Pak Amat Jualan Tomat, yang Beli Harus Hormat

Sumber Gambar: Grid.id

Judul di atas merupakan kutipan lirik lagu dolanan atau permainan anak-anak pada tahun 90-an. Lagu dolanan ini sudah tentu masih diingat oleh generasi X. Judul sebenarnya lagu ini yaitu Pak Camat Jualan Tomat. Peralihan kata dari Camat ke Amat patut diduga karena beberapa alasan. Pertama, lagu ini dikumandangkan oleh anak-anak, saat melafalkan camat karena sikap manja atau belum fasih dalam bertutur berubah menjadi Amat.

Kedua, sebagai bentuk sopan santun orang kampung kepada Pak Camat. Sebagaimana kita maklumi, era 90-an merupakan masa akhir kejayaan Orde Baru, situasi kehidupan di era sentralisasi mengharuskan seluruh rakyat benar-benar memperlihatkan sikap hormat kepada para pegawai negara dan abdi negara. Jangankan kepada seorang Camat, hatta kepada seorang hansip pun, rakyat harus memperlihatkan sikap hormat mereka.

Dalam struktur pemerintahan terpusat, seorang camat merupakan kepanjangan tangan pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah. Kepala daerah adalah kepanjangan tangan pemerintah provinsi atau gubernur, begitu seterusnya. Alurnya begitu hierarkis. Menyakiti dan mengolok-olok aparatur pemerintah paling bawah, si perundung akan didatangi oleh aparat keamanan, dibawa ke koramil kecamatan, kemudian diberikan sanksi sosial. Masih mending, pemerintah paling bawah dapat saja memberikan tuduhan kalau si pelaku merupakan antek-antek komunis. Aparat keamanan mengecapnya sebagai perongrong kedaulatan negara dan pengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Itulah jargon-jargon saat itu.

Saya bukan seorang ahli sejarah, walakin pernah mengalami masa kejayaan Soeharto bersama Orde Barunya. Mengingat saat itu masih kecil, saya tidak merasakan dampak dari sistem pemerintahan terpusat. Pokoknya, anak kecil jangan pernah mau tahu urusan politik, orang dewasa saja tidak diperkenankan memperbincangkan politik apalagi “budak anu masih nongtot lého” (anak ingusan). Semua anak pada era itu hanya tahu: harga-harga murah, ongkos angkot murah, SPP atau iuran sekolah juga murah. Kata murah dalam hal ini memang sangat relatif, uang lima rupiah pada saat itu bisa dikatakan lumayan besar jika dibandingkan dengan periode setelahnya.

Nah, perubahan penuturan dari kata Camat menjadi Amat ini mungkin disebabkan oleh alasan kedua di atas, bentuk penghormatan dan sopan santun masyarakat kepada pimpinan tingkat kecamatan saat itu. Tidak perlu kembali ke masa lalu atau menginginkan hidup di masa itu, untuk menunjukkan sikap hormat dan perilaku santun memang sudah seharusnya diberikan kepada orang-orang yang lebih tua baik umur atau kedudukannya. Masyarakat Timur dicirikan oleh hal ini, sopan santun mereka kepada orang yang lebih tua dan tinggi kedudukannya di mana dan kapanpun.

Sampai sistem pemerintahan berganti serta pernak-perniknya hilang di negara ini, jabatan camat untuk pimpinan tingkat kecamatan tetap akan digunakan. Jabatan ini akan hilang dengan syarat, Undang-Undang menginginkan jabatan camat dihilangkan dari muka bumi nusantara. Tidak berbeda dengan era sebelumnya, setiap camat diangkat oleh kepala daerah (Wali Kota atau Bupati). Berkewajiban menggerakkan roda pemerintahan tingkat kecamatan, menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan menggali swadaya murni masyarakat di kecamatan yang dipimpinnya. Paling tidak, seorang camat berkewajiban mewujudkan iklim dan situasi kondusif di wilayahnya.

Perbedaan antara era Orde Baru dengan masa reformasi terletak pada patriarki. Posisi camat pasti diisi oleh laki-laki di era Orde Baru. Pertimbangannya mungkin orde baru memandang seorang camat laki-laki akan lebih gesit dan cekatan dalam bekerja dan yang paling penting akan lebih mampu menciptakondisikan masyarakat setiap lima tahun sekali dalam memenangkan Golongan Karya.

Emansipasi perempuan belum menyentuh pada arus gender yang sering dikumandangkan oleh para pembela hak perempuan. Orde Baru masih percaya pada pandangan: lalaki mah panjang léngkahna (lelaki lebih agresif). Pemerintah dan masyarakat saat itu tidak bermaksud menempatkan posisi dan derajat kaum perempuan berada di bawah laki-laki. Kaum perempuan diberikan porsi yang tepat seperti bergerak di kegiatan kewanitaan (PKK, Posyandu, dan Pengajian Ibu-Ibu).

Jabatan camat di era reformasi sudah tidak lagi memperhatikan etika yang berlaku di masa orde baru. Etika era reformasi adalah etika modern, isu gender telah berkembang ke arah lain, tidak melulu mengupas persamaan hak, kewajiban, dan martabat perempuan, namun telah sampai pada tuntutan menempatkan perempuan pada bidang-bidang profesi yang dulu hanya dapat diisi oleh lelaki. Perempuan punya andil untuk menjadi apapun, menjadi kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati/wali kota, gubernur, hingga presiden.

Perempuan punya andil besar menduduki jabatan-jabatan strategis pemerintahan dari hulu ke hilir karena tidak ada perbedaan secara substansial antara kaum perempuan dengan lelaki. Kesetaraan gender berlaku di setiap bidang kehidupan. Daftar Calon Sementara dalam Pemilu akan dibatalkan jika tidak memuat keterwakilan sekurang-kurangnya 30% calon legislatif perempuan. Berarti, perempuan memiliki hak politik yang sama dengan lelaki.

Setelah reformasi jabatan camat banyak ditempati oleh kaum perempuan, seiring dengan lagu Pak Amat Jualan Tomat jarang lagi dikumandangkan oleh anak-anak generasi Y. Sebutan Bu Camat tidak lagi ditujukan kepada istri seorang Pak Camat tapi justru sebutan penghormatan (ameliorasi) kepada seorang camat perempuan. Di masa orde baru, masyarakat memang enggan berurusan dengan lembaga pemerintahan meskipun hanya di tingkat kecamatan, sekarang ini kantor desa, kantor kelurahan, kantor kecamatan, mungkin hingga istana negara sudah membuka pintu lebar-lebar demi alasan pelayanan maksimal kepada masyarakat.

Seorang camat dan pejabat lainnya tidak lagi diposisikan sebagai civil master melainkan telah menjadi civil servant atau abdi negara yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di satu sisi, masyarakat yang kurang puas dengan pelayanan dari pemerintah dapat melampiaskan kekesalannya secara langsung atau memposting status melalui berbagai platform media sosial. Pemerintah sendiri telah menyiapkan aplikasi pelaporan agar keluhan masyarakat tidak tercecer ke mana-mana melainkan memiliki saluran resmi untuk ditindaklanjuti dan dicarikan solusinya.

Kembali lagi pada lagu Pak Amat Jualan Tomat. Dalam diri kita saat ini, mungkin muncul pertanyaan: kenapa seorang camat atau orang bernama pak amat harus jualan tomat? Apa karena gaji dan tunjangan seorang camat di era Orde Baru terbilang rendah? Masa iya, camat seorang pejabat wilayah kecamatan mau-maunya jualan tomat? Tapi dilihat dari sisi kesederhanaan, camat yang berjualan tomat memang harus diteladani, seorang camat saja mau jualan tomat, masa masyarakat biasa harus mengedepankan sikap gengsi. Lirik lagu tidak berhenti sampai kalimat Pak Amat Jualan Tomat kemudian dilanjutkan dengan kalimat Yang Beli Harus Hormat. Karena yang berjualan tomat ini Pak Amat, maka siapapun yang membelinya harus menunjukkan sikap hormat.

Setelah Pak Amat Jualan Tomat, anak-anak era 90-an melanjutkannya pada bait berikut: Bu Siti Jualan Anting, Yang Beli Orang Sinting. Seorang ibu guru di sekolah dasar tempat saya belajar pernah membentak seorang murid saat melantunkan lirik ini hanya karena ibu guru ini bersama Siti. Kenapa Bu Siti harus marah? Karena profesi beliau bukan sebagai penjual anting melainkan seorang guru yang harus dihormati oleh murid-muridnya.

Apalagi si pembeli anting dalam lagu tersebut adalah orang sinting, mana mau bu guru Siti memiliki pelanggan atau murid orang gila dan kurang waras. Murid yang dimarahi oleh Bu Siti tidak berani melawan, dia hanya tertunduk. Andai saja dia sudah hidup di era reformasi, si murid kemungkinan besar akan menjawab: : "Ih.. ibu mah baperan!” Apalagi jika Bu Siti menjewer si murid, sudah dipastikan esok hari orangtua murid akan datang ke sekolah sambil memarahi Bu Siti dengan ucapan keras: “Guru sewot!”.

Maka, sesuai dengan perkembangan zaman, lagu dolanan Pak Amat Jualan Tomat pun sudah usang dan tidak lagi digemari oleh anak-anak sekarang. Dengan berakhirnya masa keemasan lagu ini, para camat  -mungkin saja- pernah melantunkannya hanya tersenyum simpul sambil mengembalikan kenangan masa lalu saat mereka masih anak-anak.

Posting Komentar untuk "Pak Amat Jualan Tomat, yang Beli Harus Hormat"