Kata merdeka sedang mengalami trending topic atau menjadi tajuk penuturan di dunia pendidikan sejak kurikulum merdeka dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kendati kata merdeka bukan merupakan hal asing, namun penerapannya ke dalam sebuah kurikulum dapat saja menjadi hal baru.
Di sisi lain, tanpa pemaparan petunjuk teknis penerapan kata merdeka dapat dipahami secara ambigu oleh orangtua siswa dan siswa. Kata merdeka sering dipandang serupa dan semakna dengan kebebasan. Dapat dibayangkan, jika pemaknaan seperti ini diterapkan di dunia pendidikan akan memunculkan tindakan rancu; misalnya, sekolah bebas, belajar bebas, dan kebebasan yang ditafsirkan sebagai tindakan tanpa nalar.
Selain mesti dipahami secara jernih, Kurikulum Merdeka juga harus mampu memberikan identitas yang tepat terhadap dirinya sendiri. Apakah selama sistem pendidikan modern diterapkan di negara ini pendidikan dan kurikulum yang diterapkannya belum sepenuhnya memiliki ciri khas, memerdekakan seluruh entitas pendidikan?
Tak ayal, identitas yang jelas harus tersemat di dalam Kurikulum Merdeka ini. Jika tidak demikian, kurikulum tidak memiliki kekhasan identitas, dalam praktiknya tetap saja tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Jangan sampai ada ungkapan –bahkan dari orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan sendiri- “nanti juga, kalau ganti menteri, kurikulum akan berubah lagi!”
Identitas di dalam Kurikulum Merdeka harus mengacu kepada makna kemerdekaan itu sendiri. Seseorang atau kelompok sosial masyarakat dikatakan telah merdeka jika –salah satunya- melakukan tindakan tanpa dipengaruhi oleh hukum dan aturan yang berlaku karena telah mampu menata dirinya sendiri. Individu atau kelompok yang telah merdeka tidak memerlukan hukum dan aturan karena mereka memang telah hidup selaras dengan kebaikan dan menempatkan dirinya sesuai dengan rasa adil dan keinginan orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan dirinya. Maka, Kurikulum Merdeka sebagai hal ideal harus memiliki kekhasan bahwa kurikulum ini memang ditujukan untuk menumbuhkan kemerdekaan kepada setiap orang yang berpartisipasi dalam dunia pendidikan, pemerintah dan masyarakat.
Penerapan kurikulum dengan identitas kemerdekaan akan menghadapi kesulitan dalam mengadaptasikan jati dirinya dengan dunia pendidikan yang telah terpola oleh kurikulum sebelumnya. Hal paling sederhana di dunia pendidikan saja sampai saat ini dalam praktiknya masih sering menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh, pada masa penerimaan peserta didik baru sebagai sebuah gerbang masuk ke dalam dunia pendidikan, kita masih menemukan praktik tidak elok dilakukan hampir oleh seluruh entitas kehidupan.
Siapapun menyepakati bahwa pendidikan merupakan hal setiap warga negara, orangtua dapat menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah tujuan –tentu saja- tanpa dibatasi oleh aturan yang mengharapkan keadilan dan kejujuran namun dalam praktiknya dipenuhi oleh rasa takut, kecemasan, ketidakjujuran, dan kemaruk. Kenyataan ini merupakan awalan kurang baik bagi dunia pendidikan yang telah mulai menerapkan Kurikulum Merdeka.
Memang mengherankan, kita acap kali mengalami kesulitan melakukan refleksi dan permenungan terhadap pengalaman-pengalaman yang terus dialami oleh dunia pendidikan pada masa penerimaan peserta didik baru. Karena pada dasarnya, permasalahan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan, terutama sekolah-sekolah negeri, yaitu kesulitan mempraktikkan kejujuran dan transparansi secara penuh dalam penerimaan peserta didik baru.
Masalah lain yang dihadapi oleh lembaga pendidikan yaitu dorongan dari pihak lain agar sekolah mengakomodir kehadiran siswa yang tidak diterima melalui seleksi di situs PPDB. Dan kita memang sering mengabaikan dan cenderung menjadikan pengalaman di awal tahun ajaran baru sambil lalu saja dan tanpa memberikan jawaban serta solusi yang tepat untuk menghadapi penerimaan siswa baru pada tahun berikutnya. Setinggi dan seideal apapun cita-cita pendidikan jika diawali dengan praktik tidak baik, maka kita akan mengalami kesulitan mewujudkan “kecerdasan bangsa” ini.
Identitas lain yang harus menjadi ciri khas Kurikulum Merdeka yaitu Mahardika, secara harfiah berarti jujur, cerdas, dan berbudi luhur. Dunia pendidikan kita menghadapi masalah krusial sejak era reformasi, selama dua dekade terakhir ini, budi pekerti dan akhlak (moral) dipadatkan ke dalam Kompetensi Inti sikap spiritual. Dari sini kita melihat dunia pendidikan memang sering menampilkan istilah-istilah mentereng, kata spiritual memang mulai menjadi topik penuturan di awal era reformasi.
Padahal nilai spiritual (religiusitas tertinggi) merupakan sebuah capaian dari keberagamaan dan praktik keseharian kita. Tenaga pendidik, ketika mereka telah melakukan tugas mengajar kepada peserta didik pada dasarnya telah memulai proses menuju ke arah spiritualitas. Peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran sambil mempraktikkan budi pekerti dan akhlak terpuji hakikatnya sedang melatih dirinya menuju ke arah spiritualitas. Dengan demikian, upaya mencapai kompetensi sikap spiritual memerlukan piranti atau perangkat yang lebih konkret seperti pengajaran budi pekerti dan akhlak terpuji yang bukan hanya dinilai oleh huruf dan angka juga membumi dalam keseharian warga sekolah.
Guru dan Resi
Beberapa hari lalu saya menulis catatan kecil di media sosial mengenai perbedaan mendasar antara guru zaman dulu dengan guru sekarang. Perbedaan yang tampak dan kasat mata namun jika diteliti secara mendalam memiliki dampak terhadap dunia pendidikan, visi dan keberhasilannya. Perbedaan ini hanya dari sikap mampu hidup sederhana saja. Guru zaman dulu sering memperlihatkan sikap sederhana dalam hidup, berjalan kaki dari rumah ke sekolah, naik kendaraan umum, dan tidak bermegah-megahan.
Bahkan tidak sedikit guru yang masih menempati rumah dinas yang didirikan di dalam kompleks sekolah. Mereka mampu menyelami dirinya sendiri dan menerapkan pola hidup layaknya para resi (dalam terma kasundaan resi berarti orang yang tercerahkan). Seorang resi tentu saja memagari dirinya dari sikap kemelekatan dengan materi atau harta. Kemelekatan dirinya hanya dengan ilmu pengetahuan dan apa yang akan diajarkan kepada para peserta didik.
Dunia pendidikan memang tidak semestinya disusupi apalagi bergumul secara intensif dengan materialisme, menempatkan diri agar benar-benar melekat dengan materi dan kebendaan. Para guru sudah sepantasnya memperlihatkan cara hidup sederhana, bersahaja, dan tidak bergelimang dengan kemewahan kepada peserta didik karena semakin tinggi nilai spiritual seseorang maka pandangan terhadap dunia materialistis sudah dipastikan semakin mengecil.
Para guru bukan tidak memerlukan uang dan harta, namun terlalu serius memandang kedua barang ini sebagai tujuan sudah dipastikan dunia pendidikan kita akan terus diisi oleh manusia-manusia kemaruk, rakus, dan serakah. Pendidikan yang seharus murah dan memerdekakan manusia justru akan dijual dan ditukar dengan nominal tertentu jika para guru telah jatuh menjadi resi-resi tercela.
Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dan Atas (SMP dan SMA), saya benar-benar masih menyaksikan para kepala sekolah saat itu rela berangkat dari rumah ke sekolah menaiki angkutan umum kemudian berjalan ke sekolah sambil membawa tas kulit. Situasi ini mungkin memang mirip dengan lagu Oemar Bakri karya Virgiawan Liestanto (Iwan Fals).
Namun, para kepala sekolah tersebut tetap memiliki semangat dan tetap menerapkan kesederhanaan hingga masa pensiun. Tahun 2014, saya bertemu dengan salah seorang kepala sekolah, beliau terlihat masih bugar dan sehat, matanya berkaca-kaca saat saya mengisahkan masa-masa sekolah, ada kerinduan mendalam dari linangan air matanya. Selain kerinduan terhadap masa lalu, dapat saja tangisan tersebut sebuah ungkapan pembeda antara sikap dirinya ketika menjadi kepala sekolah dengan penampilan para guru zaman sekarang.
Dapat saya katakan, para kepala sekolah zaman dulu benar-benar mengamalkan sinisme ala Diogenes, sebuah pemikiran yang berakar dari pemikiran Socrates bahwa setiap manusia harus memiliki dan mengamalkan kebaikan, merasa cukup (qona’ah) dengan fasilitas yang tersedia, dan tidak kemaruk. Belakangan, sikap sinis mengalami peyoratif atau berkonotasi negatif dengan tabiat sinis, mengejek, dan memandang rendah. Perubahan makna ini disebabkan oleh situasi sosial di masa beberapa abad lalu ketika cemoohan disamakan dengan sinisme.
Sama halnya, ketika para kepala sekolah, tenaga pendidik, dan orang-orang yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan mengamalkan aliran sinisme ala Diogenes, hidup alakadarnya, secukupnya, dan tidak berlebih-lebihan, kemungkinan besar akan dipandang aneh di zaman sekarang. Kenapa demikian? Karena sebagian besar dari kita telah terjebak pada cara pandang bahwa kesejahteraan harus sepadan dengan materi, benda, dan harta yang digunakan serta dipamerkan kepada publik. Kehadiran Kurikulum Merdeka tentu saja harus memerdekakan kita dari jerat bermegah-megahan di sekolah, lembaga pendidikan, dan pesantren.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Kemerdekaan Pendidikan Kita"