Kaum urban atau masyarakat perkotaan memiliki tiga ruang, tempat mereka mengaktualisasikan, mengekspresikan, dan merekreasikan diri. Tempat tinggal sebagai hunian menjadi ruang pertama masyarakat perkotaan. Ruang ini bukan sekadar sebagai tempat tinggal, lebih tepat dikatakan sebagai tempat pulang.
Tempat kerja menjadi ruang kedua masyarakat urban, entah dalam bentuk perkantoran, pabrik, pertokoan, dan lingkungan lain yang dicirikan oleh hubungan transaksional. Masyarakat urban mengembangkan tindakan pragmatis di ruang ini. Alih-alih mengedepankan sikap sukarela, masyarakat urban dari berbagai latar belakang lebih banyak menunjukkan sikap pragmatis ketika berada di ruangan ini.
Ruang ketiga masyarakat urban merupakan tempat mereka merefleksikan dan mengekspresikan diri. Ruang ketiga masyarakat urban ini dapat berupa ruang publik alternatif yang dibangun oleh iklim sosial kultural. Ruang ketiga di wilayah perkotaan modern dapat berbentuk ruang publik terbuka, warung kopi, dan lesehan di pinggir jalan.
Keberadaan ruang publik alternatif masyarakat urban sebetulnya merupakan jawaban langsung terhadap ikatan kehidupan transaksional yang melelahkan, menguras tenaga, namun membuka peluang menghasilkan uang. Sebab bagaimana juga, ruang publik alternatif ini menyediakan hal-hal yang harus dibayar dengan uang. Namun masyarakat urban dapat memilih juga ruang publik murah meriah, misalnya di sentra olahraga yang disediakan oleh pemerintah, taman kota, dan pedestrian.
Sebenarnya, ruang publik alternatif juga dimiliki oleh masyarakat rural perdesaan, misalnya pos ronda dan halaman rumah. Hanya saja, ruang publik di wilayah perdesaan seolah dimiliki oleh masyarakat tertentu. Seorang anak kecil akan terlihat canggung jika mereka bermain atau berkumpul di pos ronda. Ruang publik alternatif ini akan ramai pada jam-jam tertentu saja.
Kehadiran ruang publik alternatif di wilayah perkotaan tidak muncul begitu saja. Kota merupakan tempat berkumpul dan berinteraksi orang-orang dari berbagai latar belakang. Secara genetika, manusia memang telah mewarisi kebiasaan yang telah dilakukan oleh leluhur mereka, berkumpul di satu tempat, bercengkerama, dan mengekspresikan kehadiran dirinya baik secara personal atau komunal.
Apa yang dilakukan oleh leluhur manusia puluhan ribu tahun lalu ketika mereka berkumpul, salah satunya, menghiasi perkumpulan dengan aneka penganan yang diletakkan di tengah-tengah sebuah perkumpulan, kemudian dilanjutkan dengan mengonsumsi makanan tersebut sambil bercengkrama. Kebiasaan ini berlanjut hingga sekarang baik dilakukan di lingkungan keluarga, masyarakat, atau komunitas yang lebih besar.
Kemunculan ruang publik alternatif perkotaan merupakan perkembangan dari keberadaan ruang publik sederhana yang telah dibangun dan digunakan oleh manusia pada generasi sebelumnya. Warung kopi dan café yang didirikan oleh manusia urban sebetulnya merupakan pengkreasian ulang dari kedai-kedai kopi masa lalu. Tempat persinggahan sementara para pelancong dan peziarah.
Bagi sebagian masyarakat perkotaan, ruang publik alternatif tetap saja dipandang sebagai tempat persinggahan sementara sebelum mereka kembali ke rumah. Sebuah ruang yang mereka anggap dapat menyegarkan diri setelah seharian menghadapi pekerjaan. Di ruang publik alternatif ini, masyarakat perkotaan secara perlahan membangun relasi dengan sesamanya.
Pengunjung baru sebuah warung kopi mungkin untuk pertama kalinya akan terlihat kikuk dan hambar. Namun setelah beberapa kali berkunjung, lambat-laun akan membangun relasi dengan pengunjung lainnya, dan saling mengenal satu sama lainnya.
Sukabumi adalah kota kecil karena dihuni oleh kurang dari 500 ribu jiwa penduduk. Ketersediaan ruang publik alternatif di kota ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk sebagai sebuah kota kecil. Tidak hanya ruang publik alternatif yang sarat dengan transaksional, Pemerintah Kota Sukabumi pun telah membangun ruang publik alternatif yang inklusi, terbuka bagi siapa saja, dan dapat dinikmati oleh siapapun.
Masyarakat perkotaan dapat memilih ruang-ruang publik alternatif yang ada di Kota Sukabumi sebagai tempat mengisi waktu luang dan mencurahkan ekspresi, keterbukaan, dan pandangan-pandangan mereka. Oleh karena itu, ruang publik yang telah dibangun oleh pemerintah harus direkayasa sebaik mungkin agar keberadaannya benar-benar sesuai dengan fungsi utama ruang publik yang ekspresif.
Kita mungkin akan mengalami kesulitan membandingkan ruang-ruang publik yang ada di kota-kota negara maju dengan ruang publik alternatif yang dibangun di negara-negara dunia ketiga. Pemerintah dan masyarakat urban di negara dunia ketiga seperti halnya Kota Sukabumi akan menemui kesulitan bagaimana mereka menciptakan ruang publik alternatif secara holistic dan terintegrasi.
Pedestrian sangat tidak mungkin bersatu secara integral dengan aktivitas perekonomian. Seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Sukabumi dengan melakukan relokasi para pedagang dari kawasan Pedestrian Jl. Ir. H. Juanda ke Jl. Dewi Sartika. Pemerintah Kota Sukabumi bukan tidak memperhatikan para pedagang, namun lebih memiliki bagaimana sebuah regulasi tentang kawasan ruang publik alternatif dapat direalisasikan dan saling bersesuaian.
Untuk menghadirkan ruang publik yang integral, terhubung satu sama lain, mulai dari aktivitas perekonomian, ruang ekspresi, dan ruang relasi dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung. Ketersediaan lahan, rencana penggunaan dan fungsi sebuah ruang publik, dan pengaturan tata ruang perkotaan yang tepat.
Bukan hanya pemerintah, sejumlah pelaku usaha juga mengalami kesulitan untuk mengembangkan ruang publik di luar ruangan. Kita mungkin pernah menyaksikan ruang publik di negara-negara maju dicirikan oleh kelengkapan fasilitas pendukungnya. Warung kopi dan café menyiapkan meja kursi di halaman toko dan sepanjang ruas jalan.
Silakan bayangkan, kita duduk di sana di suatu sore musim panas sambil menikmati secangkir kopi hangat dan membaca sebuah buku. Bahlan di ruang publik semacam ini, kita dapat saja membawa pekerjaan. Kemungkinan-kemungkinan ini dapat terwujud hanya karena didukung oleh fasilitas pendukung ruang publik alternatif; meja dan kursi.
Celakanya, masyarakat urban di negara-negara dunia ketika memang masih memerlukan penyadaran untuk memandang uang publik sebagai ruang bersama. Tidak menutup kemungkinan, ketika para pelaku usaha menyimpan meja dan kursi di ruang publik, dapat saja dicuri oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ya, itulah mentalitas masyarakat urban di kota negara dunia ketiga.
Selain memperhatikan aspek ruang, pembangunan ruang publik alternatif juga diharuskan memperhatikan publik itu sendiri. Membangun kesadaran bagaimana mereka sebaiknya memanfaatkan ruang publik alternatif yang tersedia, menjadikan ruang publik sebagai wahana ekspresi, interaksi, dan relasi.
Posting Komentar untuk "Ruang Publik Alternatif Kaum Urban"