Perjalanan Pulang

Alam Tatar Sunda

Mungkin ucapan nenek -sekitar tiga dekade lalu ada benarnya- ketika mengatakan, orang-orang beruntung adalah mereka yang telah mengetahui kapan waktu dan kemana jalan pulang. Sepintas hanya kalimat lugas, dengan tanpa memberi interpretasi bermacam-macam juga semua orang sudah pada mafhum, orang yang mengenal jalan pulang adalah mereka yang “tidak linglung”.

Lebih jauh lagi dapat ditambahkan, orang yang telah mengenal jalan pulang adalah dia yang tidak akan banyak mampir di tempat-tempat tertentu, dalam Bahasa Sunda dikatakan “henteu pungkal-pengkol”.

Terhadap pemberian makna lugas “jalan pulang”, dapat dipastikan setiap orang pernah mengalaminya. Apalagi orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap, tempat kerja tetap, dan pernah mengalami fase keberangkatan. Hampir setiap hari dari Senin ke Senin lagi, semua manusia pernah mengalami situasi pergi dan pulang. Bahkan, dapat dipastikan, semua manusia tahu persis ke mana mereka harus pulang, meskipun bagi orang-orang yang ada di rumah kepulangan kita dianggap terlambat.

Hanya saja, ucapan nenek kepada saya seperti sebuah pikiran bersayap. Tidak selalu dapat diberi makna lugas atau makna kamus. Spektrum dan dimensinya dapat beragam dan bercabang serta mengandung metafora perumpamaan. Apalagi kalimat tersebut diucapkan oleh nenek tepat satu minggu sebelum meninggal. Pertanda seperti ini baru saya sadari setelah nenek menghembuskan nafas terakhirnya.

Manusia paling beruntung adalah mereka yang telah mengetahui kapan waktu dan kemana harus pulang. Artinya, manusia-manusia yang menyadari keberadaan dirinya dan eksistensi di luar dirinya yang benar-benar beruntung. Manusia-manusia seperti ini mampu menghadirkan dirinya pada situasi yang tepat dan berada di waktu yang tepat.

Ketika sedang duduk sendirian, manusia seperti ini benar-benar menyadari dan menempatkan dirinya sendiri secara utuh, jiwa, raga, rasio, dan emosi benar-benar hadir bersamaan. Keutuhan ini tidak mengalami friksi dan perpecahan.

Kita mungkin selalu mengalami kondisi: badan ada di satu tempat, sedang menduduki sebuah sofa empuk, tetapi pikiran berkelana ke tempat-tempat yang jauh. Situasi ini tidak berbeda dengan terma “khusu” ketika sedang mendirikan salat bagi umat Islam. Untuk mencapai derajat seperti ini memang sangat sulit.

Misalnya, ketika sedang menunaikan salat, badan kita memang mempraktikkan kaifiyat atau tata cara salat, namun dalam diri kita terus melahirkan kecamuk, pikiran yang sulit terkontrol. Termasuk saya sendiri, sering mengalami situasi ini, dan memang menurut ucapan nenek tadi, mungkin saya belum dapat mendapatkan sebutan atau menjadi bagian dari manusia paling beruntung.

Apa yang menjadi alasan kalau orang-orang yang mampu mengumpulkan jiwa, raga, pikiran, dan emosinya dalam satu tempat dan satu waktu dikatakan sebagai ciri manusia yang telah mengenal jalan pulang? Pertama, manusia seperti ini selain jarang secara kuantitatif juga memiliki beberapa tingkatan. Karakter utama alam memang demikian, jumlah manusia yang beruntung tidak selalu lebih banyak dari manusia yang mengalami kerugian.

Seorang pegawai meskipun dia telah menerima upah atau insentif dari pekerjaannya namun masih sering mengeluh entah terhadap besar uang yang diterimanya hanya karena memiliki pikiran apa yang menjadi hak tidak sebanding dengan beban kewajiban yang telah dikerjakannya. Meskipun telah menerima insentif lebih besar jika dibandingkan dengan upah tukang atau buruh, tetap saja pegawai ini mengalami kerugian.

Jumlah para pegawai, buruh,karyawan, dan bahkan guru seperti ini sudah tentu lebih mendominasi dunia saat ini daripada manusia yang selalu merasa cukup dengan apa yang diterima saat ini. Dalam hal ini saya sebenarnya sedang menunjuk diri sendiri.

Kedua, kesadaran dan menjadi manusia sadar memang tidak mudah. Sesuai dengan kata “sadar” berasal dari Bahasa Arab: shadara, berjiwa lapang dan berbesar hati. Menjadi manusia sadar dan berlapang dada merupakan syarat pertama manusia-manusia jaman dulu diangkat menjadi nabi atau pembawa kabar baik.

Tanpa kualitas seperti ini, saya pikir, kita tidak akan pernah mengenal keberagaman keyakinan. Jika saja manusia-manusia seperti Ibrahim, Ghautama, Musa, Isa, dan Muhammad tidak mencapai kualitas sebagai manusia sadar, saat ini kita tidak akan pernah mengenal agama-agama yang kita saksikan.

Manusia-manusia yang telah memformulasikan jalan hidup dan memberikan rambu-rambu yang tepat bagi manusia lain dan generasi berikutnya memang tidak berbeda dengan kita sebagai manusia jika dipandang secara kasat mata. Tetapi mereka adalah manusia-manusia yang telah mengenal jalan pulang dan kapan saat yang tepat untuk pulang menghadap kepada Tuhan.

Sepanjang hidupnya, manusia-manusia seperti mereka tidak pernah mudah terbuai oleh pesona dan fenomena yang muncul sepanjang perjalanan. Maka, manusia-manusia seperti ini telah dipandang sebagai orang “gila” orang mayoritas manusia pada masanya. Jika saja, Musa atau Moses menerima tawaran Ramses menjadi seorang pejabat kerajaan, orang-orang Yahudi akan mengalihkan harapan kedatangan “juru selamat” kepada orang lain. Atau jika saja Nabi Muhammad saat ditawari kedudukan oleh para pemuka Quraisy menerimanya, sudah dipastikan nama Muhammad tidak akan pernah sampai kepada kita.

Kesadaran inilah yang telah menjadikan mereka sebagai manusia yang benar-benar kokoh dan tangguh, mengenal persis kedudukan dan posisi mereka sedang berada di mana. Contoh ideal yang memang tidak akan pernah atau sangat sulit kita tiru meskipun -misalnya bagi umat Islam- selalu digemakan kalimat: “ Penyelenggaraan muludan dilakukan untuk meneladani Rasulullah”.

Kita memang sangat sering mengungkapkan dan mendengarkan kalimat seperti ini. Atau ada juga sebuah kelompok yang memandang dirinya telah mempraktikkan apa yang telah diperbuat oleh Nabi Muhammad, hanya sebatas pada wilayah yang mereka anggap itulah yang paling benar, belum menyentuh wilayah kebenaran sejati dan hakiki.

Para nabi dan leluhur kita tidak pernah mempraktikkan sikap “merasa paling benar” melainkan selalu merasa masih jauh dari sikap para pendahulunya. Ini menunjukkan sebuah kesadaran bahwa keberadaan mereka dengan para pendahulunya memang terpaut ratusan sampai ribuan tahun.

“ Perjalanan Pulang” dalam dunia sufistik merupakan sebuah metafora mengenai kehidupan manusia di dunia ini. Seringkali dijumpai, terjadi penafsiran yang saling berseberangan antara diri kita dengan manusia-manusia yang telah mengenal kapan dan kemana mereka akan berpulang.

Sebagai contoh, kita memandang kehidupan di dunia hanya sekali, hanya sebuah lintas pendek, atas alasan itu kita dengan sangat terpaksa mengejar berbagai hal yang dipandang dapat mengisi kehidupan yang pendek. Bukan sekadar dalam aspek-aspek materi, termasuk di dalamnya memuat apa yang kita pandang sebagai kebaikan. Bagi manusia yang telah menerima pencerahan dan mengenal jalan pulang, perjalanan di lorong kesemestaan merupakan perjalanan panjang, tanpa berkesudahan. Setiap manusia akan merasakan kondisi dan situasi yang terus berubah sebagai bentuk tempaan agar kelas manusia dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci.

Di sepanjang perjalanan pulang, manusia-manusia seperti kita selalu menemui kesulitan menolak dan melenyapkan penafsiran terhadap berbagai hal. Kita sering mengalami kesulitan mengedepankan sikap netralitas dalam menilai segala sesuatu. Sesekali kita melihat “banjir di jalan”, secara reflek otak di kepala kita mengurai data-data tersebut dengan penafsiran: “pembangunan gorong-gorong yang salah kaprah!”. “Wujud egoisme kaum urban!” Dan penilaian lainnya yang bersifat sensasi sesaat.

Manusia yang telah mengenal jalan pulang akan melalui jalan yang digenangi oleh air dengan tanpa memberikan penilaian apa pun. Banjir tetaplah banjir, diberi penilaian atau tidak pun akan tetap begitu. Mereka memandang segala sesuatu yang ada di sekitar sebagai hal yang sedang dialami dan lumrah terjadi. Tanpa memberikan penilaian baik dan buruk. Andai belum sampai pada tahap seperti ini, mereka hanya memberikan penilaian “baik” terhadap setiap peristiwa.

Saya dan anda mungkin belum sampai pada tahap ini. Kita hanya sekumpulan manusia yang masih senang bermain-main di dalam kehidupan yang kita pandang singkat namun begitu kerasan untuk ditempati, hingga enggan meninggalkannya. Dalam menilai segala sesuatu pun, sebagai manusia yang bersifat kenakan-kanakan, kita sering mengedepankan pandangan paradoks.

Posting Komentar untuk "Perjalanan Pulang"