Catatan dari Solo di Acara Indo SmartCity 2022
Semula, saya akan mengurungkan memberi judul opini ini dengan kalimat yang terlalu hiperbolik, Tak Ada Kemacetan di Solo. Sebab, kota sekecil apa pun, seperti Solo, hampir tidak pernah luput dari riuh ramai kendaraan bermotor.
Namun jika dibandingkan dengan beberapa kota yang pernah saya kunjungi, tingkat kemacetan di Solo tidak terlalu signifikan hingga membuat pengguna jalan harus tertahan lama di jalanan. Kemacetan di Solo relatif ringan, itu juga terjadi di ruas-ruas jalan saat lampu merah lalu-lintas menyala.
Tidak terlalu mengherankan, selama dua tahun terakhir ini, Kota Solo dinobatkan sebagai kota dengan penataan tata ruang yang baik di Indonesia. Salah satu alasan Solo ditunjuk menjadi tuan rumah Indo SmartCity 2022 oleh Asosiasi Pemerintah Kota Indonesia karena hal ini. Solo dapat dijadikan kota percontohan penataan kawasan urban dan keterhubungannya dengan aktivitas warga kota.
Jalan Utama Sebagai Arteri Kota
Sebuah kota identik dengan tubuh manusia. Ia memiliki organ tubuh vital, urat nadi, pembuluh darah, rasa, pikiran, dan emosi. Keterpaduan komponen-komponen kota memang sulit diwujudkan jika sebagian besar warga kota hanya memandangnya sebatas gedung beton bertingkat, fasilitas kehidupan, kabel listrik dan telepon, serta jalan aspal dan beton.
Jalan utama sebuah kota serupa dengan urat nadi dalam tubuh manusia. Dengan alasan apa saja tidak dibolehkan tersumbat oleh zat-zat yang dapat menyumbat saluran darah. Sesibuk apa pun tubuh manusia harus terhindar dari penyumbatan pembuluh darah dan urat nadi.
Demikian halnya dengan jalan utama sebuah kota, jika dalam hitungan menit saja terjadi penyumbatan oleh aktivitas kendaraan bermotor, sudah dapat dipastikan akan mengakibatkan patologi di sepanjang jalan utama. Pertama, penumpukan kendaraan bermotor dapat meningkatkan polusi udara dan suara. Kedua, para pengendara kendaraan bermotor dapat dengan mudah meluapkan emosinya kepada sesama pengendara lain.
Patologi sosial atau penyakit mental manusia urban perkotaan salah satunya disebabkan oleh hal yang selama ini dipandang sepele yaitu kemacetan. Dengan alasan apa pun, warga kota di belahan dunia mana saja harus mulai memupuk kesadaran terhadap betapa penting merencanakan penataan ruas jalan utama agar tidak menimbulkan kemacetan.
Ruas-ruas jalan utama di Kota Solo mampu mengurangi kemacetan karena dari ukuran lebarnya memang memenuhi syarat sebagai urat nadi sebuah kota. Lebar jalan yang dapat dilalui oleh lima kendaraan besar dari bahu kanan ke kiri jalan ditambah dengan kelengkapan rambu lalu-lintas di sepanjang jalan hampir tidak mungkin menimbulkan kemacetan.
Penataan jalan utama seperti ini memiliki sejarah dan latar belakang panjang. Saya tentu tidak akan membandingkan lebar jalan utama di Solo dengan Kota Sukabumi karena memiliki akar sejarah berbeda. Yang diperlukan oleh Kota Sukabumi yaitu memupuk kesadaran terhadap akar historis dan latar belakang atas alasan apa pemerintah Hindia Belanda membangun jalan utama di Sukabumi dengan perhitungan rata-rata ruas jalan hanya dapat diisi oleh dua kendaraan dari bahu kanan ke kiri?
Jalan Alternatif Sebagai Pembuluh Arteri
Bagaimana cara ampuh mengurai kemacetan di jalan utama? Kasus yang terjadi di Kota Sukabumi salah satunya para pengendara sepeda motor biasa menggunakan gang sebagai jalan alternatif di saat ruas jalan utama mengalami kemacetan. Pemandangan ini terjadi karena memang demikian struktur tubuh Kota Sukabumi terutama di sepanjang jalan utama tidak memiliki ruas jalan lingkungan sebagai pembuluh arteri yang dapat mengurai penumpukan kendaraan di jalan utama.
Dalam hal ini, apa boleh buat, para pengendara sepeda bermotor harus memiliki kesadaran terhadap betapa penting menerapkan budaya antre sekalipun sedang berada di jalanan. Pertambahan jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun menjadi hal logis sebagai penyumbang kemacetan di jam sibuk (hari kerja, berangkat dan pulang sekolah).
Maka, hal logis lainnya sebagai solusi mengurai kemacetan di Kota Sukabumi adalah dengan memupuk budaya antre. Hal paling masuk akal kedua yang harus dilakukan oleh warga kota yaitu berjalan kaki dan memanfaatkan kembali angkutan umum seperti beberapa tahun lalu sebelum masyarakat dapat dengan mudah membeli sepeda motor dan mobil melalui angsuran.
Solo memiliki struktur tata kota yang cukup unik. Setiap 100-200 meter jalan utama memiliki jalan alternatif yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Jika kita melihatnya di peta virtual (Google Maps) terlihat dengan jelas bagaimana setiap blok pemukiman dan pertokoan di Solo ini dipenuhi oleh jalan lingkungan dan jalan alternatif.
Bagi kota yang memiliki jalan lingkungan tidak terlalu banyak, sulusi yang dapat ditawarkan sebagai cara tepat mengurai kemacetan adalah sebagai berikut: Pertama, rambu-rambu lalu-lintas di sepanjang jalan utama harus dimaksimalkan penggunaan dan pemahaman dari pengguna jalan terhadapnya harus terus diupayakan. Kedua, lajur jalan utama yang dilalui oleh kendaraan bermotor sebaiknya dibagi menjadi dua bagian: dilalui oleh sepeda motor dan kendaraan roda empat.
Pedestrian dan Trotoar Sebagai Ruang Terbuka Hijau
Pedestrian sepanjang Jalan Slamet Riyadi dan trotoar Jalan Jendral Sudirman di Solo bukan sekadar untaian pavin block dan tembok pemisah dengan bahu jalan. Pedestrian dan trotoar mewujud menjadi lahan terbuka hijau yang ditanami oleh bunga dan pepohonan tingkat tinggi. Kondisi seperti ini sudah pasti menarik minat warga kota untuk berjalan kaki terutama di siang hari saat terik matahari.
Pejalan kaki akan menghindari tempat yang tersorot langsung oleh matahari di siang hari, ini memang alasan yang sudah dipegang teguh oleh manusia sejak zaman dulu. Logika dasar manusia yaitu menghindari panas dan dingin yang berlebihan, mengingat daya tahan tubuh manusia hanya terbatas dan mampu bertahan pada suhu tertentu.
Dua dekade kemudian, kota-kota di Indonesia diprediksi akan mewujud menjadi kota cerdas. Kota semacam ini bukan berarti kota-kota telah terhubung secara digital dan warganya dihubungkan oleh gawai cerdas dan teknologi informasi. Kota cerdas adalah sebuah kota ketika warganya telah memiliki kecerdasan dalam menata kotanya sendiri.
Keterhubungan dan kemelekatan warga kota yang belum siap terhadap pemanfaatan teknologi informasi justru telah menihilkan kota cerdas. Kota cerdas sudah tentu tidak akan mengalami kemacetan dengan durasi bermenit-menit, tidak akan ditemui pengendara kendaraan bermotor saling serobot, dan tidak akan didapati tata kelola kota tanpa analisa dan kajian yang utuh serta mengedepankan nalar sehat.
Ketagihan berlebihan terhadap gawai cerdas namun melupakan “tatapakan” atau fondasi dasar kehidupan bukan ciri sebuah kota telah mewujud menjadi cerdas dan mengalahkan daerah tradisional. Kota seperti ini justru telah mengalami degradasi kehidupan, hubungan sesama warga tidak menempati ruangan nyata namun mengisi lorong-lorong gelap media sosial yang sering menampilkan hal indah dalam kehidupan. Warga kota justru menjadi seperti alim dan bijak dengan wajah berseri di dunia maya namun kusam dan kasar di dunia nyata.
Kita sudah tentu mengharapkan kondisi yang lebih baik dari istilah mentereng seperti “Kota Cerdas” dalam kehidupan nyata. Mengembalikan nilai-nilai warisan leluhur dalam menata kelola kehidupan menjadi syarat mutlak mewujudkan kota cerdas. Kita harus berpikir, kenapa leluhur Sunda membuat bangunan dan areal pemukiman dengan bentuk bangunan persis sama, gerbang masuk ke areal pemukiman memiliki jalan utama, di antara setiap bangunan (wangunan) memiliki selasar? Karena leluhur orang Sunda menyadari hubungan yang erat antara jagat besar (alam dan lingkungan) dengan diri manusia sebagai jagat alit. Kedua jagat ini sulit dipisahkan.
Posting Komentar untuk "Tak Ada Kemacetan di Solo"