Terbiasa Bersama Covid-19


Penyebaran Covid-19, sumber gambar: Kompas.com

Satu tahun lalu, saya menulis opini dengan topik lebaran dan pandemi di media ini. Beberapa kesimpulan dari tulisan tersebut antara lain: Pertama, peristiwa atau wabah pandemi Corona- yang saat itu dihadapi oleh umat manusia telah berlangsung selama tiga bulan- merupakan hal baru bagi manusia sekarang. Meskipun beberapa wabah pernah melanda dunia dan dihadapi oleh umat manusia namun pandemi yang disebabkan oleh penyebaran virus korona secara global merupakan hal pertama yang dialami oleh tiga generasi sekaligus: baby boomers, generasi X, Y, dan Z. Kedua, Bagi warga Indonesia- di bulan Mei sampai Juni 2020 lalu- bersamaan dengan pelaksanaan puasa dan Idul Fitri 1441 H merupakan masa transisi antara tetap melakukan tradisi keagamaan dan sosial yang telah mendarah daging dikerjakan selama puasa atau menahan diri terlebih dahulu dengan tidak mengerjakan tradisi-tradisi selama bulan suci Ramadan 1441 H untuk menghindari penularan virus korona.

Saat itu dapat dikatakan kepatuhan terhadap penerapan protokol kesehatan dan mengikuti instruksi serta sejumlah aturan yang diterapkan oleh pemerintah masih benar-benar dilakukan oleh warga negara. Misalnya, kerumunan di pasar-pasar tidak sepadat menjelang lebaran beberapa tahun lalu. Larangan mudik menjelang lebaran juga benar-benar dipatuhi oleh warga negara meskipun mereka harus kehilangan momentum tahunan yang dipandang sakral oleh umat Islam.

Ketiga, awal pandemi Covid-19 yang beriringan dengan perayaan besar umat Islam merupakan salah satu upaya alam ini untuk menyadarkan manusia terhadap kerapuhan dirinya dan sejumlah norma yang dihasilkan dalam kehidupan ini. Norma dan custom yang telah berlangsung ratusan hingga ribuan tahun dilakukan oleh manusia dengan mendadak runtuh hanya oleh makhluk renik bernama virus korona.

Penyelenggaraan ibadah umroh juga dihentikan untuk sementara. Dan umat Islam di dunia menghadapi lebaran dengan penuh kesahajaan. Jika beberapa tahun lalu pelaksanaan Salat Idul Fitri dalam satu kampung dipusatkan di satu titik lokasi, satu tahun lalu tidak demikian. Salat Idul Fitri diselenggarakan di beberapa titik dengan pengaturan jarak (social distancing) antar jamaah. Dalam kondisi darurat, agama memang memberikan kelonggaran barisan dalam Salat berjamaan yang seharusnya rapat, kemudian bisa dilonggarkan dengan memberi jarak 50 sentimeter antara satu orang dengan orang lainnya.

Keempat, telah terjadi hal menakjubkan selama satu semester pandemi di tahun 2020. Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah menunjukkan sikap bahu membahu bersama masyarakat dalam menangani pandemi yang belum dapat diprediksi kapan berakhir. Bantuan sosial tidak hanya disalurkan oleh pemerintah kepada warga terdampak, beberapa lembaga kemasyarakatan juga ikut berperan memberikan bantuan sosial kepada warga terdampak. Bentuk bantuan berupa alat pelindung diri, wastafel, handsanitizer, hingga sembako telah membantu warga masyarakat selama pandemi berlangsung.

Melalui pandemi Covid-19 telah muncul kesadaran baru bahwa kebersamaan, soliditas, dan solidaritas untuk mengantisipasi dampak dari pandemi merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Meskipun masih terdapat beberapa sinisme atau sikap nyinyir dari segelintir pihak terhadap kemunculan sikap altruis antara pemerintah dan masyarakat, walakin tidak mampu menghentikan kebaikan dan upaya perbaikan atau pemulihan berbagai fitur kehidupan akibat pandemi.

Kelima, kehadiran pandemi Covid-19 merupakan wabah yang belum pernah dihadapi oleh umat manusia era modern berskala global. Di triwulan penyebaran virus korona, warga negara memandang virus korona sebagai hal yang aneh, berbahaya terutama bagi orang-orang yang memiliki penyakit bawaan. Tidak sedikit orang-orang yang berjibaku melawan penularan virus harus meregang nyawa. Ratusan dokter dengan tenaga kesehatan dinyatakan sebagai pahlawan tanpa mengenal lelah secara telaten berusaha memulihkan orang-orang yang terpapar virus.

Rasio orang yang meninggal dunia hingga 5% dari kasus terkonfirmasi positif memiliki arti bahwa pandemi Covid-19 tidak semestinya disepelekan. Sekolah-sekolah menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring. Di satu sisi kebijakan ini bertujuan menekan penularan virus dan mencegah kemunculan kluster sekolah, tetapi jika tidak disikapi dengan bijak pun justru telah mengakibatkan jutaan anak sekolah kehilangan hak mendapatkan pendidikan dari negara. Artinya dari sisi akademik, kualitas pendidikan menurun drastis.

Satu Tahun Lebih Bersama Pandemi

Di awal pandemi, mungkin rasa was-was dan takut tertular masih kuat ada di dalam diri sebagian besar orang. Harus diakui dengan penuh kejujuran, meskipun ada segelintir orang yang berbual-bual atau mendustai perasaan dan bisikan hatinya mengucapkan ungkapan provokatif: “Saya tidak takut virus korona, karena virus merupakan tentara Tuhan yang diutus untuk menyerang manusia durhaka!” Toch pada akhirnya tidak sedikit orang-orang yang berkata dengan nada sombong itu terpapar juga oleh virus korona.

Sudah menjadi fitrah dan piranti bawaan di dalam diri manusia tertanam semangat survival for the fittest, bagaimana manusia tetap dapat mempertahankan kehidupannya. Meskipun orang merindukan surga namun dalam praktiknya kematian yang tidak dapat dihindari itu tetap saja menjadi sesuatu yang harus dihindari. Orang sakit pergi ke dokter bukan semata-mata ingin sembuh, namun berusaha melawan kematian, orang sehat tetap menjalankan rutinitas sarapan dan makan pun merupakan upaya mempertahankan agar tetap hidup.

Penyebaran virus korona secara telaten dilawan dan dicegah penyebarannya adalah hal nyata bahwa manusia ingin tetap bertahan hidup, paling tidak agar spesies manusia tetap dalam menapaki panggung sejarah kehidupan di dunia ini. Tanpa manusia, bagaimana dunia nanti? Apa mungkin bumi akan tetap seperti ini jika spesies manusia sebagai khalifahNya mengalami kepunahan? Mungkin kita sering berpikir demikian.

Setahun lalu, ketika di satu wilayah ditemukan kasus positif korona, orang-orang masih memiliki rasa takut jika mereka pun ikut tertular. Bahkan selama beberapa bulan di awal pandemi, stigma dan pelabelan kurang baik ditujukan kepada penyintas. Tidak heran di awal pandemi ada ungkapan: orang akan lebih mempermasalahkan teman di sampingnya batuk-batuk daripada temannya yang kentut dengan suara keras. Dari rasa takut itu memang berdampak baik, orang menjadi lebih berhati-hati saat keluar rumah atau mengunjungi tempat ramai.

Penerapan protokol kesehatan pun benar-benar dipatuhi. Peningkatan masus positif dan kematian akibat pandemi telah menjadi sinyal peringatan bahwa virus korona yang diklaim oleh beberapa pihak sebagai rekayasa global memang ada dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Lingkungan menjadi lebih jernih dan bersih ketika penularan virus gelombang pertama mulai memuncak. Pembatasan Sosial Berskala Besar diterapkan. Orang-orang mulai menghindari kerumunan dan lebih banyak berdiam diri di rumah masing-masing. Tradisi baik yang telah berlangsung ratusan tahun seperti halalbihala setelah bulan Ramadhan dialihkan menjadi silaturahmi virtual. Keriuhan di alam realita beringsrut pindah ke alam maya.

Setelah satu tahun pandemi, pada akhirnya umat manusia telah terbiasa hidup dengan berita, cerita, wacana, dan deret angka kasus-kasus positif, meninggal, sembuh, dan probable terpapar virus. Vaksinasi menjadi salah satu harapan masyarakat dunia. Setelah diberikan vaksin semua pihak memiliki harapan pandemi segera berakhir. Pendistribusian dan pemberian vaksin di masing-masing negara telah menjadi ajang pamor kemampuan sebuah negara melaman pandemi. Presiden India Narendra Modi sempat dipuji karena telah mampu melandaikan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di India.

Pemberian vaksin kepada rakyat India pun menjadi bahan pembicaraan presiden Modi kepada kepala negara lain. Bulan politis tersebut telah mengakibatkan euforia dan percaya diri berlebihan kepada masyarakat India. Pemerintah di negara itu memberikan izin kembali kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas, berkerumunan, mengikuti festival keagamaan. Gelombang kedua yang dipandang sebagai sebuah tsunami Covid-19 menjadi hal mengerikan bagi rakyat India. Angka kematian harian mencapai 4.000 dan angka positif Covid-19 pernah mencapai di atas 400 ribu dalam satu hari.

Kejadian di India, gelombang kedua penularan Coronavirus diseases 2019, menjadi pelajaran bagi masyarakat dunia. Pandemi belum selesai. Mutasi virus baru dengan kode B1617 masih menjadi ancaman bagi dunia. Setelah gelombang kedua di India, virus yang telah bermutasi telah menyebar ke delapan negara. Pemerintah Indonesia mulai lebih waspada. Bukan hanya mengeluarkan kebijakan pembatasan kegiatan berskala mikro saja, mudik sebagai tradisi tahunan pun kembali dilarang untuk mencegah lonjakan penularan virus. Tentu saja, kebijakan larangan mudik ini di satu sisi memang telah menghilangkan suasana ideal lebaran, walakin di sisi lain pemerintah dan masyarakat harus mematuhi kebijakan ini demi kebaikan seluruh pihak. Kita tentu saja sangat tidak mengharapkan apa yang terjadi di India dialami oleh kita.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Terbiasa Bersama Covid-19"