Zaman aksial atau zaman poros yang dikemukakan oleh Karl Jaspers sebetulnya masih menjadi polemik dan bahan diskusi di kalangan cendekiawan sosial terutama para sejarawan. Pandangan Jaspers tentang kemunculan secara sporadic pikiran universal di beberapa wilayah selama abad ke-8 SM sampai abad ke-3 SM masih tampak rancu dalam pandangan sebagian besar cendekiawan sosial. Kendati demikian, kita harus memaklumi mengingat Jaspers merupakan seorang eksistensialis yang relatif lebih rapi dan runut dalam berpikir sudah tentu menjadi “rundungan” para pemikir lain yang lebih urakan.
Kecuali itu, Jaspers pernah mengalami dilema di saat partai NAZI berkuasa. Sebagai salah seorang filsuf yang bersentuhan dengan alam pikir Nietzsche dengan gagasan “manusia super”-nya yang mewujud menjadi fasisme saat menempati wilayah ekstrim. Namun di sisi lain ia harus menerima takdir bahwa dirinya memiliki istri seorang perempuan Yahudi yang menjadi sasaran dari ekstrimisme ubermensch (pandangan manusia super).
Gagasan Jaspers tentang zaman aksial pada salah satu pentas sejarah menjadi hal baru yang dapat membuka pikiran kita dalam menelaah kondisi sosial suatu masyarakat. Sukabumi merupakan wilayah yang belum terjamah sama sekali oleh pandangan sebagian besar orang Eropa mengingat kolonialisme baru mencengkeram wilayah Sukabumi sekitar abad ke-17. Melalui gagasan Jaspers ini, kita dapat mengimajikan dalam pikiran, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di Sukabumi di masa lalu.
Harus diakui, kekurangan sumber informasi tentang Sukabumi di masa lalu menjadi satu alasan bahwa cara kita berpikir mengenai Sukabumi antara abad ke-8 SM sampai abad ke-3 SM cenderung menebak-nebak. Satu hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab orang Sukabumi mengalami kesulitan mencatat sejarah dan cerita tentang wilayahnya sendiri. Secara keilmuan, menebak-menebak dalam menceritakan situasi dan kondisi suatu wilayah merupakan sebuah kecacatan yang harus diperbaiki.
Namun, tanpa hal ini, realitas atau apa yang terjadi di masa lalu sudah tentu sulit dikhayalkan hingga memunculkan rasa takut sekadar menceritakan kondisi satu wilayah pada saat tertentu. Jadi, menebak-nebak situasi masa lalu sebetulnya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kecacatan fatal dalam ilmu pengetahuan karena landasan berpijak pengetahuan sendiri diawali oleh rasa ingin tahu dan bermuara pada jawaban sementara yang harus terus dievaluasi. Para sarjana muslim di abad pertengahan dan orang-orang Eropa di era aufklarung (pencerahan) sebelum memasuki apa yang dicatat oleh sejarah sebagai era keemasan berpikir mengawalinya dengan menerka dan menebak kondisi masa lalu.
Bagaimana Kondisi Sukabumi di Era Aksial?
Paling tidak, sikap ilmiah kita dalam memaparkan situasi dan kondisi masa lalu tetap harus diawali oleh rasa ingin tahu terlebih dahulu. Pandangan Jaspers dapat dijadikan landasan dalam memandang Sukabumi (di abad ke-8 SM sampai abad ke-3 SM tentu saja daerah di Selatan Gunung Gede ini belum bernama Sukabumi) dan sejarahnya di era aksial.
Cara manusia berpikir memang tidak jauh berbeda dengan bagaimana alam ini menyediakan berbagai makhluk dari zat renik sampai makhluk tingkat tinggi. Kehadiran makhluk lain selalu sebanding dengan kenampakan alam dan sosial, cenderung sporadis, tiba-tiba, dan bersifat universal. Kita tidak dapat memperkirakan sebelumnya, tiba-tiba pada tahun 2019-2021, virus corona berkembang biak secara sporadis, mengalir begitu cepat dari belahan dunia utara ke timur, barat, dan selatan.
Entitas penting apakah satu wilayah memiliki pikiran universal yaitu keberadaan penghuni daerah tersebut. Apakah Sukabumi telah ditempati oleh manusia di abad ke-3 SM? Di abad ini, orang-orang Yunani Kuno telah melahirkan para filsuf seperti Thales, Socrates, Platon, Aristoteles, Phytagoras, dan lainnya. Kekaisaran Romawi bersama kemasyhuran dan kemegahannya mulai terbentuk pada masa periode aksial ini. Kerajaan-kerajaan kuno yang sebelumnya pernah menjadi pusat peradaban dunia mulai tergantikan oleh kekuasaan dan kekuatan lain. Mesopotamia dan Mesir mengalami kemunduran di masa ini kemudian muncul Persia sebagai pemegang kendali. Tidak terkecuali, kerajaan Sabean di wilayah Yaman pada abad ke-1 mengalami era kejayaan.
Jika di wilayah lain telah muncul pikiran universal, keinginan para penghuni satu wilayah melakukan koordinasi dan membangun satu kekuatan, hal ini tentu saja berlaku juga bagi wilayah-wilayah di bagian Timur, tanpa kecuali Sukabumi. Paling tidak, pada era aksial ini, Sukabumi telah dihuni oleh manusia sebagai leluhur (karuhun) orang Sukabumi yang datang dari utara dan timur pada awal revolusi pertanian (13.000-10.000 tahun lalu). Tidak dapat dinafikan, Sukabumi dapat saja menjadi salah satu jalur perjalanan sekelompok sapiens di masa berburu dan meramu. Wilayah yang kaya dengan sumber daya alam sangat musykil tidak dijadikan tempat berburu dan meramu oleh manusia saat itu.
Laju pertumbuhan penduduk Sukabumi pada tahun 2020 sebesar 1.01%, jika dirata-ratakan menjadi 0.5%, dengan mengabaikan variabel lain dalam hitungan statistika kependudukan, maka pada abad ke-3 SM, wilayah ini baru dihuni oleh satu komunitas kecil berjumlah 20 sampai dengan 100 orang. Jumlah penduduk mengalami pertumbuhan signifikan setelah zaman aksial, sampai tahun 900 M dari hanya 100 orang menjadi 10.830 orang. Di masa setelah era aksial, Sukabumi telah dihuni oleh sekitar 720 keluarga inti yang belum tersebar. Jumlah penduduk sebesar ini dapat dipastikan hanya mengambil peran sebagai pengelola alam dan bergerak di bidang pertanian dalam skala kecil. Sangat sulit membangun kekuasaan.
Hal penting yang dilahirkan oleh peradaban manusia di zaman aksial adalah pikiran universal tentang kesemestaan hingga melahirkan gagasan “Yang Ilahi”. Para sejarawan dari aliran positivisme memaklumi era ini sebagai bentuk peralihan cara pandang manusia dari era sebelumnya ke dimensi lain, manusia mulai mengembangkan cara berpikir dualitas: menempatkan diri mereka pada alam nyata dan memosisikan realitas pada alam khayal atau fiktif. Menempatkan realitas pada alam khayalan bukan merupakan kebohongan, justru pada perkembangan berikutnya telah membantu manusia menemukan berbagai piranti keras dan lunak dalam kehidupan.
Para penganut atheisme dapat saja mencemooh leluhur manusia di era aksial yang telah membuat formula ajaran dan agama sebagai sekelompok manusia primitif yang memasrahkan ketidaksanggupan mereka kepada sesuatu yang mereka khayalkan sendiri. Namun, orang-orang atheis sendiri tidak dapat menyangkal bahwa bentuk pengingkaran mereka pada kehadiran zat adikodrati tidak terletak dari ada dan tidak adanya sesuatu, melainkan sebagai bentuk negasi dari penemuan besar umat manusia yang dihasilkan dari kekuatan akal pikiran di masa lalu. Meskipun para penganut atheisme dengan segala kekuatannya menolak kehadiran yang adikodrati, tetap saja mereka belum sampai pada jawaban bukti ketiadaan yang adikodrati ini.
Dengan jumlah penghuni hanya sampai 100 orang, komunitas yang terbentuk di Sukabumi di era aksial hanya meneruskan apa yang telah diwariskan oleh manusia pada era sebelumnya sebagai komunitas komunal pertanian dan telah mendomestikasi binatang peliharaan, terutama dari jenis unggas. Pemimpin komunitas komunal terbangun tidak atas dasar kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, sampai saat ini, genetika yang diwariskan oleh leluhur Sukabumi sama sekali tidak mengenal peperangan antar klan, para leluhur Sukabumi lebih memilih mengedepankan sikap kontemplatif dan mengokohkan hubungan mereka dengan alam.
Sampai saat ini, orang Sukabumi sering mengedepankan sikap kurang reaktif terhadap suatu hal meskipun merugikan atau tidak menguntungkan diri mereka. Karakter ini bukan ciri sikap pengecut dan kurang berani, sikap manusia-manusia yang dibesarkan di lingkungan agraris, produsen sumber daya alam memang lebih mengedepankan sikap tenang dan kalem.
Kita mungkin dapat membayangkan, apa yang dilakukan oleh orang-orang Sukabumi di zaman aksial; komunitas komunal dalam skala kecil ini lebih banyak menghabiskan waktu bercengkrama dengan keluarga inti, menunggu masa musim panen, menjalin hubungan personal dengan sesamanya, dan merenungkan kehadiran mereka di dunia ini. Di era aksial, orang Sukabumi telah mampu melahirkan pikiran universal: bagaimana semestinya mereka membangun satu “wadah” yang dapat ditempati bersama-sama dari sekadar merekayasa penghuninya.
Posting Komentar untuk "Sukabumi di Era Aksial"