Duka mendalam, saya sampaikan kepada keluarga korban kerusuhan Kanjuruhan, semoga diberi kekuatan dan kesabaran atas bencana kemanusiaan di dunia sepak bola ini.
Sumber Foto: Getty Image
Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang telah menelan korban jiwa hingga ratusan orang (130 orang per 2 Oktober 2022) menjadi salah satu bencana terbesar kemanusian dalam sepak bola.
Bahkan, peristiwa nahas ini menempati urutan kedua dari beberapa peristiwa memilukan dalam sepak bola, setelah peristiwa di salah satu stadion negara Peru pada tahun 1964 yang telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 328 orang.
Beberapa jam setelah peristiwa, Presiden FIFA menyampaikan ucapan “bela sungkawa” kepada keluarga korban. Baginya, kejadian ini dipandang sebagai “hari kelam” dalam dunia sepak bola di Indonesia, bahkan di dunia.
Semua surat kabar dan media daring di negara ini menjadikan peristiwa nahas Kanjuruhan sebagai tajuk atau headline pemberitaan. Informasi yang dimuat dalam berbagai media rata-rata mempertanyakan beberapa hal.
Pertama, kenapa di stadion dengan jumlah penonton yang membludak tersebut, saat kerusuhan terjadi, aparat keamanan menembakkan gas air mata berkali-kali mengarah ke tribun penonton?
Kedua, sejauh ini, seberapa baik pengelolaan keamanan dalam pertandingan sepak bola di Indonesia dilakukan oleh panitia penyelenggara. Mereka seolah “keteteran” menghadapi luapan penonton yang merangsek masuk ke dalam stadion meskipun jumlah mereka telah melebihi kapasitas yang ditetapkan?
Ketiga, apa yang telah dilakukan oleh tim kesebelasan bersama Lembaga-lembaga resmi pendukung kesebelasan terutama terkait pembinaan kepada para pendukung fanatik setiap kesebelasan.
Faktanya, pendukung fanatik ini justru yang sering menjadi pemantik atau biang kerusuhan. Berdasarkan peristiwa-peristiwa sebelumnya, kerusuhan yang telah menyebabkan korban jiwa, rata-rata disebabkan oleh arogansi para pendukung fanatik.
Bagi mereka, kekalahan kesebelasan yang mereka cintai sama dengan kehilangan harga diri. Lantas seberapa besar harga diri yang harus ditawarkan dalam memberikan dukungan kepada sebuah kesebelasan?
Penyebab Kerusuhan dalam Sepak Bola
Sumber Foto: BBC/Antara
Kerusuhan dalam sebuah pertandingan biasa dipicu oleh teriakan saling membully para pendukung, kecurangan wasit, dan kekalahan kesebelasan yang didukung, apalagi jika pertandingan diselenggarakan di kandang sendiri. Kekalahan ini dapat memicu “perundungan” lebih besar dari pendukung kesebelasan lawan yang melakukan tandang.
Kerusuhan juga dapat dipicu oleh dendam lama para pendukung kesebelasan. Apalagi ketika mereka telah memandang “dukungan terhadap kesebelasan” sebagai bentuk harga mati, tidak dapat ditawar-tawar, sebuah primordialisme baru di dunia modern.
Dukungan seperti ini tentu saja menjadi hal yang tidak sehat apalagi setelah diembel-embeli dengan tindakan merundung pendukung lain atau mencari-cari pendukung yang memiliki sikap sama: memusuhi pendukung kesebelasan yang sama.
Para pendukung kesebelasan memiliki fans dan forum-forum di media sosial. Setiap kesebelasan bersama pemerintah setempat juga memberikan fasilitas bagi mereka dengan mendirikan kamp-kamp kesebelasan dengan tujuan agar mereka dapat dengan mudah ditangani.
Walakin, di media sosial terjadi perang opini, meluapkan kata dan umpatan kotor kepada pendukung kesebelasan lain. Emosi di media sosial tidak dapat dikeluarkan sepenuhnya, pada tahap selanjutnya, emosi ini dikeluarkan saat para pendukung menonton secara langsung di stadion.
Kerusuhan di stadion sepak bola selalu tidak pernah lepas dari manajemen panitia dan klub kesebelasan dalam mengatur jumlah penonton agar tidak membludak melebihi kapasitas.
Menahan mereka (pendukung fanatik) juga sebetulnya berisiko, mereka dapat saja melakukan tindakan di luar kendali, merusak fasilitas di luar stadion untuk meluapkan kekesalan setelah dilarang masuk. Fanatisme memang sering meruntuhkan nalar manusia untuk berpikir jernih.
Penanganan oleh aparat keamanan terhadap gelagat pendukung yang mulai bergejolak, rata-rata di negara dunia ketiga, terkesan represif. Himbauan bersifat persuasif sebenarnya dapat dilakukan kepada para pendukung kesebelasan beberapa hari sebelum pertandingan diselenggarakan.
Dengan demikian, berbagai pihak tidak akan merasa lengah apalagi “kecolongan” oleh tindakan brutal para pendukung kesebelasan fanatic yang melakukan huru-hara secara spontan dan sporadis di stadion.
Penembakan gas air mata secara berlebihan kepada penonton di tribun stadion, dengan dalih apapun, tetap melanggar kode etik pengamanan dan penanganan kerusuhan dalam sebuah pertandingan. Hal ini cukup beralasan, kerusuhan terjadi di lapangan bukan di tribun penonton.
Aparat keamanan seharusnya mampu menangani (menundukkan) para pendukung kesebelasan yang benar-benar kalap di lapangan. Dalam hal ini, penanganan kerusuhan tidak seharusnya diisi oleh sikap emosional berlebihan dari aparat keamanan. Tugas penting keamanan adalah membuat suasana menjadi lebih aman dan terkendali, bukan membuat suasana menjadi lebih tak terkendali.
Peristiwa memilukan di Kanjuruhan menjadi salah satu bukti lagi bahwa dunia sepak bola di negara ini masih terus harus dibenahi. Dan kita memang belum siap menjadi orang-orang yang menjunjung tinggi sportivitas.
Sikap legowo menerima kekalahan merupakan sinyal dari sikap sportif, tidak sebanding jika harus dibayar oleh ratusan orang meregang nyawa.
Posting Komentar untuk "Kerusuhan di Kanjuruhan, Malang: “Hari Kelam” Dunia Sepak Bola Indonesia"