Penunjukan sebuah kota atau daerah menjadi tuan rumah penyelenggaraan perhelatan besar, seperti Indo SmartCity 2022, ditentukan berdasarkan beberapa penilaian pada tahun sebelumnya. Hal ini serupa dengan pemilihan tuan rumah penyelenggaraan Babak Final Sepak Bola Piala Dunia, ditunjuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan salah satunya ketersediaan infrastruktur pendukung sebuah perhelatan.
Solo ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan Indo SmartCity 2022 oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) pada tahun 2021 dengan beberapa alasan dan pertimbangan. Pertama, Solo telah memiliki infrastruktur yang cukup baik, mulai dari ruang publik, jalanan, dan fasilitas lainnya yang dapat diperlihatkan sebagai kebanggan sebuah kota saat dipertontonkan kepada para kepala daerah dari kota lain.
Kedua, Solo telah membenahi kotanya dengan perangkat dan aplikasi infrastruktur pendukung “Kota Cerdas”. Mega proyek Solo Technopark, sebuah taman yang menggabungkan unsur-unsur teknologi, informasi, komputasi, sosial, kultural, dan ekonomi sudah memperlihatkan dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan ruang tertutup dan terbuka ini akan menjelma menjadi ruang pertemuan masyarakat dari berbagai latar belakang. Keberadaan Solo Technopark menjadi salah satu indikator Kota Cerdas telah dapat disematkan kepada Kota Solo.
Ketiga, Kota Cerdas tidak sekadar menawarkan pemanfaatan teknologi informatika kepada masyarakat. Tidak juga semua warga kota harus terhubung dengan gawai canggih dalam melakukan komunikasi. Pemanfaatan infotech yang kurang bijaksana justru telah menjadi masalah serius terhadap kemunculan degradasi hubungan interpersonal warga kota dengan sesamanya.
Bagi Kota Solo, Kota Cerdas dimaknai sebagai sebuah restorasi dan penggalian kearifan lokal melalui pendekatan kekinian. Perkembangan infotech dimanfaatkan sebagai media untuk menggali dan menghubungkan ikatan antara tradisi masa lalu dengan masa kini. Ini dibuktikan oleh Pemerintah Kota Solo melalui pemberian dukungan yang layak kepada para pelaku UMKM (misalnya pengrajin batik di Kauman) terutama dari sisi promosi dan pemasaran.
Pemerintah telah menjadikan Batik Kauman sebagai sebuah Kampung Batik dan Destinasi Wisata sejak tahun 2006 lalu. Menempatkan sebuah wilayah menjadi sentra batik yang memegang teguh pakem tradisional oleh pemerintah secara tidak langsung telah meningkatkan daya tawar produk batik tradisional setara dengan produk unggulan kontemporer lainnya.
Kebijakan seperti ini tentu saja tidak dilahirkan berdasarkan asumsi kesementaraan atau tiba-tiba namun berdasarkan realitas dan fakta bahwa menampilkan kearifan lokal tetap menjadi kebutuhan warga kota sekalipun telah menjadi manusia modern. Restorasi semacam ini telah terbukti berhasil pada tahun 1868 di Jepang. Mereka (warga Jepang) mulai menyadari betapa kehidupan mereka berada di belakang bangsa-bangsa lain di saat masih berkutat pada nilai-nilai lama tanpa mengakui apalagi mengadopsi kemajuan.
Mereka juga menyadari, melenyapkan nilai-nilai lama atau tradisi yang telah berkembang di masyarakat kemudian mengekor kepada Barat justru akan menjerumuskan mereka pada kemajuan semu dan mudah diperdaya oleh bangsa lain. Delapan dekade kemudian, setelah restorasi, Jepang telah muncul menjadi satu raksasa teknologi tanpa harus kehilangan budaya dan tradisi lama sebagai warisan leluhur mereka.
Solo di Pagi Hari
Setelah delapan jam lebih menempuh perjalanan menggunakan moda transportasi darat kereta listrik dari Bandung, saya bersama dua orang teman (Robby, staf Protokol Setda Kota Sukabumi dan Fadhil (Staf Dokumentasi Pimpinan Setda Kota Sukabumi), tiba di Solo pukul 05.00 WIB. Solo dengan jalan lebar dan setiap pinggirnya ditanami oleh aneka ragam bunga dan tanaman tingkat tinggi masih membeku.
Selama setengah jam kami berputar-putar mencari penjual penganan untuk sarapan. Entah disebabkan oleh ketidaktahuan kami atau memang selalu terjadi di Solo setiap pagi, kami masih belum menemukan penjual makanan seperti nasi kuning, bubur ayam, dan sejenisnya.
Saya baru tahu dari Pak sopir, penjual makanan untuk sarapan di Solo ini memang terbilang langka, biasanya lapak dan warung mereka siap dijejali oleh pembeli antara pukul 07.00 – 08.00. Bahkan, lanjut Pak Sopir, makanan untuk sarapan ini juga belum tentu sesuai dengan selera orang-orang dari kota/daerah lain.
Situasi ini tentu begitu jauh secara diametral dengan apa yang terjadi di Sukabumi. Sejak subuh dengan mudah dapat kita temui para pedagang di pinggir jalan mulai dari ketupat sayur, bubur ayam, gorengan, dan sejenisnya. Solo tidak demikian, sampai pukul 6.30 WIB pun masih sepi oleh riuh gemuruh para pedagang.
Awalnya saya mengira, mungkin mayoritas warga Solo ini jarang sarapan. Setelah sehari penuh mencari informasi mengenai hal ini, saya baru mendapatkan alasan yang tepat, bagi warga Solo, persoalan sarapan itu perkara mudah, mereka tinggal makan di rumah masing-masing. Mereka memandang sarapan pagi ya di rumah saja, tidak perlu membeli di jalanan.
Fenomena yang terjadi di masyarakat urban tentang sarapan pagi tentu berbeda dengan apa yang terjadi di Solo. Kota kecil seperti Sukabumi saja tidak demikian, rata-rata masyarakat menyerahkan sepenuhnya makanan sarapan pada kehadiran para pedagang. Para pegawai dan pekerja biasanya membeli makanan untuk sarapan saat mereka berangkat ke tempat kerja.
Dari peristiwa kecil ini memang tidak salah sebuah kota cerdas memang harus diisi oleh warga yang cerdas dalam berpikir dan rasional mengambil pilihan. Namun tetap saja kehadiran para pedagang bubur ayam, ketupat sayur, gorengan, dan sejenisnya menjadi satu fakta tidak terbantahkan bahwa perekonomian tetap berjalan.
Masyarakat urban yang memandang dirinya sebagai sekelompok manusia cerdas sedang berada di titik persimpangan antara keharusan bersikap rasional dengan mengedepankan sikap transaksional. Kenyataan ini telah memengaruhi sektor kehidupan lainnya, misalnya dalam hal berpolitik.
Pilkada di Kota Solo selalu dimenangkan oleh calon kepala daerah yang mengaitkan hubungan emosional dengan pemilihnya dari sekadar menerapkan praktik transaksional dalam berpolitik. Atas alasan inilah, perolehan suara calon kepala daerah di Kota Solo selalu memperlihatkan angka signifikan jika dibandingkan dengan perolehan suara calon kepala daerah di kota dan kabupaten lainnya.
Sangat kurang bijaksana, kita membandingkan satu kota dengan kota-kota lain karena masing-masing memiliki akar sejarah berbeda. Walakin, bagi sebuah kota yang ingin menerapkan kebijakan Smart City atau Kota Cerdas, memang masih banyak pembelajaran yang dapat kita ambil dari kota-kota lain.
Alasan studi banding yang dilakukan oleh DPR, DPRD, dan Pemerintah Daerah salah satunya adalah untuk mengeruk dan menggali informasi penting sebuah daerah kemudian diadopsi dan dipraktikkan di daerah asal. Studi banding seperti ini saya pikir tidak akan merugikan pihak manapun ketika menghasilkan keputusan dan kebijakan yang mampu mendorong kebaikan bagi warga sebuah kota.
Di ranah internal, eksekutif dan legislatif di sebuah daerah sebenarnya tidak perlu jauh-jauh melakukan studi banding dan mengunjungi daerah lain. Informasi tata kelola ruang dan wilayah dimiliki oleh para leluhur kita dan mengendap dalam budaya dan tradisi. Menggali kearifan lokal dan menerapkannya pada kebijakan jauh lebih murah dilakukan namun memerlukan sikap serius dan tidak temporer sesaat. Sayangnya, pikiran kita selalu tertutup dalam menggali kearifan lokal yang mengakar tepat di dalam diri sendiri.
Posting Komentar untuk "Solo dan Indo SmartCity 2022"