cerdas untuk menyebarkan Islam yang dulu pernah disejajarkan sama dengan agama-agama lainnya oleh para penganut Kapitayan.
Sudah saatnya, di bulan Ramadan ini kita harus mulai mengikis sikap pongah dan angkuh diri dalam beragama. Dengan sikap rendah hati itulah, Islam benar-benar dapat memancarkan rahmat bagi alam semesta. Pancaran rahmat itulah yang akan menerangi umat manusia meniti di atas jalan benar.
Posting Komentar untuk "Devosi Keagamaan dan Ketakutan Kita Pada Simbol Agama Lain"