Kota yang Egois, Desa yang Menangis



Mengembalikan pentas kehidupan ke satu abad lalu, jumlah dan ukuran kota tidak mungkin sebanding dengan keberadaan desa. Desa sebagai pengampu masyarakat komunal memiliki ukuran lebih besar daripada kota. Misalnya, Cikole di Kota Sukabumi saja hanya dapat diibaratkan dengan sebuah ceruk yang dikelilingi oleh desa-desa di sekitarnya.

Namun, sejarah tidak akan pernah mampu mengelak bahwa kota memiliki kekuatan seperti serbuan virus-virus yang mampu menularkan segala pengaruhnya ke wilayah perbatasan. Daerah peripheral sebagai batas kasat mata antara kota dan desa pada akhirnya dipaksa untuk mengikuti sosial dan kultural masyarakat perkotaan. Mengimitasi perilaku masyarakat kota sudah lazim diawali dengan mengakui bahwa cara hidup yang “mengota” lebih baik dan sering dipandang sesuai dengan kemajuan dan serta perkembangan zaman.

Walhasil, sejak fajar sejarah memperkenalkan sebutan polis untuk kota berukuran kecil di Yunani, sampai penghujung tahun 2022 ini wilayah-wilayah yang pernah dinamai sebagai rural perdesaan kini telah disejajarkan dengan kota-kota lain mulai dari cara hidup, ketersediaan fasilitas, dan piranti lainnya sebagai standar baku suatu wilayah disebut perkotaan.

Kendati judul di atas terlihat provokatif, namun realitas yang terjadi saat ini memang seperti itu adanya. Kita tidak dapat menafikan kultur sosial perkotaan identic dengan individualistic narsistik yang mengarah pada tindakan egois. Budaya dan tradisi yang hilang di perdesaan sangat jarang ditemui di alam perkotaan yang sudah mengabaikan relasi hati dan perasaan. Kota lebih menuntut masyarakatnya untuk hidup dalam kerangka transaksi, segala hal harus dapat diuangkan. Dulu sekali, desa tidak pernah mengenal kalau membantu merehabilitasi rumah seorang penduduk harus diberi upah. Saat ini, virus perkotaan telah menular secara perlahan, desa yang terkontaminasi korosi perkotaan sudah mulai membiasakan diri dalam lingkungan pragmatis.

Orang kota dan desa tidak pernah menampik bahwa mereka hidup di atas permukaan tanah. Namun, kecenderungan untuk menafikan lahan-lahan terbuka yang dapat menyerap air hujan menjadi ciri utama masyarakat perkotaan. Kita dapat menyaksikan sendiri, 90 persen pemukiman di perkotaan merupakan susunan beton, aspal, tembok, paving block, dan material keras yang tidak mungkin ditembus oleh air.

Pengaruh betonisasi secara perlahan merangsak mengalir ke wilayah-wilayah perdesaan. Masyarakat perdesaan yang telah biasa kaki mereka berinteraksi secara langsung dengan tanah dalam waktu lama kini dipaksa harus menginjak material keras bernama rabat beton. Pematang sawah hanya dilalui oleh orang-orang tertentu saja. Bahwa di beberapa wilayah, pematang sawah saat ini sudah mulai dirabat beton dengan alasan agar dapat dilalui oleh siapapun dengan tanpa mengotori kaki.

Batas yang Semakin Absurd

Absurditas tidak mengenal batasan dan tidak dapat diformulasikan secara definitive. Begitupun dengan batas antara kota dan desa, ia mengalami absurditas ketidakpastian, seperti apa batas nyata desa dan kota. Sampai penghujung tahun 90-an, masyarakat di Sukabumi mengenal dengan pasti batas kota dan desa dipisahkan oleh dua buah gapura besar, misalnya tugu perbatasan di Jalan Pelabuan Begeg memisahkan secara administratif wilayah Kotamadya dan Kabupaten Sukabumi. Batas ini tidak sekadar memiliki spectrum fisik berbentuk tugu, juga sebagai pembeda kultural antara masyarakat yang tinggal di wilayah sebelah utara tugu dengan masyarakat yang hidup di bagian selatan tugu.

Wilayah-wilayah sebelah selatan tugu batas kota seperti Cipanengah, Sindangsari, Balandongan, dan perkampungan lainnya sampai akhir tahun 90-an belum mengenal komodifikasi dan pamer harta. Masyarakat perkampungan lebih memilih keyakinan orang yang memiliki lahan garapan luas lah yang dapat menyelamatkan generasi dan umat manusia. Mereka tidak pernah memperdulikan ruang privasi yang disekat oleh betonisasi atau halaman dipagari dengan besi. Keakraban dengan alam mengharuskan mereka lebih memilih tanaman dijadikan pagar, menyediakan lahan terbuka di depan rumah, dan menghias bagian belakang rumah dengan pepohonan tingkat tinggi.

Areal persawahan menghampar luas menjadi pentas permainan anak-anak setelah padi dituai di musim panen. Asap jerami yang dibakar menambah kuatnya rasa dan ikatan kosmologis antara alam dengan diri manusia. Permainan anak-anak selama satu bulan di musim kemarau semakin mendekatkan koneksi jiwa mereka dengan alam, kaki tanpa alas bersentuhan langsung dengan tanah persawahan, tangan anak-anak terbiasa menyentuh ikan-ikan di sungai dan belut di rawa-rawa. Dalam situasi seperti ini, orang kota juga sering merasa iri dengan kehidupan orang-orang desa, tanpa perlu melakukan komodifikasi pamer kemewahan toh mereka tetap berbahagia.

Denyut nadi orang-orang desa merupakan wujud ideal yang pernah dibayangkan oleh para filsuf. Terjadi penyatuan antara kekuatan mitologis dan kosmologis. Desa masih tidak memerlukan seperangkat hukum positif dan piranti kehidupan bernama undang-undang karena telah memiliki aturan tidak tertulis yang lebih mudah dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Segala permasalahan mampu diselesaikan melalui nalar permusyawaratan kekeluargaan. Tak pernah menampilkan tindakan egois apalagi mengambil langkah mengadu domba warisan kaum kolonial.

Absurditas batas kota dan desa di era modern mulai mengejawantah ketika nilai-nilai perkotaan secara leluasa memasuki wilayah perkotaan. Dengan membawa data-data kemajuan dan teknologi, orang-orang perdesaan mulai membuka diri dan menerima piranti dan pikiran cara kota. Istilah kampungan akan disematkan kepada orang-orang kota yang bersikap seperti orang kampung. Dalam batas ini, orang kampung diposisikan dalam konotasi negatif. Hal ini pernah dialamatkan dan dialami oleh orang-orang dari Pajampangan ketika kata “jampang” dialamatkan kepada orang-orang kota yang bersikap layaknya orang kampung.

Di sisi lain, orang kampung tidak merasa harus malu ketika mereka mempraktikkan cara-cara orang kota bertindak. Hal ini disebabkan oleh pandangan tidak tepat bahwa cara hidup kota selaras dengan kemajuan. Lantas rata-rata orang kampung melepaskan ikatan norma desa dan secara sukarela memasukkan diri mereka dalam ingar-bingar kota sambil merasa bangga telah menjadi bagian orang kota secara kultural.

Dalam pandangan para ahli sosial, memang tidak ada kaitan signifikan antara kemajuan dengan lingkungan perkotaan. Kota justru sering menampilkan egoismenya di hadapan perkampungan yang harus mereka hisap sampai menyerahkan segala potensinya agar menjelma menjadi sosok kota satelit yang dapat ditukar melalui jalur transaksi. Orang desa tidak pernah mengenal segala pekerjaan untuk kebaikan bersama harus dibayar jika orang-orang kota tidak memberikan amplop dan uang pengganti transportasi dalam rapat-rapat di kantor desa.

Hingga, desa mengalami degradasi kultural setelah mengadopsi piranti lunak dan perangkat keras perkotaan. Pengajian di masjid-mesjid perkampungan yang semula sebatas membahas hal normatif tentang agama kini sudah terbiasa menyajikan informasi-informasi yang tidak diperlukan oleh masyarakat perdesaan misalnya; hubungan antara Negara dengan agama. Obrolan di warung kopi sudah tidak lagi membahas bagaimana cara mereka meningkatkan kuantitas hasil panen, melainkan telah beralih pada pembahasan saham dan moneter skala nasional.

Orang desa memang mudah dipengaruhi oleh apa-apa yang mereka anggap maju jika tidak mengembalikan diri mereka pada kenyataan masa lalu. Cara hidup desa justru telah menyelamatkan manusia dari kepunahan. Manusia sejak awal mereka menempati planet Bumi hingga akhir zaman nanti sudah pasti lebih membutuhkan sumber pangan yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan daripada harus mengonsumsi semen dan beton. Kesadaran seperti ini justru telah hilang dalam diri kita. Orang-orang seharusnya menyadari ini sebelum mereka menangis karena kehilangan segala potensi yang diremas secara perlahan oleh egoisme perkotaan.

Posting Komentar untuk "Kota yang Egois, Desa yang Menangis"