Menjelang Delapan Miliar Populasi Manusia di Akhir 2022 (Bagian 2)

Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan satu keniscayaan dalam kehidupan. Hal ini berbanding lurus dan dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan. Pertama, berbagai penemuan di berbagai bidang kehidupan memungkinkan spesies manusia memiliki pertahanan untuk melawan dan menjinakkan makhluk lain penyebab penyakit.



Populasi Manusia, Sumber: Quora.com

Sebelum penemuan obat-obatan di bidang kesehatan, leluhur manusia beberapa abad lalu masih memandang setiap penyakit yang dialami oleh manusia disebabkan oleh “kejahilan” makhluk halus. Penyakit yang diakibatkan oleh arwah jahat (dalam terma Kasundaan ada istilah: jurig jarian dan jurig kuris) dapat dilawan dengan jampi-jampi.

Penyakit cacar, misalnya, masyarakat kita sampai penghujung tahun 90-an masih mempercayai disebabkan oleh jurig kuris. Penemuan vaksin cacar dengan pengembangan-pengembangannya telah berhasil menihilkan penularan penyakit ini, kemudian manusia modern memproklamirkan: cacar sudah hilang di dunia. Informasi tentang cacar sudah berakhir di dunia ini menghilangkan kekhawatiran anak-anak tertular cacar.

Di awal kelahirannya pada abad ke 18, cacar yang ditularkan dari binatang (sapi) telah menjadi “hantu” menakutkan bagi masyarakat menengah-bawah dan menjadi salah satu penyebab kematian. Sejak penemuan vaksin cacar, daya tahan (imunitas) manusia menjadi tidak rentan tertular virus kemudian mempengaruhi pertumbuhan populasi manusia.

Selaras dengan hukum alam, ketika satu rantai makanan hilang dan dapat dijinakkan, maka rantai konsumen sebelumnya akan mengalami pertumbuhan namun harus diimbangi oleh perkembangan populasi rantai makanan tingkat sebelumnya.

Kedua, manusia telah menempati piramida tertinggi rantai makanan. Hal ini disebabkan oleh salah satu revolusi yang dialami oleh umat manusia pada 13.000 tahun lalu. Domestikasi tumbuhan dan binatang menjadi andalan manusia dalam memenuhi sumber pangan/makanan.

Artinya, manusia telah mampu merekayasa lingkungan baru setelah sebelumnya mereka benar-benar mengandalkan kebutuhan yang disediakan alam dan harus bersaing dengan makhluk lain untuk mendapatkannya. Era revolusi pertanian memungkinkan manusia membangun komunitas dan pemukiman baru. Dengan demikian, umat manusia lebih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan reproduksi, melahirkan keturunan.

Ketiga, perkembangan di bidang sains, teknologi, dan informasi. Berbagai penemuan dan inovasi telah membawa manusia pada era revolusi ketiga, perpaduan antara dua revolusi sebelumnya: revolusi Industri.

Revolusi ini mengharuskan umat manusia tidak sekadar memproduksi sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup, namun mengharuskan manusia bagaimana cara memproduksi, merekayasa, dan memaksimalkan sumber daya alam agar menjadi “laden” bagi manusia. Capaian taraf kehidupan sampai saat ini, setelah Perang Dunia II, populasi manusia semakin meningkat. Dalam pandangan Robert Malthus, pertumbuhan populasi ini menempati hitungan deret ukur, sementara pertambahan kebutuhan mengikuti deret angka.


Kesenjangan, Sumber: Quora.com

Dengan demikian, pertumbuhan manusia jauh lebih cepat daripada sumber pangan yang harus disiapkan atau diproduksi. Teori ini dapat dipahami ketika jumlah penduduk –pada suatu saat ini- telah mencapai batas maksimal jumlah manusia yang menempati planet bumi. Beberapa tahun lalu, satu petak sawah yang memproduksi padi dapat memenuhi kebutuhan pokok 4-5 orang manusia selama enam bulan. Dua dekade berikutnya, satu petak sawah penghasil padi harus memenuhi kebutuhan 6-10 orang selama dua bulan saja.

Walakin, penemuan baru di bidang pertanian telah melahirkan harapan baru, produksi pangan oleh manusia terus meningkat kualitas dan kuantitasnya. Situasi ini mengarah pada sikap optimis, untuk beberapa tahun ke depan: antara jumlah manusia dengan ketersediaan pangan masih dipandang aman. Optimisme ini berpengaruh secara masif terhadap diri dan fisik manusia.

Selain Harapan adalah Kewaspadaan

Kendati sikap optimis benar-benar diperlihatkan oleh umat manusia. Mereka terus melakukan reproduksi diri dan sumber makanan, namun di sisi lain telah menimbulkan kekhawatiran. Ketersediaan pangan terutama sumber makanan secara alamiah terus mengalami pengurangan berbanding lurus dengan pertambahan peralihan lahan dari pertanian dan perkebunan ke pemukiman.

Sumber makanan memang tidak akan mengalami surut sampai beberapa dekade ke depan, namun produksi dan distribusinya akan menawarkan harga yang cukup mahal dari produsen ke konsumen. Kesejahteraan yang selama ini dicita-citakan oleh seluruh umat manusia tampaknya menjadi hal klise ketika yang terjadi dalam kehidupan justru hukum alam a la Hobbesian, yang kuat tetap mengalahkan yang lemah.

Ketika kesejahteraan hanya sebuah ilusi, maka akan melahirkan ketimpangan dan mayoritas manusia akan menolak kemapanan. Secara otomatis alam akan memberikan jawaban terhadap persoalan ini, perebutan sumber makanan dan perlawanan dari kelompok tertindas (yang selama ini menjadi bulan-bulanan pasar) kepada yang merasa kuat akan membuncah. Untuk sesaat, kehidupan manusia akan mundur ratusan tahun ke belakang, larut dalam pertikaian.


Citra Badai, Sumber: Quora.com

Dampak paling mengerikan pertumbuhan populasi manusia yang terlalu cepat bukan berasal dari manusia, justru dari alam yang semakin rajin menyelaraskan unsur-unsur kimiawinya dengan apa yang telah diproduksi oleh manusia. Manusia memproduksi polusi udara, secara sistematis alam akan memformulasikan rumus-rumus kimia dengan menipiskan lapisan ozon-nya.

Tanpa penipisan lapisan ozone, alam justru akan lebih rusak, planet bumi akan menjadi lebih rusak. Dilema terjadi, di saat lapisan ozon semakin menipis, sinar ultraviolet menjadi lebih mudah menerobos lapisan atmosfer, pemanasan global muncul. Hukum yang dicetuskan oleh Ballot dapat dengan mudah terjadi di lapisan geosfer: badai dan ketidakteraturan cuaca (ekstrim).

Dapatkah Manusia Melawan Hukum Alam?

Manusia hanya akan selamat jika mereka menyelaraskan diri dengan hukum-hukum kemestian di ala mini. Umat manusia yang bersikukuh melawan hukum sama artinya dengan mempercepat proses kepunahan spesiesnya sendiri. Dapat saja, pada puluhan abad ke depan, manusia justru dikuasai atau diperbudak oleh apa yang mereka ciptakan saat ini (misalnya kecerdasan buatan/artificial intelligence).


Marcus Aurelius

Hidup selaras dengan alam, salah satu pandangan para penganut Stoa seperti Epictetus, Seneca, dan Aurelis telah dipandang menjadi bagian penting bagi umat manusia untuk tetap mempertahankan spesiesnya. Manusia hanya memerlukan dua piring nasi untuk bertahan hidup, oleh karena secara alamiah tubuh manusia memang membutuhkannya seperti itu. Sudah sepantasnya, manusia tidak dibenarkan bertindak serakah.

Salah satu upaya untuk memperlambat kepunahan spesies manusia adalah dengan memposisikan diri kita sebagai bagian dari alam. Menempatkan diri kita berada jauh dengan alam sama artinya dengan mempersilakan alam menyerang umat manusia dengan hukum-hukum dan formulasi kimia yang sulit dibayangkan.

Bangunan kokoh yang dibuat oleh manusia dapat runtuh seketika hanya dengan gempa 10 SR. Manusia harus memperlambat perkembangan teknologi. Artinya, harus ada ruang bagi umat manusia untuk mempersilakan alam bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya. Sama dengan diri kita, alam raya memiliki aturan tersendiri dan dia tidak pernah mau tahu seberapa besar jumlah manusia yang meninggal hanya dengan satu hentakan badai dan tsunami.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Menjelang Delapan Miliar Populasi Manusia di Akhir 2022 (Bagian 2)"