Dalam Suasana Imlek, Saya Mengunjungi Museum Tionghoa Soekaboemi



Perayaan tahun baru Imlek bukan hanya milik orang Tionghoa meskipun salah satu unsur budaya ini merupakan kreativitas mereka. Atas alasan itu, setiap orang berhak ikut merasakan kebahagiaan tahun baru Imlek sebagai bentuk empati atas kebahagiaan yang dirasakan oleh saudara kita, orang Tionghoa. Bagi orang Tionghoa sendiri, perayaan tahun baru Imlek serupa dengan diri kita saat merayakan perhelatan hari-hari besar baik keagamaan atau kenegaraan.

Dalam perayaannya pun selalu menghadirkan kemeriahan, suka cita, dan unsur lainnya agar semua orang larut dalam ledakan endorphin. Mengakui bahwa perayaan tahun baru imlek milik bersama, saya pikir tidak akan melukai perasaan orang Tionghoa selama perayaan orang lain tidak kita curi lantas diklaim sebagai budaya milik kita.

Sejak almarhum Gus Dur memberikan keleluasaan kepada orang Tionghoa dalam merayakan Imlek melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2001, budaya Tionghoa yang berkembang di negara ini menjadi lebih dekat dengan kita. Sebelumnya, budaya orang lain sering diasumsikan tidak sejalan dengan jati diri bangsa. Kecurigaan dan prasangka tidak hanya sampai pada budaya milik orang lain, malah menyentuh pada hal-hal yang lebih pokok dan genuine, kemanusiaan.

Sebelum kebijakan inklusif dan plural dicetuskan oleh mendiang Gus Dur, orang Tionghoa sulit berbaur dan membaur dengan kita di ruang-ruang publik, mereka tidak diberikan akses pada bidang politik, dan tidak diperkenankan memperlihatkan bentuk fisik kebudayaan azali mereka di hadapan khalayak.

Bagi orang Tionghoa, kondisi ini merupakan hal menyedihkan sekaligus menuai berkah. Selama tiga dekade, karena akses pada bidang lain sangat dibatasi, akhirnya memilih mengakses bidang ekonomi. Tak mengherankan, sebagian besar potensi perekonomian benar-benar dikuasai oleh orang Tionghoa. Deretan orang-orang terkaya di negara ini juga ditempati oleh orang Tionghoa.

Pluralisme menjadi gagasan penting Gus Dur untuk menuntaskan permasalahan sosial di negara ini. Gagasan ini telah mampu membuka lebar cakrawala berpikir sebagian besar warga negara terhadap arti pentingnya kesetaraan dakam hidup berbangsa dan bernegara. Beberapa kelompok menentang gagasan ini, rata-rata dilakukan oleh kelompok eksklusif yang sering memperlihatkan ide kebenaran tunggal dan tidak menghormati kehadiran ragam entitas dalam kehidupan bernegara. Saya memandang, ide inklusif Gus Dur justru sejalan dengan keyakinan yang dianut oleh mayoritas bangsa ini, Islam mengajarkan kebaikan bersama dan nilai-nilai universal.

Pesan penting Al-Quran tentang etnisitas begitu gamblang: manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal. Tajuk penting lainnya adalah tentang nilai-nilai kemanusiaan. Setiap keyakinan sudah pasti memusuhi tindakan dehumanisasi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Setiap tahun, setelah gagasan inklusif Gus Dur diterbitkan menjadi sebuah kebijakan, orang Tionghoa di negara ini sudah tidak perlu lagi khawatir dan takut saat merayakan Imlek. Kegiatan-kegiatan mereka dalam memeriahkan Imlek dapat dipentaskan di hadapan khalayak, dipublikasikan di berbagai media, bahkan dapat diikuti oleh seluruh warga. Sebelum reformasi, kita mungkin hanya dapat menyaksikan pertunjukan Barongsai melalui film-film mandarin, namun sampai saat ini, setiap anak negeri bisa menyaksikan pertunjukan Barongsai saat perayaan Imlek.

Lingkungan inklusif telah membuka pikiran betapa penting setiap warga negara mengaktualisasikan kebudayaan dan tradisinya kemudian menjalin kolaborasi dengan komunitas lain. Keragaman budaya dan tradisi yang diwujudkan di atas landasan kebangsaan ini semakin menambah kekayaan dan khazanah budaya kontemporer.

Masyarakat juga semakin cerdas dalam memahami perbedaan merupakan satu keniscayaan. Tidak ada yang perlu ditakutkan hanya karena satu sama lain memiliki perbedaan. Seperti halnya, pendirian Museum Tionghoa di Kota Sukabumi oleh teman saya, Kang Irman, menjadi salah satu bukti tentang kompromi positif antar komunitas menjadi landasan penting membangun keterbukaan terhadap keragaman budaya.

Harus diakui, keberadaan Museum Tionghoa merupakan hal baru di Kota Sukabumi, namun dapat menjadi pijakan dasar bagi setiap orang, apalagi para pecinta dan pelestari budaya, tentang kontribusi yang diberikan oleh orang Tionghoa terhadap kemandirian Kota Sukabumi. Museum Tionghoa juga bisa membawa imaji kita melampaui batas waktu hingga memberikan kesadaran baru, siapapun dapat ikut berperan membangun jenama yang baik tentang wilayahnya.

Beberapa hari lalu, saya diajak oleh Wakil Wali Kota Sukabumi, Bapak Andri Setiawan Hamami mengunjungi Museum Tionghoa Soekaboemi di Kompleks Danalaga Square. Museum ini terletak - kurang lebih 50 meter - di sebelah selatan Vihara Widhi Sakti. Sebagai pecinta sekaligus penikmat kebudayaan, saya tidak dapat menyembunyikan rasa senang saat mengunjungi Museum Tionghoa.

Di samping itu, sebagai orang yang konsen dalam mengamati budaya di Sukabumi, saya patut mengapresiasi Kang Irman dan orang-orang yang telah memperlihatkan langkah baru membangun kolaborasi positif di bidang budaya. Jujur, mewujudkan sebuah museum tematik seperti ini bukan perkara mudah, memerlukan dukungan penuh baik moral, finansial, juga konten material museum tersebut. Museum Tionghoa Soekaboemi telah menjadi etalase dan diorama kebudayaan orang Tionghoa Sukabumi yang dapat diakses dan dipelajari oleh siapa pun.

Saya perlu mengingatkan, kemelekatan diri kita (Orang Sunda) dengan etnis Tionghoa bukan sekadar pada wujud nampak permukaan saja. Sejarah memberikan cahaya pencerah bagi kita, migrasi atau eksodus leluhur bangsa deutro melayu dari Yunan di era aksial menjadi salah satu alasan adanya pertalian internal personal di dalam genetika diri kita dengan orang Tionghoa.

Uji DNA memang belum menjadi hal populer di masyarakat kita, hanya saja, informasi yang dibawa oleh DNA manusia tidak bisa menyembunyikan alasan kemelekatan orang Sunda dengan budaya Yunnan. Sebagai contoh, orang Sunda menyukai lalab (lalap) serupa dengan orang Yunnan di negeri Tionghoa, kemiripan suara alat musik dari senar/dawai, dan model pakaian adat merupakan ciri penting dan informasi dasar kecocokan genetika antara diri kita dengan orang Tionghoa. Hal ini memang harus dibuktikan secara ilmiah melalui uji DNA.

Catatan kemelekatan antara kita dengan orang Tionghoa hanya sepintas lalu dibahas dalam buku sejarah. Walakin, hal penting yang harus dikokohkan saat ini, kendati, misalnya ketika penelitian DNA telah membuktikan leluhur deutro melayu (salah satunya etnis Sunda) bukan berasal dari Yunan, adalah sikap terbuka kita terhadap budaya yang telah lama berkembang di wilayah ini. Merasakan kebahagiaan seperti orang Tionghoa saat merayakan imlek juga sudah menjadi bukti bahwa kita telah mencoba bersikap terbuka.

Secara keseluruhan, Museum Tionghoa Soekaboemi sudah mengawali babak baru kompromi budaya di Kota Sukabumi. Orang Tionghoa sendiri sebenarnya sudah lama mempraktikkan keterbukaan terhadap budaya Sunda, bukankah mayoritas orang Tionghoa tidak sungkan menggunakan Bahasa Sunda saat melakukan komunikasi. Bagi orang Tionghoa, keberadaan museum tematik harus menjadi pemicu agar kesadaran untuk merawat ingatan dan masa lalu terus ditransformasikan kepada generasi muda Tionghoa. Saya dapat berasumsi, generasi tua kita dengan Tionghoa menghadapi masalah serupa, kekhawatiran tradisi tercerabut dari diri generasi muda.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Dalam Suasana Imlek, Saya Mengunjungi Museum Tionghoa Soekaboemi"