Ilustrasi Sukabumi Zaman Baheula
Areal persawahan baru saja ditanami pohon padi. Pematang sawah dilalui oleh anak-anak dengan kaki telanjang, tanpa sandal apalagi sepatu. Sebagian besar dari mereka menjinjing ember kecil di tangan kiri.
Sementara tangan kanan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu memelintirkan tali nilon untuk mengail “belut”, masyarakat di daerah ini memberi nama alat ini dengan sebutan “urek” dan aktivitas mengail belut disebut tradisi atau kegiatan “ngurek”.
Udara sore di musim kemarau masih menyisakan rasa hangat. Matahari di ufuk barat mulai meredup. Sejauh mata memandang terlihat pohon nyiur dan pisang berbaris rapi, ibarat pagar kokoh yang membentengi beberapa blok areal sawah.
Pegunungan di sebelah selatan masih tetap merasa bahwa dirinya berperan sebagai paku bumi yang telah menjaga wilayah ini sejak miliaran tahun lalu. Gunung Gede membisu dibalut kabut dan awan tipis musim kemarau. Burung kapinis dan lelawa saling kejar membelah angkasa.
Empat alinea di atas adalah gambaran sederhana situasi kehidupan empat dekade lalu, tahun 1980-an, di areal persawahan yang terletak di sebelah selatan Santa. Masyarakat di wilayah ini, tidak ada yang pernah membayangkan empat dekade kemudian terjadi perubahan secara besar-besaran. Peralihan areal persawahan menjadi pemukiman, jalan raya, dan fasilitas-fasilitas kehidupan modern lainnya.
Deretan pohon nyiur dan pisang telah digantikan oleh deretan tiang-tiang listrik dan telepon dengan kabel-kabel yang bergelayutan. Sudah tidak ada lagi suara gemericik air di selokan, segalanya telah digantikan oleh suara gemuruh mesin kendaraan yang tidak pernah sepi melintasi jalur memanjang dari Cibeureum sampai Cibolang, sebuah jalan raya bernama Lingkar Selatan.
Hanya memerlukan waktu empat dekade, areal persawahan di wilayah selatan Sukabumi ini kini benar-benar telah berubah. Sebuah terminal besar tipe A telah menggantikan beberapa are persawahan, destinasi wisata kolam renang dan air panas alami Santa telah disulap menjadi destinasi wisata modern bernama Santa Sea. Masyarakat Kota Sukabumi saat ini dapat menyaksikan sebuah perahu terbuat dari beton bertengger gagah di sana.
Alang-alang dan ubi jalar yang pernah menempati kerajaan tumbuhan di wilayah ini tidak memiliki kekuatan menahan lindasan traktor. Semak perdu seperti jelatang dan putri malu kini benar-benar menyimpan rasa malu untuk menunjukkan dirinya di hadapan kemahamegahan pembangunan.
Bagi penganut mazhab stoisisme (stoa) sikap manusia modern yang telah mengesampingkan penghormatan terhadap alam merupakan bentuk penyimpangan dari cara hidup yang selaras dengan alam. Walakin, di sisi lain alam memang telah menyiapkan hukum-hukum kepastian yang sulit dielakkan oleh manusia, seperti; pertumbuhan jumlah penduduk atau ledakan penduduk selama empat dekade ini sulit dihindari.
Hal tersebut memiliki dampak signifikan terhadap; perluasan areal pemukiman, peralihan lahan pertanian, perkebunan, dan terbuka hijau menjadi pusat perbelanjaan, jalan, terminal, dan pedestrian. Sudah semestinya manusia modern memiliki cara bagaimana mengatur dan menciptakondisikan lingkungan agar alam berjalan lebih lambat menuju kehancuran.
200.000 tahun lalu, kita dapat membayangkan kondisi alam dari lereng Gunung Gede sampai Sungai Cimandiri sebagai ampiteater raksasa yang ditumbuhi oleh pepohonan tingkat tinggi, habitat satwa-satwa dengan beragam perangai, suara, dan karakteristiknya.
Saat memasuki Sukabumi Purba, naluri dan insting kita akan menjadi lebih kuat, otak akan mengirim pesan kepada organ-organ tubuh agar kita lebih waspada saat berjalan melintasi daerah rawa-rawa yang dipenuhi lintah, ular dan katak berbisa, serta arthropoda beracun .
Gerakan tubuh dipenuhi oleh kehati-hatian, jangan sampai kaki kita menginjak semak-semak, menghasilkan suara yang dapat membangunkan satwa liar yang siap menerkam dan mengoyak tubuh kita. Konon, stimulan yang diberikan oleh alam di era ini telah mengasah ketajaman otak manusia dalam merespon sinyal peristiwa alam.
Lantas, apakah di masa revolusi pemikiran (kognitif) pada 60.000 sampai 12.000 tahun lalu, wilayah Sukabumi Purba telah dihuni atau disinggahi oleh homo sapiens? Sejauh ini belum dilakukan penelitian untuk menjawab entitas terkecil tentang setiap wilayah di Sukabumi Purba,dan sejarah masa lalu Sukabumi, entah melalui kajian sejarah atau pendekatan arkeologis.
Jika diandaikan, 60.000 tahun lalu, Sukabumi Purba telah dihuni oleh homo sapiens, jumlah mereka diperkirakan tidak akan pernah melebihi populasi penduduk satu Rukun Tetangga (RT) di zaman sekarang. 100.000 tahun lalu saja, populasi manusia di planet Bumi ini berjumlah 10.000 orang. Pertumbuhan populasi manusia cenderung lamban, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti; daya dukung lingkungan, proses adaptasi dan kalibrasi pola hidup berpindah (nomaden) ke cara hidup komunal, dan asupan nutrisi makanan masih kurang karena harus berebut jatah dengan penghuni lain.
Walakin, tidak tertutup beberapa kemungkinan, dengan memperhatikan keragaman etnis, bahasa, dan kultur sosial masyarakat, jumlah manusia yang telah menghuni wilayah Nusantara lebih besar daripada prediksi para ilmuwan sosial. Sukabumi Purba merupakan bagian dari Nusantara, kemungkinan besar telah dihuni oleh ratusan keluarga inti yang membentuk komunitas secara komunal di wilayah terbuka. Stagnasi pertumbuhan penduduk di era purba menjadi hal lain dalam pembentukan genetika leluhur manusia untuk menyalin dan menyimpan informasi secara biologis.
Ancaman terbesar bagi komunitas manusia di masa revolusi pertanian ketika mereka telah menentukan pilihan menempati lahan terbuka pada 10.000 tahun lalu berasal dari makhluk renik, hama, dan predator. Manusia dipaksa harus bersaing dengan makhluk lain dengan tingkat kebuasannya melebihi pikiran kita saat ini. Dalam kondisi inilah, mitos-mitos tentang hantu dan makhluk mengerikan tersalin di dalam DNA manusia, lantas diwariskan dari generasi ke generasi hingga tersimpan rapi di dalam alam bawah sadar mereka.
Pertumbuhan populasi manusia dalam skala kecil namun dapat dikatakan semacam ledakan penduduk di masanya baru terjadi pada 6.000 tahun lalu. Kemunculan manusia berperadaban pertama (bangsa-bangsa Semit menisbatkan pada peristiwa Adam diturunkan ke Bumi) sebetulnya ilustrasi tentang keberhasilan leluhur manusia menguasai dan mengalahkan makhluk buas yang ada di dalam alam bawah sadar mereka. Iblis dengan kepala bertanduk dan terus-menerus mengganggu manusia telah dikalahkan oleh nalar sehat manusia yang telah mampu memodifikasi lingkungan dan pemukiman (perkampungan).
Di era kemunculan manusia berperadaban ini, rata-rata manusia mulai berbenah, namun mereka mengabaikan hal lain, ancaman bencana alam yang berdampak lebih dahsyat daripada kehadiran sosok-sosok hewan buas dan imajinasi iblis dalam pikiran manusia. Populasi manusia kembali berkurang pasca-banjir besar sekitar 5.500 tahun lalu. Dalam epos Gilgamesh bangsa Sumeria, banjir besar melanda Bumi sebagai luapan amarah Enlil terhadap sikap egois manusia yang tidak dapat menjaga amanah terbesar sebagai penjaga alam (khalifah fil ardh). Banjir besar melanda sebagian besar daratan di planet ini sebagai dampak dari es mencair di wilayah kutub.
Populasi manusia terus mengalami peningkatan setelah banjir besar. Wilayah pesisir di utara pulau Jawa menjadi transit kehadiran bangsa-bangsa lain. Teori peralihan penduduk dari utara ke Selatan telah membentuk komunitas, masyarakat, dan perkampungan baru. Pada abad ke 15, diperkirakan populasi manusia yang menghuni wilayah selatan pulau Jawa bagian Barat (Sukabumi) baru berjumlah ribuan orang saja. Dalam kurun waktu 5 abad, jumlah penduduk Sukabumi bertambah secara dramatis hingga 1000x lipat. Secara signifikan, Sukabumi menjadi penyumbang jumlah populasi seluruh umat manusia yang diperkirakan pada akhir tahun 2022 ini pada kisaran 8 miliar.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Menjelang Delapan Miliar Populasi Manusia di Akhir 2022 (Bagian 1)"