Opini dengan judul “Pusaka Bumi Pajajaran” dimuat oleh harian Radar Sukabumi pada tahun 2017. Salah satu tajuk utama di dalam opini tersebut yaitu peristiwa gempa bumi (lini) yang pernah melanda wilayah Sukabumi dan sekitarnya pada abad ke 17.
Sesar (fault) Cimandiri mengalami pergerakan dan telah mengakibatkan kenampakan alam baru, misalnya sebuah telaga besar di selatan Situmekar surut karena tebing bagian barat terbelah. Wilayah yang dulu merupakan sebuah telaga besar ini, kini telah berubah menjadi areal persawahan yang diapit oleh dua kampung; Tegal Jambu dan Cipanengah Hilir.
Andai saja, peristiwa gempa ini tidak terjadi saat itu, di masa sekarang kita benar-benar dapat menyaksikan sebuah situ indah di sana, bukan hanya sekadar mengenal sebuah perumahan bernama Situendah saja. Atau, tanpa ada peristiwa gempa bumi pada jaman itu, masyarakat Bojongloa modern mungkin akan menyaksikan keindahan sebuah tempat di sebelah Barat merupakan telaga-telaga kecil, saat sore musim kemarau akan menghasilkan pemandangan alam sangat indah. Walakin, kenampakan alam seperti ini tidak dapat dinikmati oleh generasi sekarang setelah wilayah Sukabumi diguncang oleh gempa berkekuatan besar, tepat setelah 50 tahun keruntuhan kerajaan Pajajaran.
Para ahli pikir dan cerdik pandai telah melakukan penghitungan terhadap umur alam semesta. Sejak ledakan dahsyat bernama Big Bang sampai saat ini usia alam semesta diperkirakan telah menginjak 13,8 miliar tahun. Sebuah lini masa yang sangat panjang jika waktu yang digunakan oleh kita tanpa mengindahkan relativitas Einstein. Para ahli pikir dapat mengalkulasikan umur alam semesta bukan berarti mereka memiliki kemampuan kembali ke masa lampau, melainkan melalui sejumlah penelitian terhadap jejak-jejak peristiwa masa lalu yang dihadirkan melalui kenampakan alam.
Sejauh bentangan lini masa ini, manusia hanya setitik noktah, hanya merupakan atom bahkan mungkin lebih tepat disebut “Quark” hal yang lebih kecil dari atom. Kendati demikian, rentang masa sejak kelahiran manusia di Planet Bumi, alam dan kehidupan telah membeli pelajaran bagi manusia untuk terus bersikap dan bertindak dewasa, hingga manusia pada salah satu pentas sejarah telah mengeklaim dirinya sebagai penjaga mutlak alam atau khalifah.
Jejak masa lalu peristiwa alam masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Dapat saja saya asumsikan, saat terjadi gempa besar pada tahun 1699 M di Sukabumi, mayoritas manusia saat itu menghubungkan gempa bumi dengan mitos atau kisah-kisah nir-realitas. Manusia Sukabumi saat itu dapat saja berasumsi, gempa bumi saat itu disebabkan oleh amarah atau murka Tuhan atau dihubungkan dengan pertanda lain, misalnya keruntuhan kerajaan Pajajaran dan mulai merangseknya imperialisasi oleh bangsa Eropa.
Pandangan di atas telah menghasilkan cara berpikir baru, misalnya, sampai era generasi baby boomers dan generasi X ungkapan “endog lini” masih dituturkan oleh orang-orang saat itu. Ungkapan “endog lini” sebenarnya merujuk pada lempeng atau sesar (fault).
Hanya saja, manusia Sukabumi dan orang-orang Nusantara saat itu bukan hanya menilai segala kejadian dengan pendekatan mitos. Peristiwa alam telah memberi pelajaran penting bagi mereka untuk merespon setiap peristiwa dengan tindakan nyata. Arsitektur bangunan Sunda dengan rumah panggungnya menginformasikan kepada kita bahwa hanya dengan bangunan seperti inilah dampak buruk dari gempa bumi dapat diminimalisasi. Jadi, para leluhur kita membuat rumah panggung dari bambu, atap dari ijuk, merupakan tindakan preventif mereka dalam membaca kemungkinan-kemungkinan gejala alam yang terjadi di wilayah yang dilalui oleh sirkum pasifik.
Oleh kita saat ini, hasil karya leluhur atau nenek moyang tersebut sering dikatakan tradisional bahkan sejak era reformasi, bangunan berbentuk rumah panggung dikategorikan sebagai bangunan tidak layak huni (rumah tidak layak huni). Karena ukuran kelayakan hunian manusia modern adalah bangunan permanen, terbuat dari tembok dan beton. Lebih jauh lagi, ukuran dan standar kelayakan hunian selalu merujuk pada arsitektur Eropa, tentu saja memiliki akar historis berbeda antara bangsa kita dengan Eropa dalam membuat bangunan.
Bangsa Eropa membuat bangunan permanen dan kokoh seperti benteng pertahanan dan kastil-kastil besar sebagai sikap mereka dalam merespon peristiwa masa lalu. Eropa merupakan tempat yang sangat ekstrem dari berbagai bidang, kekurangan sumber makanan pada musim dingin yang lembab berdampak pada hal lain yang telah menjadi karakter manusia.
Sekelompok manusia ingin mempertahankan hidupnya, untuk menghasilkan energi pada tubuh mereka melakukan tindakan primitif seperti mencuri atau menyerang komunitas komunal lain yang memiliki cadangan pangan. Untuk menghindari serangan dari komunitas lain, para petani dan kelompok komunal yang memiliki sumber cadangan makanan membentengi pemukiman dengan batu, pada perkembangan berikutnya membuat rumah dan peristirahatan mereka dari tembok dan susunan bebatuan.
Alam tatar Sunda tidak memiliki iklim yang ekstrem. Sumber daya alam selalu melimpah setiap waktu. Namun, kondisi alam seperti ini bukan tanpa ancaman, gunung-gunung aktif hampir ditemui di setiap pulau, oleh karenanya, leluhur nusantara mengantisipasinya dengan membuat bangunan tahan gempa,rumah panggung, bangunan dengan fondasi yang tidak sepenuhnya bersentuhan langsung dengan tanah.
Kalkulasi para leluhur tentang getaran dan resonansi telah sampai pada perhitungan matang. Bukan hanya hunian dan perumahan, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga lebih banyak membangun istana dan keraton dari bambu dan kayu. Atas alasan itulah, kita seolah kehilangan jejak terkait sisa-sisa atau peninggalan kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara dalam bentuk bangunan.
Romantisme Bangsa Kita
Romantisme atau merasa bangga terhadap masa keemasan leluhur diperlihatkan oleh kita hanya pada sebatas mewacanakan hal-hal yang bersentuhan dengan mitos semata tanpa mau mengikuti tindakan rasional para leluhur dalam merespon setiap peristiwa alam. Satu dekade setelah reformasi, pikiran romantik orang-orang Sunda terlihat saat membanggakan peradaban masa lalu Lemuria dan Sundaland tanpa mau mendalami lini masa dan bentangan peristiwa selama miliaran tahun. Kita hanya cukup bangga bahwa peradaban tertua di dunia ada di sekitar kita, tanpa perlu penjelasan secara ilmiah karena telah diteliti oleh seorang profesor dari Brasilia. Sikap seperti ini bukan tidak baik, namun merasa bangga dengan kejayaan masa lalu yang tidak pernah kita teliti sendiri menjadi pemantik bagi orang-orang Sunda untuk enggan berpikir kritis.
Empat tahun setelah reformasi, di berbagai ruang obrolan (saat itu Yahoo Messenger) mulai menyebar romantisme kaku dalam bentuk penyebaran naskah yang diklaim berasal dari wasiat terakhir Prabu Siliwangi. Entah dari mana awalnya, naskah dengan judul besar “Uga Wangsit Siliwangi” menyebar dan dibaca oleh orang-orang Sunda sebagai ramalan profetik kebenaran peristiwa-peristiwa modern. Naskah ini sendiri sebenarnya menggunakan bahasa Sunda modern, dan pengarang naskah menggunakan sudut pandang orang ketiga terhadap Prabu Siliwangi dan pasukan Pajajaran. Artinya, naskah-naskah seperti ini diproduksi bukan oleh pelaku peristiwa.
Naskah seperti ini kadung telah dipercaya oleh sebagian besar orang Sunda. Hingga saat ini, orang Sunda yang baru memasuki wilayah pemikiran kasundaan acap kali menjadikan Uga Wangsit Siliwangi sebagai naskah pusaka yang dijadikan pegangan. Padahal, lini masa dalam naskah ini hanya sampai pada jaman orde baru saja. Naskah tersebut tidak menuliskan secara utuh, lini masa peristiwa sampai ke masa sekarang. Dengan demikian, penulis naskah memang hidup pada masa orde baru, dengan tujuan membangkitkan kembali emosi kasundaan yang mengalami degradasi kebudayaan di masa kepemimpinan Soeharto dengan jargon: Kebudayaan Nasional-Nya.
Romantisme seperti di atas memang tidak sepenuhnya salah, hal baik dapat kita lihat dengan semakin maraknya orang Sunda yang ingin kembali kepada kasundaannya. Pencarian kembali budaya yang mereka yakini sebagai warisan karuhun dilakukan secara masif pada awal tahun 2005 hingga sekarang. Bahkan kasundaan sebagai kebudayaan juga pada kutub ekstrem telah ditempatkan sebagai sebuah keyakinan yang harus sejajar dengan agama-agama yang diakui oleh negara.
Birahi kebudayaan ini merupakan watak manusia yang ditransformasikan oleh alam. Hanya saja, acap kali budaya yang kita miliki sering dijadikan senjata dan tameng untuk menyerang budaya lainnya. Bukan budaya kasundaan yang santun dan ramah dipraktikkan, melainkan munculnya budaya kasar dalam versi kasundaan. Bagaimana pun, leluhur Sunda tidak pernah mengajarkan sikap dengki, iri, jail, kaniayaya, dan potensi negatif lainnya. Leluhur atau karuhun Sunda telah mengajari sikap: laer aisan, miindung ka waktu, mibapa ka jaman, dan bertindak tenang.
Tak dapat disangkal, kemunculan fenomena ini memang berbanding lurus dengan semakin merangsaknya penganut agama lain yang mengedepankan sikap ekstrem. Mereka sering berdalih dan menyudutkan tradisi leluhur sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, musyrik, haram dikerjakan. Kemunculan ekstrimis seperti ini sudah tentu mendapatkan perlawanan dari para pelaku tradisi yang tidak pernah memandang kalau perbuatan mereka seperti membuat sesaji dan membakar kemenyan sebagai perbuatan musyrik.
Kehadiran para ekstrimis yang membonceng agama ini telah merusak tatanan kehidupan karena mereka mengeklaim sebagai kelompok yang paling benar dan telah memosisikan sebagai penafsir tunggal terhadap keyakinan. Setali tiga uang, kelompok seperti ini memang tidak pernah mau belajar dari peristiwa sejarah, sekalipun mereka seperti mengenal ajaran yang langsung dari sumbernya. Nyata sekali bertolak belakang secara diametral dengan sikap para nabi dan rasul.
Leluhur Sunda telah mengajari bagaimana kita sebaiknya merespon setiap peristiwa sosial dan alam. Hanya saja, warisan atau pusaka ini sering kita abaikan, kita pandang tradisional, sering dinilai tidak sejalan dengan jaman. Secara tidak sadar, kita sebetulnya masih tetap menjadi imitasi bangsa lain dalam berbagai bidang kehidupan ketika bangsa lain tidak pernah mau tahu siapa diri kita ini.
Posting Komentar untuk "Pusaka Bumi Pajajaran dan Gempa"