Manusia Sukabumi Sebagai Khalifah

Sebagian besar umat Islam sudah tidak memerlukan pemaparan secara panjang lebar terhadap terma “khalifah”. Para mufassir (penafsir Al-Quran) telah menginterpretasikan secara jelas, khalifah adalah “seolah-olah” manusia ditempatkan di planet Bumi ini sebagai sekelompok manusia yang diberi tugas memakmurkan, menjaga, dan merawat Bumi. Penafsiran ini merupakan pakem agar umat Islam menyadari eksistensi manusia yang hadir di muka Bumi ini tidak memposisikan diri sebagai makhluk sombong dan egois apalagi bertindak semena-mena terhadap alam, Bumi tempat mereka berpijak.


The Last Judgement, Karya Michael Anggelo (Wikipedia)

Hal tersebut berbanding lurus dengan penempatan ayat tentang kejatuhan (bentuk eufemisme dari pengusiran) manusia dari alam antimateri ke alam materi. Para penyusun naskah Al-Quran di zaman pengkodifikasian ayat-ayat, misalnya pada mushaf Utsmani, penyebutan kata khalifah oleh Allah SWT ditempatkan di dalam Surat Al-Baqarah ayat ke 30. Ayat-ayat sebelumnya menunjukkan bagaimana struktur alam ini diciptakan dengan kerangka yang jelas. Jika dielaborasi dari mulai ayat pertama Al-fatihah hingga ayat 29 Al-Baqarah memiliki sistematika seperti berikut:

Pertama, Surat Al-Fatihah merupakan satu prolog dan latar belakang menganai nilai-nilai keilahian yang terpancar melalui kehadiran alamin (bentuk jamak dari alam. Manusia modern akhir-akhir ini mulai menggunakan terma multiverse dalam memandang realitas keberadaan banyak alam). Alam ini diciptakan sebagai bentuk kemahakasihan-Nya. Karena tanpa welas asih sangat mustahil segala sesuatu dapat terlahir, dalam dunia profan “cinta” menjadi syarat mutlak kehadiran sesuatu.

Ketertataan alam dan konstelasinya mengharuskan manusia mengikrarkan diri sebagai “hamba” yang menempati posisi “lemah”. Ayat 5 dan 6 Surat Al-Fatihah ini menggunakan pendekatan dialogis, manusia sebagai orang pertama dan bermukhotob secara langsung dengan Allah SWT. Komunikasi tanpa melibatkan kata ganti orang ketiga ini mengindikasikan keseriusan antara pihak pertama dan kedua.

Kedua, sistematika dan proses pewahyuan hingga menjadi kitab-kitab (wahyu yang ditulis) diilustrasikan secara mujmal (global) pada ayat-ayat awal Surat Al-Baqaroh. Ayat pertama surat ini merupakan fonem abjad hijaiyah “alif lam mim”, masih memerlukan penafsiran atau sama sekali tidak perlu ditafsirkan dan diberi makna. Penempatan tiga huruf ini jika kita mengabaikannya begitu saja, nampak akan berseberangan dengan ciri khas kitab pada ayat kedua: laa royba fiih, tidak ada keraguan (sangat jelas), tidak bias.

Lantas bagaimana kita semestinya memperlakukan kata “alif lam mim” ini? Ayat seperti ini bukan hanya ditemui di awal Surat Al-Baqarah, pemilihan kata fonetik di dalam Al-Quran merupakan rumus-rumus yang hanya dapat dipahami oleh nalar jernih. Manusia modern baru mempraktikkan cara berkomunikasi seperti ini pada tahun 1960-an melalui pemrograman (coding). Sebagian besar umat Islam –mungkin saja- menerimanya sebagai ayat-ayat yang tidak perlu diberi makna (wallahu ‘alam bi murodihi) sebagai bentuk kehati-hatian.

Ketiga, skenario besar keberadaan manusia di muka Bumi telah tercatat melalui pembagian tiga kelompok manusia; beriman, kafir, dan munafik. Beberapa tahun lalu, seorang teman pernah mengajukan pertanyaan: jika Tuhan menciptakan manusia telah diskenariokan menjadi tiga kelompok, dan untuk dua kelompok selain manusia beriman akan mendapatkan hukuman, berarti status manusia kafir dan munafik tidak bersalah, kan? Karena kehadiran mereka memang telah ditakdirkan oleh-Nya!

Acap kali kita sering terjatuh ke dalam sikap simplikasi dan terlalu sederhana dalam menyimpulkan berbagai hal yang memerlukan pemikiran mendalam. Hanya dengan membaca 21 ayat awal Surat Al-Baqoroh tanpa berpikir jernih akan menjebak kita pada pikiran rigid. Kita jarang berpikir utuh terkait penciptaan piranti keras dan lunak di alam ini, mengkaji hukum-hukum semesta, padahal sejak di bangku sekolah dasar sekalipun kita telah diajari cara menelaah keberadaan alam dan hukum-hukum yang menyertainya.

Dengan cara berpikir rigid, sebagian pihak tentu akan mempertanyakan: jika saya menjadi manusia jahat, lantas kenapa Tuhan menciptakan saya? Bukankah Tuhan maha kuasa menjadikan saya menjadi orang baik atau dilahirkan dari keluarga yang berperilaku baik? Nah, lantas, apakah dengan demikian kita harus menyalahkan Tuhan sambil bertanya, kenapa aku dilahirkan atau diciptakan?

Menjawab persoalan seperti di atas ,tentu saja, memerlukan ruang pemaparan yang cukup luas meskipun dapat saja saya simpulkan: tanpa memahami secara utuh hukum-hukum semesta yang telah disiapkan oleh Allah SWT, siapapun akan tetap terjebak dalam cara berpikir rigid atau enggan berpikir sama sekali. Lagi pula, tidak semua manusia memiliki peran sebagai pemikir. Siapapun tidak dapat menyalahkan pihak lain terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri. Dan memang sudah cukup bagi kita sebagai manusia mengingat penuturan Al-Quran menggunakan ungkapan metafora (tamtsil) mengenai tajuk bahasan di bagian awal surat Al-Baqoroh ini. Atas dasar inilah, Al-Quran menghendaki umat Islam memahaminya berdasarkan kapasitas dirinya tanpa mengekspansi pihak lain yang memiliki penafsiran berbeda.

Sejak awal proses penciptaan, alam (dalam terma Al-Quran menggunakan alamin, multi-alam) selain menyiapkan piranti keras dalam bentuk materi, sekaligus disertai oleh piranti lunaknya dalam bentuk tetapan-tetapan alam yang matematis dan sistematis. Baru di kemudian hari, tetapan dan hukum-hukum ini diformulasikan oleh manusia ke dalam rumus-rumus yang saling berhubungan satu sama lainnya. Para penganut materialisme memandang peristiwa ini sebagai kebetulan belaka. Namun struktur alam, susunan partikel dan atom, keterhubungannya hingga membentuk benda-benda secara cermat sangat musykil terjadi secara kebetulan tanpa dikendalikan oleh kesadaran tertinggi. Atas dasar inilah, Einstein menyebutkan: Tuhan tidak sedang bermain dadu. Eksistensi alam sebagai jagat besar tidak dilahirkan dari proses pertaruhan.

Manusia sebagai Khalifah

Ibu Katsir menafsirkan kata khalifah sebagai sekumpulan manusia yang datang silih berganti, abad demi abad, waktu ke waktu, saling meneruskan dari generasi ke generasi. Penafsiran ini serupa dengan makna khalafa: di belakang. Sapiens dalam terma para saintis sosial adalah penerus dari kaum sebelumnya. Pandangan ini menyiratkan bahwa kehadiran manusia di muka Bumi ini memang tidak turun begitu saja, melainkan melalui proses berkesinambungan, silih berganti, jutaan hingga milyaran tahun.

Menempatkan manusia berperadaban dan berkesadaran (sapiens atau insan), pada babak sejarah, kendati dalam hitungan kurun dan waktu sebetulnya sangat lama, kira-kira 70.000 tahun lalu. Kurun waktu merupakan bagian dari hukum dan piranti lunak yang telah disiapkan jauh hari sebelumnya. Secara tekstual dan kasat mata, andai saja keyakinan terhadap konsep kejatuhan manusia dari sorga dinisbikan terlebih dahulu, kita akan berpikir memang di luar jangkauan kesadaran, ada dua orang manusia (Adam dan Hawa) diturunkan dari sorga setelah sebelumnya memerankan pentas dramaturgi dan berakhir pada tragedi.

Di sisi lain, umat Islam memang tidak dilarang mengambil penafsiran lain tentang prosesi penasbihan manusia sebagai khalifah agar berefek pada dimensi dan spektrum peningkatan ilmu pengetahuan. Toh pada ayat 31 Surat Al-Baqarah juga disebutkan dengan jelas, syarat utama manusia sebagai khalifah yaitu kemampuan dalam mengenal nama-nama dan lebih berpengetahuan dari makhluk lainnya. Secara umum, jika khafilah diberi makna: manusia berperadaban, maka pemegang kendali dunia dan kehidupan sejak awal mula manusia ada sudah lumrah dimiliki oleh kaum yang benar-benar memfokuskan perhatian pada ilmu pengetahuan. Sejarah peradaban Islam di masa lalu mencatat era keemasan diraih oleh umat Islam terjadi selama para ulama berkutat pada masalah keilmuan. Kemunduran peradaban Islam terjadi sebagai akibat para ulama dan umat terjebak pada pertikaian politik yang menafikan iman dan ilmu.

Manusia Sukabumi merupakan bagian penting dari ketertataan semesta. Bagi Thanos, tokoh fiktif yang bercita-cita mengembalikan alam pada ekuilibrium sempurna dengan memusnahkan sebagian besar populasi manusia, orang Sukabumi tentu hanya dipandang sebagai virus yang harus dikarantina, hanya penyakit yang mengakibatkan pemanasan global. Namun tidak demikian, konstelasi alam tidak sesederhana dan harus seimbang seperti pikiran Thanos. Keseimbangan sempurna di alam justru akan memunculkan kemandekan dan keterhentian gerak, waktu, dan kecepatan.

Manusia Sukabumi sudah selayaknya menyadari peran dirinya sebagai para khalifah, penerus pelestari, penjaga, dan relawan ketertataan alam. Ide cerdas dalil tentang khalifah di dalam Al-Quran sama sekali tidak berkaitan dengan entitas “politik” yang justru sering menempatkan manusia pada kutub yang berseberangan dengan kata khilafah yaitu imamah (selalu harus terdepan, tercitrakan, terfoto, dan terdokumentasi).

Konsep harus selalu berada di barisan depan dalam bentuk senioritas dan merasa “pinunjul” justru diperlihatkan oleh Iblis. Hanya saja, antara kesombongan dan merasa diri tak harus selalu terlihat memang berbeda tipis. Adam dan Iblis bukan Angels and Demons seperti dalam novel Dan Brown. Manusia justru ditempatkan sebagai subjek yang harus menentukan pilihan baik atau jahat. Atau dapat saja menjadi kelompok munafik, menganggap diri sebagai pelaku kebaikan, merasa telah menata alam dan lingkungan, padahal di balik itu dipenuhi ambisi yang merusak sekaligus rakus.[ ]

Posting Komentar untuk "Manusia Sukabumi Sebagai Khalifah"