Sepak bola dan olahraga lainnya memang hadir untuk mengoyak primordialisme, fanatisme sempit, rasisme, etnosentrisme, dan chauvinisme.
KOMPAS.ID
Diego Maradona memperlihatkan trofi Piala Dunia ke puluhan ribu suporter setelah Argentina menang 3-2 atas Jerman Barat pada pertandingan final Piala Dunia di Stadion Azteca di Mexico City, Meksiko (29/6/1986).
Putaran final Piala Dunia akan digelar dua pekan ke depan. Sebagai salah satu perhelatan akbar yang telah mampu menghipnotis milyaran manusia sejak pascaperang dunia, world cup dapat menjadi katalisator peredam konflik identitas dalam waktu sesaat (satu bulan).
Sepak bola, tidak jauh berbeda dengan olahraga dan kegiatan lainnya, tetap memiliki dua sisi mata uang. Sepak bola dapat menjadi pengingat bagi para pemain dan penggemar bola betapa penting sportivitas dijunjung tinggi, betapa harus sikap rasis dinihilkan, dan tak diperkenankan simbol-simbol primordial -kecuali semangat kebanggsaan- merajai lapangan permainan.
Warga Liverpool dan penggemar The Red tak pernah larut dalam sikap dan pikiran primordial dalam diri mereka saat memandang Mo Salah sebagai penganut muslim yang taat dari Mesir. Sebaliknya, orang-orang Indonesia yang muslim jarang menyoal keyakinan Messi dan Ronaldo kendati kedua pemain sepak bola ini menganut Katolik.
Entitas primordial lain seperti ras dan etnis memang pernah menjadi hal paling mengeringan diperlihatkan oleh para pemain dan penonton sepak bola beberapa tahun lalu. Perundungan ini lebih banyak ditujukan kepada para pemain asal Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Kejadian ini mengharuskan organisasi sepak bola dunia (FIFA) mengeluarkan regulasi yang cukup keras agar sepak bola benar-benar terbebas dari sikap rasis.
Dengan bahasa sederhana, sebetulnya sudah tidak ada tempat lagi bagi rasisme di dalam dunia ini kecuali masih dipegang teguh oleh kelompok ultra dan ekstrim yang memiliki pandangan sempit saat melihat dunia meskipun dipenuhi oleh ragam perspektif. Pada perhelatan piala dunia di Afrika Selatan, lagu K’Naan berjudul Wavin Flag dijadikan lagu resmi piala dunia karena salah mengangkat isu sportivitas dan kebebasan daripada mengedepankan sikap rasis.
Menyambut Piala Dunia 2022
Putaran final Piala Dunia 2022 dapat dikatakan akan lebih meriah karena diselenggarakan setelah dunia menghadapi pandemi Covid-19. Dua tahun lalu, putaran piala Eropa harus diselenggarakan tidak tepat waktu karena ada larangan melakukan kegiatan apa pun di masa pandemi. Dari beberapa catatan yang saya baca, perhelatan akbar piala Eropa tahun 2020 dialihkan ke tahun 2021 berimbas pada rasa hambar dalam setiap pertandingan.Kendati demikian, penyelenggaraan putaran final sepak bola bagi masyarakat penggemar sepak bola di Indonesia tetap tidak berpengaruh secara signifikan apalagi harus melewatkan pertandingan. Dalam situasi dan kondisi apapun, penggemar sepak bola Indonesia tetap memperlihatkan antusias tinggi. Situasi ini menjadi salah satu alasan, klub dan kesebelasan besar sepak bola dunia melirik Indonesia agar memberikan dukungan kepada mereka. Bukan hal aneh jika ada seorang pendukung fanatik kesebelasan dalam negeri sekaligus menjadi supporter gila kesebelasan luar negeri.
Peralihan pemasangan receiver analog ke digital oleh masyarakat menjadi fenomena tersendiri beberapa bulan terakhir. Masyarakat harus memiliki receiver digital agar mereka dapat menyaksikan perhelatan putaran final piana dunia 2022. Penjualan receiver digital mengalami peningkatan signifikan selama enam bulan ini.
Orang Indonesia tidak dapat disebut “komunitas aneh” hanya karena menaruh antusiasme terhadap setiap perhelatan putaran final Piala Dunia meskipun kesebelasan Indonesia tidak pernah masuk putaran final ini. Sepak bola dan olahraga lainnya memang hadir untuk mengoyak primordialisme, fanatisme sempit, rasisme, etnosentrisme, dan chauvinisme.
Orang Indonesia dapat menonton pertandingan putaran final piala dunia 2022 di rumah-rumah mereka sambil menikmati secangkir kopi. Bahkan sebagian besar dari mereka dapat dengan leluasa bertindak sebagai para komentator bola sambil bersungut-sungut mengomeli para pesepak bola yang bermain tidak bagus. Mengomeli wasit dengan ujaran kotor pun sering diperlihatkan oleh para penonton di rumah-rumah mereka.
Posting Komentar untuk "Menjelang Putaran Final Piala Dunia 2022"