Sebuah pertanyaan yang pernah disampaikan oleh salah seorang teman beberapa tahun lalu masih mengendap apik di dalam diri saya. “Dari mana asal-usul orang Sukabumi?”. Pertanyaan ini merupakan hal mendasar atau jendela untuk memasuki alam dan kehidupan manusia Sukabumi dari berbagai aspek. Hal ini sejalan juga dengan apa yang selalu disampaikan oleh leluhur Sunda, kita harus mengenal dari mana asal kita, hana nguni hana mangké, ada dulu ada sekarang.
Meskipun demikian, masih jarang sekali penelitian dilakukan oleh akademisi, budayawan, pemerhati sosial, dan oleh orang-orang Sukabumi sendiri. Membongkar masa lalu orang Sukabumi dan cerita serta kisah yang menyertainya lebih didominasi oleh kisah-kisah di zaman kolonialisme hingga era pascakolonial. Kenyataan ini menunjukkan betapa Manusia Sukabumi Modern mengalami kesulitan mengakses data masa lalu karena tidak ada media penghubung yang dapat menjembatani Manusia Sukabumi Modern dengan kisah masa lalu leluhur mereka.
Akan lebih sulit lagi jika manusia modern dipaksa untuk memasuki kepala para leluhurnya sebagai syarat mutlak untuk mengetahui apa yang terjadi dan dialami oleh para leluhur. Satu kalimat yang pernah ditulis oleh Sejarawan Israel, Yuval Noah Harari masih menggelitik dalam pikiran saya. Harari menyatakan, untuk dapat mengenal baik apa yang terjadi di masa lalu, kita harus bisa masuk ke dalam kepala para leluhur. Memasuki kepala leluhur tentu merupakan sebuah idiomatik atau ungkapan konotatif.
Hal lainnya yang telah memutuskan ikatan antara masa lalu dengan manusia-manusia modern karena jejak-jejak masa lalu leluhur Sukabumi masih sulit dilacak. Jangankan melacak jejak leluhur manusia Sukabumi sebagai entitas kecil, orang Sunda sendiri masih mengalami kesulitan melacak jejak sejarah kerajaan-kerajaan Sunda jika tanpa bantuan literasi yang ditulis oleh orang-orang Jawa dan Belanda.
Orang Sunda sering mengeluarkan alasan hiperbolik saat memaparkan kerajaan-kerajaan di Sunda yang hanya sedikit sekali meninggalkan jejak masa lalu. Alasan yang dikemukakan biasanya, karena kerajaan-kerajaan di Sunda telah ngahyang, tilem, atau menghilang karena dipindahkan ke dimensi lain. Sebagai contoh, jejak masa lalu kerajaan di Sunda dapat ditemukan dalam artefak berbentuk prasasti Ciaruteun, Batu Tulis, dan Candi Cangkuang. Kisah masa lalu kerajaan Sunda juga memang ditemukan dalam beberapa naskah seperti Siksa Kandhang Karesian, Babad Tanah Jawa, walakin tidak sedetail dengan apa yang ditampilkan pada relief candi di daerah Jawa Tengah.
Harapan Baik
Judul opini ini harus diakui terlalu luas, akan lebih baik jika dijadikan judul sebuah buku ilmiah yang dihasilkan dari proses penelitian. Teman-teman budayawan, pecinta sejarah, dan beberapa komunitas telah melangkah lebih jauh untuk mengenal Sukabumi dari berabagai perspektif. Penelitian-penelitian sederhana dan penerbitan buku tentang Sukabumi menjadi harapan baik yang akan mengarahkan Manusia Sukabumi kepada penelitian lebih luas, mengenal Sukabumi dari hulu hingga hilir.
Cerita rakyat, toponimi, dan legenda-legenda Sukabumi mulai digali dan bermunculan sejak era reformasi. Tidak dapat ditawar lagi, keberadaan orang-orang dan komunitas yang telah mencoba mengelaborasi Sukabumi dari berbagai perspektif harus menjadi bagian integral dari program Pemerintah Daerah terkait pemajuan kebudayaan daerah. Dukungan pemerintah tentu saja tidak sekadar berbasis proyek atau anggaran semata, karena akan dipandang aneh dan terlalu naif ketika orang-orang Sukabumi sendiri harus memperkosa daerahnya hanya karena alasan untuk menggali lebih mendalam tentang Sukabumi.
Pembahasan mengenai Manusia Sukabumi dan peradaban yang menyertainya pun sedapat mungkin harus menghindari sikap dikotomis. Manusia Sukabumi modern merupakan entitas kompleks, beragam, sekaligus heterogen. Ungkapan sensitif seperti penggunaan kata pribumi dan nonpribumi, penduduk asli dan pendatang, sebaiknya dihindari ketika membicarakan Sukabumi.
Manusia Sukabumi Modern belum mampu melacak leluhur mereka secara tepat pasti, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengungkapkan bahwa diri kita yang lebih berhak mengeklaim sebagai penduduk asli atau orang tempatan. Bisa jadi leluhur kita merupakan pendatang di era nomaden atau di masa yang lebih dekat lagi dengan zaman modern.
Karena keterbatasan ruang, opini Manusia Sukabumi ini saya bagi menjadi dua bagian. Selain memaparkan beberapa kendala yang dihadapi oleh orang-orang Sukabumi sendiri di dalam menelusuri asal-usul leluhurnya, pada bagian ini akan dielaborasi bagaimana peran dan partisipasi Manusia Sukabumi di era modern pascakolonial. Peradaban masa lalu leluhur Sukabumi akan penulis elaborasi sebagai dasar pemikiran untuk membuka jendela penelitian oleh siapa saja yang konsern terhadap Sukabumian pada bagian kedua tulisan ini,
Manusia Sukabumi Modern dan Flat Earth
Manusia Sukabumi Modern secara letterlijk merupakan sekelompok orang yang menempati wilayah Sukabumi dengan keberagaman dan keheterogenan latar belakangnya. Manusia yang hidup setelah panggung sejarah dunia melintasi jembatan transisi dari kehidupan tradisional ke modern yang sering dihubungkan dengan semangat rasional yang menggebu-gebu. Meskipun demikian, alam modern sendiri sebetulnya dapat dikatakan baru menyentuh Manusia Sukabumi pascareformasi. Lebih khusus lagi, Manusia Sukabumi Modern merupakan sekelompok orang yang menempati wilayah Sukabumi setelah bersentuhan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi serta informasi.
Saya tidak akan mendikotomikan apalagi membenturkan Manusia Sukabumi yang masih memegang teguh tradisi dengan Manusia Sukabumi Modern karena dua kategori ini memiliki ciri, sifat, karakter, dan pemikiran sesuai dengan zamannya masing-masing. Manusia modern sering tidak luput memandang peradaban tradisional harus selalu sesuai dengan versi modern, inilah yang menyebabkan terjadinya benturan pemikiran sampai kepada tindakan. Sementara sebagian kelompok yang masih memegang teguh tradisi lama sering memandang kemajuan sebagai hal mengerikan, keluar dari tetekon atau pondasi dasar tradisi, dan memandang modernitas sebagai sesuatu yang berada di seberang jalan hingga sulit tersentuh oleh tradisi.
Generasi Y dan Z bisa dikatakan lebih mewakili Manusia Sukabumi Modern. Sementara itu, generasi X merupakan generasi transisi yang harus dapat menjembatani ruh tradisi dengan semangat modernitas generasi Y dan Z. Generasi Y dan Z sudah dipastikan begitu sulit dipisahkan dengan piranti-piranti produk unggulan teknologi dan informasi. Fitur-fitur kehidupannya pun sudah begitu berbeda dengan generasi sebelumnya.
Manusia Sukabumi Tradisional yang hidup beberapa dekade ke belakang masih telaten mengamalkan warisan leluhur mereka, misalnya pencak silat. Generasi Y dan Z tidak demikian, gerakan-gerakan silat dalam kehidupan manusia modern harus mengikuti algoritma yang telah dibenamkan dalam piranti lunak gawai. Maka tidak heran, Manusia Modern Sukabumi lebih memilih gerakan dalam aplikasi Tiktok daripada gerakan pencak silat.
Di era revolusi agrikultur atau tradisi ngahuma , leluhur manusia telah mampu memindahkan medan pertempuran mereka dari alam yang buas ke medan pertanian. Dalam situasi seperti ini, leluhur manusia diharuskan menerapkan strategi baru, bukan lagi melawan dan sangat tergantung kepada alam melainkan harus berkompromi, bersahabat, bahkan mengikuti kehendak alam. Agar tetap survival dan terus berkembang, leluhur manusia mengambil pendekatan baru, untuk mengalahkan alam justru dengan cara mematuhi hukum-hukum alam tersebut. Prantata yang terbentuk di masyarakat dihadirkan dalam berbagai mitos.
Manusia Sukabumi Modern bahkan hampir rata-rata manusia di dunia ini telah mengalihkan kembali strategi agar mereka survival dengan memosisikan diri sebagai penjaga alam, meskipun pada praktiknya cenderung mengeruk alam lantas mencoba menjauhinya. Pranata tradisional di berbagai aspek kehidupan seperti keluarga inti, pendidikan, kemasyarakatan, dan agama direkonstruksi dan ditransformasi ulang menjadi pranata virtual oleh manusia modern.
Para pemuja teori Flat Earth berpikiran bahwa bentuk Bumi yang ditempati oleh manusia benar-benar datar secara fisik, pandangan ini jelas keliru karena teori Geosentris dan Heliosentris yang dilahirkan di era tradisional menyajikan bentuk Bumi yang bulat pepat. Walakin, secara kontekstual melalui penafsiran baru, Bumi tepat tinggal kita saat ini seolah memang telah menjadi lebih datar atau flat dari sebelumnya. Komunikasi antara orang Amerika yang berada di bagian barat Bumi (padahal berada di bawah orang-orang Indonesia) berjalan lancar dengan orang Sukabumi di bagian Bumi lainnya, seolah-olah Bumi ini begitu datar.
Bumi yang dirasakan semakin mendatar memengaruhi karakter Manusia Sukabumi Modern. Untuk mengetahui tempat-tempat tertentu, Manusia Sukabumi Modern tinggal melihat peta virtual. Jarak dari titik A ke titik B, pada peta virtual tentu saja terlihat begitu dekat dan sangat datar. Pengaruh pandangan Bumi begitu datar ini berimbas terhadap sikap baru; manusia modern cenderung tidak tapat waktu dalam berbagai hal. Tempat-tempat yang dipandang begitu jauh beberapa waktu lalu, di era modern ini dirasakan lebih dekat. Namun kita, manusia-manusia modern tetap saja mengalami kesulitan mengimbangi prilaku manusia tradisional dalam hal ketepatan waktu.
Beberapa cerita rakyat, meskipun mulai dikenal dan berkembang baru dua dekade ini, dapat dijadikan salah satu penyerta rujukan tentang keberadaan sejarah dan asal-usul Manusia Sukabumi. Pakujajar di Gunungparang adalah salah satu cerita awal keberadaan wilayah atau wewengkon Sukabumi yang ditulis oleh Anis Jatisunda patut dikaji melalui pendekatan ilmiah. Melalui ceirta rakyat ini dapat diketahui latar belakang Sukabumi terbentuk, karakter Manusia Sukabumi saat itu, dan iklim sosial kultural Manusia Sukabumi awal di era pascakeruntuhan kerajaan Sunda.
Bagian pertama opini Manusia Sukabumi telah menyoal eksistensi Manusia Sukabumi Modern secara umum. Pada bagian kedua ini, penulis akan menyajikan kondisi Sukabumi pada zaman nirleka atau prasejarah hingga zaman pra-kolonialisme. Harus diakui, hampir tidak pernah dilakukan penelitian mengenai Sukabumi secara holistik apalagi sampai menyentuh ke alam nirleka atau prasejarah. Hal ini bukan disebabkan oleh tidak ada objek yang harus diteliti, kecuali penelitian seperti ini benar-benar memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran, bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah proyek besar yang harus melibatkan Manusia Sukabumi Modern dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu.
Zaman Nirleka
Tidak ada seorang pun yang pernah tahu persis seperti apa situasi dan kondisi wilayah atau wewengkon Sukabumi di zaman prasejarah atau nirleka. Kita belum pernah dikejutkan oleh penemuan fosil dan artefak peninggalan masa lalu zaman prasejarah di Sukabumi. Memang ada beberapa cerita rakyat yang dapat menjurus ke era prasejarah, misalnya dalam cerita rakyat Cikundul yang pernah saya tulis disebutkan keberadaan tokoh raksasa atau bhuta dalam dongeng Nyimas Tjai Wangi.
Sosok raksasa memang pernah ada dalam pentas kehidupan di Bumi ini. Penemuan fosil Megantrophus Paleojavanicus oleh Von Koenigswald atau manusia raksasa dari Jawa dapat menjadi bukti bahwa penyebaran jenis manusia raksasa di daerah Jawa pada 1,9 juta tahun lalu begitu merata. Sosok manusia raksasa atau Yaksa Purusha juga muncul dalam Naskah Wangsakerta. Harus diakui, naskah ini sendiri masih diteliti orisinalitasnya, namun jika kita membacanya dengan runut, naskah yang diklaim sebagai hasil dari konsensus para mahakawi atau ahli sejarah kuno memiliki sistematika penyajian alur dan lini masa sejarah yang apik.
Eksistensi manusia raksasa atau manusia berukuran besar pada zaman nirleka beririsan dengan kognisi rata-rata Manusia Sukabumi ketika menafsirkan bahwa manusia zaman dahulu memiliki postur tubuh tinggi besar. Umat Islam memercayai tinggi Nabi Adam yang dipandang sebagai manusia pertama adalah 60 hasta.
Pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan yaitu, apakah telah muncul sosok sapiens di Sukabumi pada masa nirleka? Transisi zaman prasejarah ke zaman baru atau era mengenal tulisan ditandai dengan revolusi kognitif dan agrikultur pada 12.000 tahun lalu. Kondisi alam Sukabumi dengan vegetasi alami dan sumber daya hayati yang melimpah membuka kemungkinan cukup besar, di wilayah ini telah terjadi eksodus sapiens atau leluhur manusia dari pelosok lain di era nomaden.
Revolusi agrikultur mengharuskan sapiens Sukabumi yang baru menempati lahan baru untuk membukanya menjadi wilayah bercocok tanam. Hubungan antara era revolusi pertanian dengan masa setelahnya terlihat dari jenis pemukiman dan arsitektur bangunan. Pemukiman masyarakat agraris membentuk pola terpusat. Hal ini disebabkan oleh kuatnya ikatan kekerabatan dan kesamaan bidang pekerjaan anggota masyarakatnya. Rumah panggung atau saung yang dibangun berdekatan dengan lahan garapan adalah jenis bangunan adaptif agar sesuai dengan kondisi alam saat itu. Perlu diingat, era revolusi agrikultur merupakan masa sapiens mulai merangkak naik menuju piramida puncak rantai makanan. Ikatan kekerabatan antar masyarakat yang kuat ini menjadi penyebab anggota masyarakat yang terbentuk di Sukabumi berasal dari keluarga-keluarga inti yang masih memiliki ikatan saudara. Hubungan masyarakat agrikultur dengan alam telah membentuk norma kemasyarakatan yang diverbalkan dalam beberapa pepatah, babasan, dan paribasa.
Akibat kemunculan revolusi agrikultur telah diperkenalkan peribahasa: ulah sok paraséa jeung dulur, bisi pajauh huma, (jangan suka bertengkar atau memendam permusuhan dengan saudara, nanti tercerai-berai). Paribasa seperti itu memang dikenal dalam diksi modern, namun cikal bakal kelahirannya dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat Sukabumi di era revolusi agrikultur yang membuat pemukiman berdekatan dengan areal lahan pertanian (huma).
Pertumbuhan populasi Manusia Sukabumi berkembang secara signifikan di era revolusi agrikultur sampai sebelum era kerajaan-kerajaan Sunda. Beberapa kasus kematian ibu dan anak di saat melahirkan telah menciptakan partikularisasi maternal dengan kehadiran dukun beranak, paraji, atau ma beurang.
Ketangkasan para leluhur dalam menghadapi apa yang terjadi di alam sekitar telah membentuk karakter baik bagi komunitas. Gotong royong atau kebersamaan dalam menghadapi wabah hama dan kesigapan mereka di saat mengusir hewan-hewan perusak tanaman telah melahirkan generasi rancingeus atau cekatan.
Perkembangan selanjutnya, leluhur Manusia Sukabumi mulai melakukan domestikasi sejumlah binatang buruan. Kerbau hutan dipelihara, unggas diternak agar beranak pinak. Kekuatan kerbau (kebo, munding) dimanfaatkan oleh Manusia Sukabumi untuk mengolah lahan pertanian. Beberapa abad kemudian setelah revolusi agrikultur nama-nama binatang yang memiliki kekuatan ini disematkan kepada nama manusia hebat di Nusantara. Mundinglaya, Gajahmada, Jalak Harupat, Kebo kenanga, dll merupakan nama-nama pesohor Nusantara yang berkembang di masyarakat agraris setelah kemunculan komunitas lebih besar bernama kerajaan.
Era Sejarah
Zaman sejarah dilahirkan dari rahim peradaban manusia setelah mengenal tulisan. Penyajian simbol ke dalam berbagai media, transformasi ungkapan verbal ke dalam aksara, dan penyampaian komunikasi melalui tulisan. Peradaban besar selalu dilahirkan di lingkungan masyarakat yang telah mampu mengatur alur komunikasi dan mengembangkannya menjadi informasi bagi anggota masyarakat lainnya.
Kita sulit mengelak untuk mengatakan para leluhur Manusia Sukabumi dan Manusia Sunda sebagai manusia hebat. Hal ini ditandai dengan kelahiran aksara yang diciptakan oleh leluhur Manusia Sunda. Manusia Modern Sukabumi di era milenial ini, saya pikir, belum mampu menciptakan aksara baru seperti yang pernah dilakukan oleh para leluhurnya. Sebutan Agryre atau negara perak oleh Ptelomeus untuk wilayah Sunda bagian barat (Bogor dan Sukabumi) bukan tanpa alasan. Kerajaan besar yang memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan sejarah berikutnya di Tatar Pasundan bernama Salaka Nagara berdiri pada tahun 200 M di wilayah ini. Sebutan negara perak ini memang tidak selalu harus diberi makna denotatif. Secara metafora, agryre berarti wilayah berkemilau, dalam tradisi Sunda disebut Cai. Istilah Cai tidak merujuk secara langsung pada air. Cai merupakan pantulan cahaya matahari ketika menyentuh permukaan air. Di dalam tradisi Sunda, air sebagai zat memiliki padanan kata yang lebih tepat yaitu banyu. Terdapat banyak nama wilayah sentral pemukiman diberi nama berawalan Ci di Sukabumi dan tatar Pasundan ini. Partikularisasi wilayah penduduk Sukabumi para perkembangan selanjutnya, merujuk pada naskah Pakujajar di Gunungparang secara tersirat didomininasi oleh akar kegiatan mereka sebagai manusia agraris. Meskipun dalam narasi cerita ini tidak menyebutkan kapan dan waktu peristiwa pembukaan lahan yang miring ke arah selatan oleh Wangsa Suta, walakin dapat dikorelasikan dengan peristiwa pascakeruntuhan kerajaan Pajajaran. Permintaan Nyai Pudak Arum kepada Wangsa Suta untuk membuka lahan baru mengindikasikan emansipasi wanita yang baru didengungkan dan diregulasikan di Eropa pada awal abad ke 19 telah membumi di wilayah ini. Rata-rata cerita rakyat yang berkembang di Tatar Sunda diwarnai oleh gerakan emansipasi wanita dalam adegan klimaksnya, seorang perempuan memberikan syarat kepada lelaki yang akan menikahi dirinya.
Rangkaian cerita ini sangat memengaruhi kehidupan Manusia Sukabumi, seorang perempuan tidak mudah dilamar dan dinikahi begitu saja oleh lelaki bahkan tidak jarang perempuan ditempatkan pada posisi terhormat, tidak boleh disentuh oleh sembarangan lelaki sebelum menikah. Patut disayangkan, etika ini mulai luntur setelah mayoritas masyarakat tradisional dikungkung oleh nilai aristokrasi yang dibawa oleh para pendatang Eropa.
Sikap superioritas lelaki dan intervensi mereka kepada kaum perempuan begitu kental dalam kehidupan masyarakat melalui ungkapan: tugas perempuan itu hanya di sumur, dapur, dan kasur. Etika seperti ini tidak pernah dikenal oleh Manusia Sukabumi sebelum mereka berinteraksi dengan budaya lain yang belum mengenal konsep emansipasi perempuan.
Manusia Sukabumi sejak era nirleka hingga sekarang merupakan rangkaian cerita saling berkesinambungan. Hubungan yang erat antara masa lalu dengan masa kini dapat ditelusuri melalui percikan atau sisa-sisa etika dan norma yang masih berkembang di masyarakat sampai sekarang.
Meskipun demikian, masih jarang sekali penelitian dilakukan oleh akademisi, budayawan, pemerhati sosial, dan oleh orang-orang Sukabumi sendiri. Membongkar masa lalu orang Sukabumi dan cerita serta kisah yang menyertainya lebih didominasi oleh kisah-kisah di zaman kolonialisme hingga era pascakolonial. Kenyataan ini menunjukkan betapa Manusia Sukabumi Modern mengalami kesulitan mengakses data masa lalu karena tidak ada media penghubung yang dapat menjembatani Manusia Sukabumi Modern dengan kisah masa lalu leluhur mereka.
Akan lebih sulit lagi jika manusia modern dipaksa untuk memasuki kepala para leluhurnya sebagai syarat mutlak untuk mengetahui apa yang terjadi dan dialami oleh para leluhur. Satu kalimat yang pernah ditulis oleh Sejarawan Israel, Yuval Noah Harari masih menggelitik dalam pikiran saya. Harari menyatakan, untuk dapat mengenal baik apa yang terjadi di masa lalu, kita harus bisa masuk ke dalam kepala para leluhur. Memasuki kepala leluhur tentu merupakan sebuah idiomatik atau ungkapan konotatif.
Hal lainnya yang telah memutuskan ikatan antara masa lalu dengan manusia-manusia modern karena jejak-jejak masa lalu leluhur Sukabumi masih sulit dilacak. Jangankan melacak jejak leluhur manusia Sukabumi sebagai entitas kecil, orang Sunda sendiri masih mengalami kesulitan melacak jejak sejarah kerajaan-kerajaan Sunda jika tanpa bantuan literasi yang ditulis oleh orang-orang Jawa dan Belanda.
Orang Sunda sering mengeluarkan alasan hiperbolik saat memaparkan kerajaan-kerajaan di Sunda yang hanya sedikit sekali meninggalkan jejak masa lalu. Alasan yang dikemukakan biasanya, karena kerajaan-kerajaan di Sunda telah ngahyang, tilem, atau menghilang karena dipindahkan ke dimensi lain. Sebagai contoh, jejak masa lalu kerajaan di Sunda dapat ditemukan dalam artefak berbentuk prasasti Ciaruteun, Batu Tulis, dan Candi Cangkuang. Kisah masa lalu kerajaan Sunda juga memang ditemukan dalam beberapa naskah seperti Siksa Kandhang Karesian, Babad Tanah Jawa, walakin tidak sedetail dengan apa yang ditampilkan pada relief candi di daerah Jawa Tengah.
Harapan Baik
Judul opini ini harus diakui terlalu luas, akan lebih baik jika dijadikan judul sebuah buku ilmiah yang dihasilkan dari proses penelitian. Teman-teman budayawan, pecinta sejarah, dan beberapa komunitas telah melangkah lebih jauh untuk mengenal Sukabumi dari berabagai perspektif. Penelitian-penelitian sederhana dan penerbitan buku tentang Sukabumi menjadi harapan baik yang akan mengarahkan Manusia Sukabumi kepada penelitian lebih luas, mengenal Sukabumi dari hulu hingga hilir.
Cerita rakyat, toponimi, dan legenda-legenda Sukabumi mulai digali dan bermunculan sejak era reformasi. Tidak dapat ditawar lagi, keberadaan orang-orang dan komunitas yang telah mencoba mengelaborasi Sukabumi dari berbagai perspektif harus menjadi bagian integral dari program Pemerintah Daerah terkait pemajuan kebudayaan daerah. Dukungan pemerintah tentu saja tidak sekadar berbasis proyek atau anggaran semata, karena akan dipandang aneh dan terlalu naif ketika orang-orang Sukabumi sendiri harus memperkosa daerahnya hanya karena alasan untuk menggali lebih mendalam tentang Sukabumi.
Pembahasan mengenai Manusia Sukabumi dan peradaban yang menyertainya pun sedapat mungkin harus menghindari sikap dikotomis. Manusia Sukabumi modern merupakan entitas kompleks, beragam, sekaligus heterogen. Ungkapan sensitif seperti penggunaan kata pribumi dan nonpribumi, penduduk asli dan pendatang, sebaiknya dihindari ketika membicarakan Sukabumi.
Manusia Sukabumi Modern belum mampu melacak leluhur mereka secara tepat pasti, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengungkapkan bahwa diri kita yang lebih berhak mengeklaim sebagai penduduk asli atau orang tempatan. Bisa jadi leluhur kita merupakan pendatang di era nomaden atau di masa yang lebih dekat lagi dengan zaman modern.
Karena keterbatasan ruang, opini Manusia Sukabumi ini saya bagi menjadi dua bagian. Selain memaparkan beberapa kendala yang dihadapi oleh orang-orang Sukabumi sendiri di dalam menelusuri asal-usul leluhurnya, pada bagian ini akan dielaborasi bagaimana peran dan partisipasi Manusia Sukabumi di era modern pascakolonial. Peradaban masa lalu leluhur Sukabumi akan penulis elaborasi sebagai dasar pemikiran untuk membuka jendela penelitian oleh siapa saja yang konsern terhadap Sukabumian pada bagian kedua tulisan ini,
Manusia Sukabumi Modern dan Flat Earth
Manusia Sukabumi Modern secara letterlijk merupakan sekelompok orang yang menempati wilayah Sukabumi dengan keberagaman dan keheterogenan latar belakangnya. Manusia yang hidup setelah panggung sejarah dunia melintasi jembatan transisi dari kehidupan tradisional ke modern yang sering dihubungkan dengan semangat rasional yang menggebu-gebu. Meskipun demikian, alam modern sendiri sebetulnya dapat dikatakan baru menyentuh Manusia Sukabumi pascareformasi. Lebih khusus lagi, Manusia Sukabumi Modern merupakan sekelompok orang yang menempati wilayah Sukabumi setelah bersentuhan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi serta informasi.
Saya tidak akan mendikotomikan apalagi membenturkan Manusia Sukabumi yang masih memegang teguh tradisi dengan Manusia Sukabumi Modern karena dua kategori ini memiliki ciri, sifat, karakter, dan pemikiran sesuai dengan zamannya masing-masing. Manusia modern sering tidak luput memandang peradaban tradisional harus selalu sesuai dengan versi modern, inilah yang menyebabkan terjadinya benturan pemikiran sampai kepada tindakan. Sementara sebagian kelompok yang masih memegang teguh tradisi lama sering memandang kemajuan sebagai hal mengerikan, keluar dari tetekon atau pondasi dasar tradisi, dan memandang modernitas sebagai sesuatu yang berada di seberang jalan hingga sulit tersentuh oleh tradisi.
Generasi Y dan Z bisa dikatakan lebih mewakili Manusia Sukabumi Modern. Sementara itu, generasi X merupakan generasi transisi yang harus dapat menjembatani ruh tradisi dengan semangat modernitas generasi Y dan Z. Generasi Y dan Z sudah dipastikan begitu sulit dipisahkan dengan piranti-piranti produk unggulan teknologi dan informasi. Fitur-fitur kehidupannya pun sudah begitu berbeda dengan generasi sebelumnya.
Manusia Sukabumi Tradisional yang hidup beberapa dekade ke belakang masih telaten mengamalkan warisan leluhur mereka, misalnya pencak silat. Generasi Y dan Z tidak demikian, gerakan-gerakan silat dalam kehidupan manusia modern harus mengikuti algoritma yang telah dibenamkan dalam piranti lunak gawai. Maka tidak heran, Manusia Modern Sukabumi lebih memilih gerakan dalam aplikasi Tiktok daripada gerakan pencak silat.
Di era revolusi agrikultur atau tradisi ngahuma , leluhur manusia telah mampu memindahkan medan pertempuran mereka dari alam yang buas ke medan pertanian. Dalam situasi seperti ini, leluhur manusia diharuskan menerapkan strategi baru, bukan lagi melawan dan sangat tergantung kepada alam melainkan harus berkompromi, bersahabat, bahkan mengikuti kehendak alam. Agar tetap survival dan terus berkembang, leluhur manusia mengambil pendekatan baru, untuk mengalahkan alam justru dengan cara mematuhi hukum-hukum alam tersebut. Prantata yang terbentuk di masyarakat dihadirkan dalam berbagai mitos.
Manusia Sukabumi Modern bahkan hampir rata-rata manusia di dunia ini telah mengalihkan kembali strategi agar mereka survival dengan memosisikan diri sebagai penjaga alam, meskipun pada praktiknya cenderung mengeruk alam lantas mencoba menjauhinya. Pranata tradisional di berbagai aspek kehidupan seperti keluarga inti, pendidikan, kemasyarakatan, dan agama direkonstruksi dan ditransformasi ulang menjadi pranata virtual oleh manusia modern.
Para pemuja teori Flat Earth berpikiran bahwa bentuk Bumi yang ditempati oleh manusia benar-benar datar secara fisik, pandangan ini jelas keliru karena teori Geosentris dan Heliosentris yang dilahirkan di era tradisional menyajikan bentuk Bumi yang bulat pepat. Walakin, secara kontekstual melalui penafsiran baru, Bumi tepat tinggal kita saat ini seolah memang telah menjadi lebih datar atau flat dari sebelumnya. Komunikasi antara orang Amerika yang berada di bagian barat Bumi (padahal berada di bawah orang-orang Indonesia) berjalan lancar dengan orang Sukabumi di bagian Bumi lainnya, seolah-olah Bumi ini begitu datar.
Bumi yang dirasakan semakin mendatar memengaruhi karakter Manusia Sukabumi Modern. Untuk mengetahui tempat-tempat tertentu, Manusia Sukabumi Modern tinggal melihat peta virtual. Jarak dari titik A ke titik B, pada peta virtual tentu saja terlihat begitu dekat dan sangat datar. Pengaruh pandangan Bumi begitu datar ini berimbas terhadap sikap baru; manusia modern cenderung tidak tapat waktu dalam berbagai hal. Tempat-tempat yang dipandang begitu jauh beberapa waktu lalu, di era modern ini dirasakan lebih dekat. Namun kita, manusia-manusia modern tetap saja mengalami kesulitan mengimbangi prilaku manusia tradisional dalam hal ketepatan waktu.
Beberapa cerita rakyat, meskipun mulai dikenal dan berkembang baru dua dekade ini, dapat dijadikan salah satu penyerta rujukan tentang keberadaan sejarah dan asal-usul Manusia Sukabumi. Pakujajar di Gunungparang adalah salah satu cerita awal keberadaan wilayah atau wewengkon Sukabumi yang ditulis oleh Anis Jatisunda patut dikaji melalui pendekatan ilmiah. Melalui ceirta rakyat ini dapat diketahui latar belakang Sukabumi terbentuk, karakter Manusia Sukabumi saat itu, dan iklim sosial kultural Manusia Sukabumi awal di era pascakeruntuhan kerajaan Sunda.
Bagian pertama opini Manusia Sukabumi telah menyoal eksistensi Manusia Sukabumi Modern secara umum. Pada bagian kedua ini, penulis akan menyajikan kondisi Sukabumi pada zaman nirleka atau prasejarah hingga zaman pra-kolonialisme. Harus diakui, hampir tidak pernah dilakukan penelitian mengenai Sukabumi secara holistik apalagi sampai menyentuh ke alam nirleka atau prasejarah. Hal ini bukan disebabkan oleh tidak ada objek yang harus diteliti, kecuali penelitian seperti ini benar-benar memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran, bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah proyek besar yang harus melibatkan Manusia Sukabumi Modern dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu.
Zaman Nirleka
Tidak ada seorang pun yang pernah tahu persis seperti apa situasi dan kondisi wilayah atau wewengkon Sukabumi di zaman prasejarah atau nirleka. Kita belum pernah dikejutkan oleh penemuan fosil dan artefak peninggalan masa lalu zaman prasejarah di Sukabumi. Memang ada beberapa cerita rakyat yang dapat menjurus ke era prasejarah, misalnya dalam cerita rakyat Cikundul yang pernah saya tulis disebutkan keberadaan tokoh raksasa atau bhuta dalam dongeng Nyimas Tjai Wangi.
Sosok raksasa memang pernah ada dalam pentas kehidupan di Bumi ini. Penemuan fosil Megantrophus Paleojavanicus oleh Von Koenigswald atau manusia raksasa dari Jawa dapat menjadi bukti bahwa penyebaran jenis manusia raksasa di daerah Jawa pada 1,9 juta tahun lalu begitu merata. Sosok manusia raksasa atau Yaksa Purusha juga muncul dalam Naskah Wangsakerta. Harus diakui, naskah ini sendiri masih diteliti orisinalitasnya, namun jika kita membacanya dengan runut, naskah yang diklaim sebagai hasil dari konsensus para mahakawi atau ahli sejarah kuno memiliki sistematika penyajian alur dan lini masa sejarah yang apik.
Eksistensi manusia raksasa atau manusia berukuran besar pada zaman nirleka beririsan dengan kognisi rata-rata Manusia Sukabumi ketika menafsirkan bahwa manusia zaman dahulu memiliki postur tubuh tinggi besar. Umat Islam memercayai tinggi Nabi Adam yang dipandang sebagai manusia pertama adalah 60 hasta.
Pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan yaitu, apakah telah muncul sosok sapiens di Sukabumi pada masa nirleka? Transisi zaman prasejarah ke zaman baru atau era mengenal tulisan ditandai dengan revolusi kognitif dan agrikultur pada 12.000 tahun lalu. Kondisi alam Sukabumi dengan vegetasi alami dan sumber daya hayati yang melimpah membuka kemungkinan cukup besar, di wilayah ini telah terjadi eksodus sapiens atau leluhur manusia dari pelosok lain di era nomaden.
Revolusi agrikultur mengharuskan sapiens Sukabumi yang baru menempati lahan baru untuk membukanya menjadi wilayah bercocok tanam. Hubungan antara era revolusi pertanian dengan masa setelahnya terlihat dari jenis pemukiman dan arsitektur bangunan. Pemukiman masyarakat agraris membentuk pola terpusat. Hal ini disebabkan oleh kuatnya ikatan kekerabatan dan kesamaan bidang pekerjaan anggota masyarakatnya. Rumah panggung atau saung yang dibangun berdekatan dengan lahan garapan adalah jenis bangunan adaptif agar sesuai dengan kondisi alam saat itu. Perlu diingat, era revolusi agrikultur merupakan masa sapiens mulai merangkak naik menuju piramida puncak rantai makanan. Ikatan kekerabatan antar masyarakat yang kuat ini menjadi penyebab anggota masyarakat yang terbentuk di Sukabumi berasal dari keluarga-keluarga inti yang masih memiliki ikatan saudara. Hubungan masyarakat agrikultur dengan alam telah membentuk norma kemasyarakatan yang diverbalkan dalam beberapa pepatah, babasan, dan paribasa.
Akibat kemunculan revolusi agrikultur telah diperkenalkan peribahasa: ulah sok paraséa jeung dulur, bisi pajauh huma, (jangan suka bertengkar atau memendam permusuhan dengan saudara, nanti tercerai-berai). Paribasa seperti itu memang dikenal dalam diksi modern, namun cikal bakal kelahirannya dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat Sukabumi di era revolusi agrikultur yang membuat pemukiman berdekatan dengan areal lahan pertanian (huma).
Pertumbuhan populasi Manusia Sukabumi berkembang secara signifikan di era revolusi agrikultur sampai sebelum era kerajaan-kerajaan Sunda. Beberapa kasus kematian ibu dan anak di saat melahirkan telah menciptakan partikularisasi maternal dengan kehadiran dukun beranak, paraji, atau ma beurang.
Ketangkasan para leluhur dalam menghadapi apa yang terjadi di alam sekitar telah membentuk karakter baik bagi komunitas. Gotong royong atau kebersamaan dalam menghadapi wabah hama dan kesigapan mereka di saat mengusir hewan-hewan perusak tanaman telah melahirkan generasi rancingeus atau cekatan.
Perkembangan selanjutnya, leluhur Manusia Sukabumi mulai melakukan domestikasi sejumlah binatang buruan. Kerbau hutan dipelihara, unggas diternak agar beranak pinak. Kekuatan kerbau (kebo, munding) dimanfaatkan oleh Manusia Sukabumi untuk mengolah lahan pertanian. Beberapa abad kemudian setelah revolusi agrikultur nama-nama binatang yang memiliki kekuatan ini disematkan kepada nama manusia hebat di Nusantara. Mundinglaya, Gajahmada, Jalak Harupat, Kebo kenanga, dll merupakan nama-nama pesohor Nusantara yang berkembang di masyarakat agraris setelah kemunculan komunitas lebih besar bernama kerajaan.
Era Sejarah
Zaman sejarah dilahirkan dari rahim peradaban manusia setelah mengenal tulisan. Penyajian simbol ke dalam berbagai media, transformasi ungkapan verbal ke dalam aksara, dan penyampaian komunikasi melalui tulisan. Peradaban besar selalu dilahirkan di lingkungan masyarakat yang telah mampu mengatur alur komunikasi dan mengembangkannya menjadi informasi bagi anggota masyarakat lainnya.
Kita sulit mengelak untuk mengatakan para leluhur Manusia Sukabumi dan Manusia Sunda sebagai manusia hebat. Hal ini ditandai dengan kelahiran aksara yang diciptakan oleh leluhur Manusia Sunda. Manusia Modern Sukabumi di era milenial ini, saya pikir, belum mampu menciptakan aksara baru seperti yang pernah dilakukan oleh para leluhurnya. Sebutan Agryre atau negara perak oleh Ptelomeus untuk wilayah Sunda bagian barat (Bogor dan Sukabumi) bukan tanpa alasan. Kerajaan besar yang memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan sejarah berikutnya di Tatar Pasundan bernama Salaka Nagara berdiri pada tahun 200 M di wilayah ini. Sebutan negara perak ini memang tidak selalu harus diberi makna denotatif. Secara metafora, agryre berarti wilayah berkemilau, dalam tradisi Sunda disebut Cai. Istilah Cai tidak merujuk secara langsung pada air. Cai merupakan pantulan cahaya matahari ketika menyentuh permukaan air. Di dalam tradisi Sunda, air sebagai zat memiliki padanan kata yang lebih tepat yaitu banyu. Terdapat banyak nama wilayah sentral pemukiman diberi nama berawalan Ci di Sukabumi dan tatar Pasundan ini. Partikularisasi wilayah penduduk Sukabumi para perkembangan selanjutnya, merujuk pada naskah Pakujajar di Gunungparang secara tersirat didomininasi oleh akar kegiatan mereka sebagai manusia agraris. Meskipun dalam narasi cerita ini tidak menyebutkan kapan dan waktu peristiwa pembukaan lahan yang miring ke arah selatan oleh Wangsa Suta, walakin dapat dikorelasikan dengan peristiwa pascakeruntuhan kerajaan Pajajaran. Permintaan Nyai Pudak Arum kepada Wangsa Suta untuk membuka lahan baru mengindikasikan emansipasi wanita yang baru didengungkan dan diregulasikan di Eropa pada awal abad ke 19 telah membumi di wilayah ini. Rata-rata cerita rakyat yang berkembang di Tatar Sunda diwarnai oleh gerakan emansipasi wanita dalam adegan klimaksnya, seorang perempuan memberikan syarat kepada lelaki yang akan menikahi dirinya.
Rangkaian cerita ini sangat memengaruhi kehidupan Manusia Sukabumi, seorang perempuan tidak mudah dilamar dan dinikahi begitu saja oleh lelaki bahkan tidak jarang perempuan ditempatkan pada posisi terhormat, tidak boleh disentuh oleh sembarangan lelaki sebelum menikah. Patut disayangkan, etika ini mulai luntur setelah mayoritas masyarakat tradisional dikungkung oleh nilai aristokrasi yang dibawa oleh para pendatang Eropa.
Sikap superioritas lelaki dan intervensi mereka kepada kaum perempuan begitu kental dalam kehidupan masyarakat melalui ungkapan: tugas perempuan itu hanya di sumur, dapur, dan kasur. Etika seperti ini tidak pernah dikenal oleh Manusia Sukabumi sebelum mereka berinteraksi dengan budaya lain yang belum mengenal konsep emansipasi perempuan.
Manusia Sukabumi sejak era nirleka hingga sekarang merupakan rangkaian cerita saling berkesinambungan. Hubungan yang erat antara masa lalu dengan masa kini dapat ditelusuri melalui percikan atau sisa-sisa etika dan norma yang masih berkembang di masyarakat sampai sekarang.
Posting Komentar untuk "Manusia Sukabumi "