Di hari ulang tahun -biasanya-, selalu kita jumpai pernak-pernik yang memperkuat bahwa hari itu memang pantas dirayakan. Mulai dari kue, lilin, balon, pita, dan hiasan lainnya.
Mungkin timbul pertanyaan, kenapa dan untuk apa hari kelahiran harus dirayakan? Sebenarnya, dengan tanpa merayakan atau dirayakan pun tak jadi soal. Toh, usia kita terus bertambah, atau jika dilihat dari sudut pandang sebaliknya, usia setiap manusia sebetulnya terus berkurang.
Merayakan ulang tahun serupa dengan memperingati hari kemerdekaan kita. Merdeka dari belenggu masa/waktu beberapa hari ke belakang.
Belenggu kenanak-kanakan yang menguras energi kita untuk menjadi lebih dewasa. Jadi, merayakan dan dirayakan saat diri kita sampai pada tanggal kelahiran hakikatnya merayakan "kedewasaan" diri kita sendiri.
Sejak tiga dekade ini, perayaan ulang tahun sudah menjadi semacam tradisi. Generasi baby boomers dan generasi Z, saat mereka masih anak-anak, saya pikir jarang sekali diulangtahunkan, diundang oleh teman, bahkan merayakan ulang tahun untuk dirinya sendiri saja sangat musykil dilakukan.
Kenyataan ini dipengaruhi oleh norma dan tradisi yang berkembang di masyarakat sampai era 90-an. Pertama, pandangan bahwa ulang tahun bukan tradisi, adat, dan budaya Timur.
Kedua, masyarakat saat itu memandang ulang tahun merupakan bentuk kemubadziran. Ketiga, mereka benar-benar menyadari masih banyak hal yang lebih penting dari sekadar merayakan ulang tahun.
Ada juga pandangan ekstrim dari masyarakat, ulang tahun biasa dilakukan oleh orang-orang Barat, tradisi yang tidak mengakar di masyarakat Timur, perbuatan kaum "kafir" yang harus dihindari.
Bahkan harus dikategorikan ke dalam perbuatan haram dan terlarang. Lebih jauh lagi ditambah atau dikuatkan dengan kalimat: perbuatan mubadzir yang tidak ada dalam tuntunan agama!
Namun, sejak reformasi, perayaan hari kelahiran mulai dipraktikkan oleh masyarakat. Verbalisme dari happy newyear mulai diubah dengan akronim harlah atau menggunakan kata serapan dari Bahasa Arab, miilaad.
Tanpa disadari, sebagian besar masyarakat mulai meninggalkan tradisi lama yang tradisional dalam memandang perayaan ulang tahun dan mulai menyambut dengan hangat kedatangan yaumul miilaad, hari dilahirkan.
Perayaan ulang tahun tidak hanya dilakukan oleh manusia sebagai ungkapan rasa syukur usia telah bertambah. Peringatan ulang tahun juga dirayakan saat sebuah lembaga, organisasi, ormas, OKP, dan perusahaan telah genap usia satu tahun dari peringatan ulang tahun sebelumnya. Realita ini mulai menjamur antara tahun 2004-2010.
Selanjutnya, kebiasaan ini memang sudah menjadi hal lumrah sampai sekarang. Jangan heran, ketika sebuah lembaga sampai pada hari didirikan atau dilahirkannya, apalagi lembaga besar dan memiliki "pengaruh", karangan bunga berisi ucapan selamat ulang tahun, harlah, dan miilaad, memenuhi sekeliling kantor lembaga.
Para kolega dan lintas lembaga seolah merasa bahagia melihat lembaga lainnya telah sampai pada tanggal pendirian.
Era media sosial tiba. Algoritma yang dibenamkan ke dalam setiap medsos mengerti dan tahu betul kapan pengguna medsos berulang tahun.
Medsos lantas mengirim pemberitahuan kepada teman-teman di medos bahwa hari ini merupakan hari ulang tahun kita.
Facebook mengerti bagaimana cara memperlakukan para penggunanya, pihak Facebook langsung memberi notifikasi: teman kamu berulang tahun hari ini, berikan ucapan selamat.
Sebelum media sosial besutan Zuckerberg ini menerapkan privasi yang tinggi, ucapan selamat ulang tahun, HBD, met miilaad, dan selamat semoga panjang umur sudah pasti memenuhi dinding Facebook kita.
Kita tentu tidak diperbolehkan memiliki sikap sinis berlebihan saat melihat seorang bapak. Ibu, kakek, dan nenek dirayakan hari ulang tahunnya oleh anak cucu.
Karena setiap orang memiliki kewajiban memuliakan orang-orang yang lebih tua. Para orangtua juga sudah tentu memandang bahwa sikap anak dan cucu ini satu hal baik, adab dan sopan-santun anak dan cucu kepada orangtua dan kakek neneknya.
Posting Komentar untuk "Ulang Tahun dan Big Data (Bagian 1)"