Sebuah status di salah satu grup media sosial berisi upaya menggeneralisasi pentas sejarah bangsa dalam beberapa kalimat singkat sempat mengusik para pembaca. Penggalan status tersebut berisi kalimat seperti ini: PRRI Permesta, DI/TII, PKI, NII, Kelompok Jihadis, dan Masyumi merupakan perongrong kedaulatan NKRI, kesemuanya lahir dari rahim Sarekat Islam (SI).
Status seperti itu sudah sering terjadi dan mendapatkan beragam reaksi dari kedua pihak antara yang menyetujui dan memberikan perlawanan atau sanggahan. Sudah tentu, kedua belah pihak antara mereka yang setuju dan tidak setuju hanya baku hantam dalam komentar, saling serang mulai dari ungkapan-ungkapan rendah sampai meninggi pada sikap saling cemooh.
Fenomena saling serang, persinggungan pendapat, debat tidak bermartabat, dan saling menghujat melalui media sosial merupakan babak baru fenomena kehidupan manusia di era infotech, sulit dihindarkan. Meskipun di era sebelumnya, luapan perbedaan pendapat dan polarisasi masyarakat ke dalam dua kutub yang saling berseberangan telah berlangsung sejak negara ini memasuki era kemerdekaan, walakin bibit-bibit pengkutuban dan dipraktikkan secara massif begitu nyata saat media sosial tidak lagi dijadikan sebagai media untuk bersosialisasi, menjalin pertemanan, melainkan telah dijadikan media untuk memaksakan apa yang dipandang paling benar oleh satu pihak, ini terjadi sebelum Pemilihan Presiden 2014.
Status yang menggeneralisasi semua sempalan dan kelompok radikal perongrong bangsa dan negara dilahirkan dari rahim Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1912 tidak sepenuhnya benar karena tidak didukung oleh fakta sejarah. Status seperti ini sama dengan mengatakan semua manusia itu kotor karena di dalam perut dan yang dikeluarkan oleh manusia adalah kotoran. Malahan, jika ingin menggunakan ungkapan yang lebih kejam lagi, setiap manusia itu kotor karena dikeluarkan oleh manusia dari vagina (aurat perempuan) yang notabene saat tersentuh dapat membatalkan wudlu bagi muslim.
Nyatanya, manusia tidak dapat digeneralisasi sebagai mahluk kotor hanya karena di dalam tubuhnya menyimpan kotoran. Kita juga harus mengakui secara jujur, status seperti itu memang tidak sepenuhnya salah karena beberapa anasir yang termaktub di dalamnya –berdasarkan fakta sejarah- seperti DII/TII dan PKI pernah berusaha merongrong kedaulatan NKRI, itu memang benar.
Pengkutuban masyarakat melalui entitas politik telah terjadi selama satu abad di negara ini. Puncaknya begitu kasat mata terjadi menjelang keruntuhan Orde Lama. Polarisasi ini telah menghasilkan era sejarah yang dipenuhi oleh kebrutalan, baku hantam, permusuhan, dan berujung pada pembantaian terhadap kelompok yang dikalahkan oleh sejarahnya sendiri.
Buku yang ditulis oleh Ricklefs, Mengislamkan Jawa dan penelitian yang dilakukan oleh sarjana Barat seperti Clifford Geertz memaparkan kisah yang didukung oleh fakta-fakta sejarah bagaimana polarisasi bangsa terbentuk karena dinamika dan pergeseran sosial begitu cepat. Pemantik polarisasi paling kasat mata dari dulu hingga sekarang –tidak dapat dimungkiri- yaitu sisi gelap perpolitikan bangsa. Bagi sebuah bangsa di manapun hal ini memang lumrah terjadi. Amerika Serikat tidak akan pernah terbentuk menjadi sebuah negara tanpa didahului oleh revolusi kemerdekaan di abad ke 18. Eropa tetap akan terjebak dalam kubangan era kegelapan jika revolusi-revolusi fisik dan sosial tidak terjadi di benua ini.
Jika pun harus ditarik mundur pada sejarah-sejarah paling tua, polarisasi kehidupan dan pengkutuban manusia telah berlangsung –mungkin- sejak fajar sejarah manusia dimulai. Bukan hal aneh jika para sarjana Eropa di abad pencerahan berani mengemukakan melalui tesis-tesisnya bahwa sejarah manusia merupakan pertentangan kelas menurut Karl Marx. Tindakan yang dilakukan oleh manusia yang terus berjibaku dalam pertempuran dan pertentangan ini merupakan upaya seleksi alamiah agar dunia melahirkan manusia-manusia paling kuat menurut Darwin dalam teori evolusinya.
Dan puncaknya, pertempuran-pertempuran sesama manusia di masa lalu merupakan prolog kelahiran manusia super versi Nietzsche. Meskipun jika dipandang melaui kaca yang bening dan jernih, tidak seluruh babak sejarah kehidupan manusia diisi oleh polarisasi dan peperangan antar sesama. Yuval Noah Harari lebih memilih alasan lebih manusiawi dan logis. Keberhasilan manusia mempertahankan spesiesnya hingga sekarang karena sifat dasar manusia yang pandai beradaptasi, berkoordinasi, dan melakukan kolaborasi dengan sesama. Di samping perang, ada sisi lain yang lebih manusiawi dan mendukung fitur kehidupan yaitu: damai. Saya tidak akan terlalu mundur ke belakang dengan menyentuh panggung sejarah sebelum negara ini memasuki masa kolonial. Polarisasi masyarakat muncul secara alamiah dan diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia sendiri. Perbedaan di kesemestaan merupakan satu keniscayaan yang tak dapat ditolak karena ini merupakan piranti lunak dalam kehidupan yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
Justru, perbedaan yang seharusnya menjadi alasan bagi manusia untuk saling mengenal dan berkomunikasi telah banyak digubah menjadi nada-nada yang sumbang untuk menusuk diri manusia sendiri. Polarisasi dilahirkan oleh setiap kelompok yang mengklaim perbedaan harus dihancurkan demi alasan kebenaran. Hal yang mutlak tentang perbedaan dipaksa memasuki ranah kenisbian tentang kebenaran.
Secara singkat, manusia Nusantara yang memiliki pandangan kental terhadap idiosinkretik telah mengklasifikasikan masyarakat menjadi beberapa kelas. Brahmana, Ksatria, Weisya, Sudhra, Mleccha, dan Tuccha. Membagi masyarakat menjadi beberapa kelas tersebut bukan atas kepemilikan properti atau harta kekayaan, melainkan berdasarkan tingkat pengetahuan dan spiritual yang dimiliki oleh individu.
Orang semakin pandai dan weruh akan diakui oleh masyarakat sebagai manusia yang menempati kelas puncak, misalnya para pandita dan ajengan. Sementara itu, semakin banyak properti yang dimiliki atau seseorang semakin kaya justru akan menempati kelas paling rendah karena keterikatan manusia ini dengan masalah duniawi begitu kuat. Artinya, hanya orang-orang yang menempati kelas Brahmana, ajengan, ulama, dan kyai yang memiliki hak memberikan wejangan, tetekon, mengeluarkan pakem, dan aturan yang berhubungan dengan keyakinan. Seorang Sudhra apalagi Mleccha tidak berhak mengeluarkan ucapan masalah-masalah keagamaan. Sistem kelas seperti itu tidak banyak menguntungkan pihak Belanda, karena posisi mereka ditempatkan di kelas rendah yaitu Mleccha. Pendekatan budaya dilakukan oleh Belanda melalui penetapan tiga kelas masyarakat di Hindia Belanda; kelas pertama ditempati oleh Belanda, kelas kedua oleh priyayi dan warga negara asing, dan kelas ketiga oleh masyarakat biasa.
Indikator pengkelasan antara prakolonial dengan era kolonial sangat kentara begitu berbeda. Pengkelasan masyarakat oleh Belanda lebih dititikberatkan pada kepemilikan properti dan harta serta kedudukan seseorang. Meskipun sejak semula kelompok tertentu seperti raja dan keturuannya tidak dapat diutak-atik dan masyarakat mengakui itu, namun pengkelasan berdasarkan kepemilikan harta ini telah menempatkan para saudagar dan tuan tanah menjadi priyayi atau menak. Mereka menjadi kelompok masyarakat yang dapat memberikan beragam wejangan dan fatwa tentang masalah-masalah kehidupan.
Kebijakan tanam paksa atau cultuurstelses pada abad ke-19 telah menyengsarakan masyarakat dan menguntungkan secara sepihak bagi Belanda. Dampaknya dirasakan sampai awal abad ke-20. Tanam paksa memang telah dihapuskan dan Belanda mengeluarkan politik balas budi. Situasi ini dimanfaatkan oleh para pengusaha pribumi muslim membentuk Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905 bertujuan mengangkat perekonomian para pengusaha dan –meskipun menyematkan kata dagang dalam organisasinya- para petani perdesaan yang hidup dalam jerat kemiskinan. Pemberdayaan perekonomian sebagai cita-cita besar sarekat yang baru ini telah mendapatkan simpati dari umat.
Perkembangan selanjutnya, Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada tahun 1912 agar organisasi baru ini memiliki cakupan wilayah kerja yang lebih luas. Dekade kedua abad 20 merupakan masa pertumbuhan organisasi-organisasi dengan beragam flatform yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang ideologi dan basis pendukung. Meskipun demikian, hampir seluruh organisasi ini menyerukan hal yang sama, anti terhadap penjajahan Belanda dan peraturan-peraturan yang dikeluarkannya karena telah menyengsarakan rakyat.
Depresi besar terjadi pada tahun 1930. Kesengsaraan yang timbul di dalam kehidupan tidak sekadar disebabkan oleh resesi keuangan global. Wabah flu menerjang negeri ini. Melihat kesengsaraan rakyat yang semakin hebat, setiap organisasi yang telah menginjak umur dua sampai tiga dekade terus memokuskan perhatian pada upaya menangani kemelut dalam kehidupan.
Musuh bersama rakyat dan organisasi-organisasi di negeri ini yaitu Belanda. Kelompok Islam Modernis menyuarakan kemiskinan yang harus diperangi dengan pendidikan digaungkan di daerah urban perkotaan. Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun 1926 menyisir wilayah perdesaan, atas alasan itulah karena organisasi Islam ini bersentuhan dengan kelompok akar rumput sering dipandang sebagai kaum tradisionalis oleh kelompok Islam Modernis yang di kemudian hari akan menjadi pemantik polarisasi saat NU menjadi partai politik yang didukung oleh mayoritas kaum santri tradisional dan Masyumi yang disokong oleh kelompok Islam Modernis.
Struktur masyarakat pascadepresi secara khusus dibagi menjadi dua kelompok besar, santri dan abangan. Meskipun kaum priyayi dapat saja dimasukkan ke dalam kelas tersendiri, namun jumlah mereka begitu kecil dan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap polarisasi masyarakat hingga munculnya perpecahan sampai pembantaian.
Abangan, sebuah terma yang digunakan oleh Geertz dalam penelitiannya merupakan kelompok mayoritas Islam Nominal (sekarang sering dikatakan Islam KTP). Kelompok ini berada pada piramida paling rendah dalam struktur masyarakat, hidup dalam kemiskinan, telah beragama Islam namun masih mempraktikkan ritus-ritus warisan leluhur, jarang salat, tidak puasa, dan disebut oleh kelompok Islam Modernis sebagai kelompok pemuja khurafat dan mistis. Kelompok modernis memandang abangan berasal dari kata aba’an, berarti banyak menolak ajaran Islam.
NU sendiri karena basis-basis pendukungnya banyak tinggal di perdesaan mendapat simpati atau dukungan dari abangan. Para ajengan dan kyai NU dihormati karena demikianlah masyarakat Nusantara menempatkan orang berilmu di tingkat pertama kelas sosial. Tak mengherankan, kelompok Islam Modernis tidak hanya menyerang kelompok abangan juga menghantam orang-orang NU dengan beragam sebutan, belakangan muncul istilah TBC (takhayul, bidah, churafat).
Abangan sendiri sebagai kelompok termarginalkan lebih memilih organisasi yang sesuai dengan suasana batin mereka, PKI. Ketertarikan mereka terhadap jargon-jargon PKI seperti kesejahteraan rakyat, sama rata sama rasa, proletar desa, menjadi alasan kelompok abangan menjadi bagian dari partai berlogo palu dan arit ini.
Pengkutuban semakin menguat pascakemerdekaan. Sebagai sebuah partai politik yang merasa dibesarkan oleh kekuatan rakyat, PKI melakukan pemberontakan di Madiun pada tahun 1948. Beberapa tahun sebelum pemberontakan terjadi ketegangan antara kelompok abangan dengan kaum santri (massa pesantren dan orang-orang perdesaan yang menaruh penghormatan kepada para kyai).
Penjarahan dan pengambilan paksa lahan-lahan milik orang kaya oleh orang-orang PKI, penculikan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang PKI terhadap para kyai, pamong praja yang mendukung PNI menjadi pemantik pemberontakan 1948. Kekuatan militer milik pemerintah berhasil melakukan kolaborasi dengan kelompok santri atau kaum putihan menuntaskan pemberontakan ini. Meskipun kemesraan antara kaum santri dan militer terjalin, kelompok terakhir ini menaruh kecurigaan kepada kelompok Islam Modernis karena peristiwa DII/TII di Jawa Barat pada tahun 1948 melibatkan kelompok Islam.
Polarisasi di era orde lama menjadi lebih kongkrit menjelang Pemilu 1955. Slogan dan jargon-jargon empat kekuatan besar kontestan Pemilu memperlihatkan bentuk-bentuk yang sekarang kita kenal dengan sebutan kampanye hitam. PKI disinggung oleh orang-orang NU dan Masyumi bahkan oleh PNI sebagai Partai Kriminal Indonesia karena secara ideologi partai ini berhaluan komunisme produk Marx yang dianggap penentang tuhan dan secara praktik lebih mendahulukan kekerasan.
Salah satu pertunjukan hiburan rakyat oleh kelompok ketoprak yang disokong Lekra, underbouw PKI di bidang kebudayaan, menampilkan drama berjudul: Patine Gusti Allah (Matinya Tuhan), terma yang sering digaungkan oleh orang-orang komunis di Eropa. Inilah yang dijadikan oleh kelompok putihan bahwa PKI memang partai kriminal.
Sebaliknya karena NU merupakan kelompok terdepan yang berkonfrontasi dengan PKI saat pemberontakan Madiun, pihak PKI mengolok-olok NU dengan sebutan partai Nadhah Ujan, menengadahkan telapak tangan sambil menunggu turunnya hujan. Tidak hanya itu, orang-orang Masyumi karena basis massa mereka berasal dari masyrakat urban perkotaan sesekali menyinggung orang-orang NU dengan memplesetkan akronim PKI menjadi Partai Kiai Indonesia.
Persinggungan PKI dan NU secara frontal memang wajar seperti telah disebutkan di atas. Kebudayaan menjadi medan pertempuran kelompok abangan dan santri. Harus diakui melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) milik PKI, sektor-sektor kebudayaan mulai dari ludruk, ketoprak, ronggeng, reog, wayang, sastra, dan tayuban benar-benar dikuasai oleh PKI. NU mendirikan Lesbumi, tetapi saat itu belum dapat menyaingi Lekra karena memiliki Pramoedya Ananta Toer.
Paling tidak, Nahdlatul Ulama memiliki andil paling besar dalam menghalau gerakan-gerakan PKI di bidang kebudayaan. Jika PKI memiliki Barisan Tani Indonesia, NU pun mendirikan Pertanu, Persatuan Petani Nahdlatul Ulama. PKI memiliki laskar Pemuda Rakyat, NU mendirikan para-militer Barisan Anshor Serbaguna (Banser). Gerwani milik PKI dibayang-bayangi oleh Muslimat dan Fatayat yang didirikan oleh NU. Maka sangatlah wajar jika orang-orang NU saat ini menaruh sikap romantisme terhadap perjuangan NU di masa lalu saat berhadapan dengan PKI. Satu dekade setelah Pemilu 1955, PKI tumbang. Para simpatisan dan orang-orang yang terlibat di dalam PKI harus menanggung akibatnya; penangkapan hingga eksekusi dengan cara dibunuh.
Dari pentas sejarah singkat di atas, sangat musykil bagi siapapun dapat menarik dan menggeralisasi satu kesimpulan bahwa organisasi-organisasi perongrong NKRI dilahirkan dari rahim Sarekat Islam. Jika pun itu dapat dibenarkan, munculnya pemberontakan oleh PKI, DI/TII, dan PRRI Permesta terjadi karena dinamika politik yang liar dan sulit dikendalikan oleh kekuasaan.
Pengendalian kekuasaan setelah kejatuhan Orde Lama oleh Orde Baru menjadi babak baru muculnya dinamika politik baru juga. Pemerintah menjadi lebih mudah curiga kepada pihak lain, isu bahaya dan ancaman laten komunis, bahkan kelompok Islam sendiri dicurigai meskipun –seperti organisasi seperti NU- memiliki peran besar menjembatani perubahan. Orde Baru saat kelahirannya dipercaya oleh siapapun tidak akan bertahan lama, nyatanya mampu berkuasa sampai 30 tahun lebih. Anggapan ini sebanding dengan prasangka akan langgengnya kekuasaan Orde Baru di tahun 1996 nyatanya tumbang dan digantikan oleh era reformasi.
Posting Komentar untuk "Satu Abad Polarisasi Masyarakat"