Menatap Wajah Sukabumi dari Utara ke Selatan

Kepemimpinan Fahmi-Andri dapat dikatakan cukup berhasil melakukan penataan pusat Kota Sukabumi
Penataan pedestrian Ir. H. Juanda, Jalan Raya A. Yani, Lapang Merdeka, alun-alun, penetapan titik nol kilometer, dan renovasi trotoar telah dapat dirasakan oleh warga Kota Sukabumi. Bagi pemerintah kota sendiri, pembenahan bagian depan Balai Kota Sukabumi menjadi bagian penting dari tata kelola kota dan berkaitan erat dengan pembangunan-pembangunan periode sebelumnya.

Pembangunan yang mengalir dari arah utara ke selatan terlihat begitu masif dilakukan di akhir tahun 2022 ini. Rata-rata pembangunan –lebih tepatnya perbaikan – dilakukan untuk merenovasi gorong-gorong, trotoar, selokan pinggir jalan, dan jembatan kecil yang melintasi jalan utama. Renovasi gorong-gorong dan jembatan tentu saja dimaksudkan untuk mengantisipasi luapan air dari selokan ke jalanan di saat hujan deras, satu fenomena yang telah menjadi ciri daerah urban.

Harus diakui, proporsi pembangunan, renovasi dan penataan fisik masih mendominasi pusat kota, terlebih dari tahun 2020-2021, selama dua tahun, anggaran pembangunan fisik dialokasikan ulang (refocusing) pada kegiatan-kegiatan pemulihan perekonomian dan bidang sosial sebagai dampak pademi Covid-19. Satu tahun sebelum pandemi, tahun 2019, pembangunan dan renovasi trotoar telah dilakukan oleh pemerintah di wilayah perkotaan atau pusat kota (Jl. Gudang, Jl R.E Martadinata, dan Jl. Siliwangi).

Pembangunan fisik di daerah selatan Kota Sukabumi meliputi Kecamatan Cibeureum, Baros, dan Lembursitu difokuskan pada penataan jalan lingkungan, selokan, dan pemasangan pavin block gang. Pembangunan rumah tidak layak huni (Rutilahu) dilakukan berbasis blok dan tidak acak, hal ini memungkinkan sasaran pembangunan rumah tidak layak huni menjadi lebih tertib dan pengelolaannya tidak bersifat acak.

Merias wajah kota menjadi lebih rapi memang bukan hal mudah, apalagi dengan melihat beban penataan kota oleh Pemerintah Kota Sukabumi periode 2018-2023 merupakan dampak susulan dari pembangunan yang belum tuntas pada periode sebelumnya. Walakin, secara garis besar, kepemimpinan Fahmi-Andri telah berani memulai hal baru, merestorasi pusat perekonomian (kawasan Jl. Kapt. Harun Kabir dan sekitarnya) setelah selama hampir satu setengah dekade, kawasan tersebut beralih fungsi, misalnya trotoar dijadikan tempat berjualan, akibatnya sering menjadi sasaran komentar dan kritik dari warga kota.

Bercermin pada beberapa penataan kota di beberapa daerah yang pernah saya kunjungi, membenahi atau dalam terma kasundaan “merenahkeun” lingkungan dari pusat sampai ke wilayah peripheral selain membutuhkan kekuatan anggaran juga memerlukan waktu yang cukup. Kota Malang telah mampu merelokasi para pedagang kaki lima ke pusat perekonomian tradisional memerlukan waktu kurang lebih 16 tahun. Kesepahaman dibentuk antara pemerintah, pedagang, dan para stakeholder dalam menentukan kebijakan yang melibatkan “hajat” hidup orang banyak.

Membandingkan pembangunan antar kota




Informasi dari daerah lain dapat dengan mudah diterima oleh siapa pun melalui saluran-saluran media sosial di ruang maya. Atas alasan ini, ada kecenderungan baru yang dilakukan oleh masyarakat urban yaitu membandingkan pembangunan di kota lain dengan yang terjadi di daerahnya sendiri. Menyimpulkan sedini mungkin kondisi satu kota dengan memperbandingkan pembangunan antarwilayah tanpa melihat basis kesejarahan pembangunan masing-masing wilayah tentu dapat memunculkan perbandingan yang kurang fair.

Misalnya, saya sering mendengar pertanyaan dan pernyataan seperti ini: kenapa jalan kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki ukuran signifikan terutama lebar dan panjangnya? Sementara jalan utama di Kota Sukabumi, dapat kita saksikan sendiri, kurang lebar, akibatnya selalu disesaki oleh kendaraan bermotor dan pengguna jalan lainnya. Membandingkan infrastruktur antarwilayah kadang biasa diselingi oleh ungkapan retoris: mereka mampu, kenapa kita tidak?

Mencermati pertanyaan atau pernyataan di atas tidak semestinya direspon seketika tanpa melihat faktor-faktor yang mengiringinya, misalnya kesejarahan atau akar historis pembentukan sebuah kota. Alasan paling masuk akal kenapa jalan di Kota Sukabumi tidak selebar jalan di kota-kota Jawa Tengah dan Jawa Timur, hal ini berhubungan dengan masa awal pembentukan Kota Sukabumi sebagai sebuah tempat persinggahan. Apalagi jika ditarik mundur ke beberapa abad sebelum kedatangan Belanda, daerah Sukabumi sampai abad ke 15 M belum dihuni oleh ribuan keluarga inti. Penduduk asli Sukabumi sendiri merupakan para pendatang dari wilayah Utara dan Timur. Identitas Sukabumi dan daerah-daerah di dalamnya tidak tercatat secara eksplisit dalam catatan perjalanan Bujangga Manik.



Kita dapat membayangkan situasi dan kondisi Sukabumi pada periode awal pembentukan pemukiman dengan komunitas-komunitas kecil di daerah yang masih berbentuk rawa, padang rumput, hutan, dan danau-danau kecil. Kondisi alam di masa lalu selalu memperlihatkan kenampakan alam seperti ini. Daerah di sebelah selatan Gunung Gede sampai saat ini masih menyisakan jejak masa lalu jika dicermati secara mendalam dan serius. Sayang sekali, pandangan warga Sukabumi kontemporer lebih memfokuskan retina penilaian terhadap kondisi kekinian tanpa menghubungkannya dengan kenyataan kondisi alam masa lalu.

Sebelum peralihan lahan dari pertanian dan lahan terbuka hijau ke pemukiman, sampai tahun 90-an kita dapat menyaksikan sendiri, setiap perkampungan berdiri secara mandiri, antara satu kampung dengan kampung lainnya dipisahkan oleh areal persawahan yang cukup luas. Kampung Balandongan dengan Pangkalan saja meskipun sebagian besar penduduknya memiliki ikatan kekeluargaan tetap dipisahkan oleh areal persawahan. Santiong dengan daerah Situ Gede berdiri secara terpisah. Perkampungan di sepanjang Jl. Pelabuan II dari Cipanengah sampai Pasar Saptu yang kita saksikan saat ini disesaki oleh pemukiman dan toko-toko, pada dua dekade lalu merupakan perkampungan terpisah-pisah.

Mengikis cara pandang kampung dan kota


Membangun kota harus memerhatikan keterhubungan kita dengan masa lalu, hal ini tidak terbantahkan karena pengaruh masa lalu terhadap masa kini cukup besar. Masa lalu telah menyediakan jalan utama di pusat kota membentang dari Cisaat sampai Sukaraja tidak serta merta pembangunan jalan di masa lalu tidak dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Pembangunan jalan utama di pusat kota dilatarbelakangi oleh kenyataan, daerah tersebut telah menjadi lalu-lintas perjalanan tradisional, bahkan dapat saja diasumsikan sebagai jalan setapak yang pernah dilalui oleh para leluhur kita di era revolusi pertanian. Lumrah jika daerah Cikole dan wilayah yang dilalui oleh jalur utama ini menjadi daerah pemukiman dan pertokoan yang ramai lebih dahulu dibanding daerah selatan Sukabumi.

Pusat Kota Sukabumi mulai dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda, infrastruktur dibangun, rekayasa lingkungan, alun-alun, perkantoran, sekolah, pasar, stasiun, lapangan, gedung pertemuan, dan akses transportasi. Ketersediaan fasilitas seperti ini mengundang orang-orang untuk berinvestasi di daerah yang lebih ramai karena tingkat kebutuhan terhadap barang yang tersedia juga memang lebih tinggi dibanding daerah lain yang masih jarang oleh penghuninya. Sebelum era global village dan distribusi produk barang menyebar secara luas, masyarakat perkampungan harus pergi ke kota sekadar untuk membeli jarum dan benang. Terma ideal yang dikatakan oleh orang kampung sebelum membeli sesuatu yaitu: harus membelinya di kota (kudu meuli di kota anu kieu mah!).

Ungkapan: main ke kota, belanja ke kota, dan nyaba ke kota masih sering digunakan oleh orang-orang yang merasa dirinya berdomisili di luar pusat kota. Padahal, sejak tahun 2000, masyarakat Baros, Cibeureum, dan Lembursitu sudah menjadi bagian dari Pemerintah Kotamadya Sukabumi. Pemakaian ungkapan “kota” oleh orang-orang di perkampungan mungkin saja dituturkan juga oleh orang-orang di daerah lain, karena mereka memandang “kota” adalah tempat penyedia berbagai kebutuhan. Pandangan ini serupa dengan situasi ketika orang Sukabumi mendengar temannya berkata: “Saya berasal dari Bandung”. Kognisi totem pro parte dalam benak orang Sukabumi secara tidak langsung merumuskan: Bandung, temannya tinggal di daerah perkotaan, atau orang Kota Bandung.

Patut diduga, kognisi seperti ini memiliki pengaruh cukup kuat terhadap kebijakan-kebijakan penataan dan pengelolaan pembangunan dari hulu ke hilir. Pusat kota tetap menjadi episentrum renovasi, perbaikan, dan pembangunan, wilayah-wilayah lain yang terletak di bagian selatan hanya mengikuti alur pembangun yang dilakukan di pusat kota. Dalam beberapa tahun ke depan, pembangunan fisik akan tetap terkonsentrasi di pusat kota karena wajah pusat kota memang memiliki daya tawar efektif selain memudahkan pengambilan sudut pemotretan, orang-orang dapat dengan mudah menggeneralisasi pikiran: pusat kota sebagai barometer pembangunan wilayah sekitarnya.

Posting Komentar untuk "Menatap Wajah Sukabumi dari Utara ke Selatan"