Samudera Kehidupan yang Tak Pernah Surut (Bagian I)


Mushaf Al-Quran (Sumber Gambar: Unsplash.com

Al-Quran, sebagai bacaan yang harus dibaca dan diberi penafsiran sebelum diamalkan merupakan samudera yang tidak pernah mengalami surut. Beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, Al-Quran telah menjadi pemantik kelahiran para ulama dan sarjana muslim untuk menggali lebih jauh makna dan maksud tersirat di dalamnya. Ayat-ayat Al-Quran begitu jelas memberikan informasi baik dalam bentuk berita atau perintah kepada setiap muslim untuk merenungkan dan memikirkan ruang lingkup setiap makhluk (lingkungan) atau ciptaan-Nya.

Era keemasan pemikiran Islam ini tidak terlepas dari hubungan dan interaksi para sarjana dengan konsepsi-konsepsi umum ayat-ayat Al-Quran yang memerlukan penerjemahan dan penafsiran ke dalam tindakan teknis yang lebih membumi. Saya memiliki pikiran, ayat-ayat Al-Quran memang tidak dapat dikritisi namun penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran harus mendapatkan kritikan secara objektif untuk mendapatkan khazanah dan wawasan baru yang relevan dengan setiap milieu dan zaman. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia yang terus-menerus mengalami perubahan baik fisik, psikis, pikiran, mental, dan spiritualnya.

Umat Islam harus menyadari salah satu fakta historis tentang kehidupan umat Islam di masa formatif atau era pembentukan Islam. Dari catatan-catatan sejarah, kita menemukan bahwa di awal kenabian, wahyu dari Allah SWT disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW secara transendental namun harus memberikan jawaban terhadap persoalan yang menempati wilayah profan. Atas alasan itulah, wahyu Allah SWT tidak dapat ditulis begitu saja. Nabi Muhammad SAW tidak menyarankan kepada para sahabat untuk menuliskan setiap wahyu yang turun kecuali mengikuti dan mengingatnya kemudian diwacanakan (ditadaruskan) secara verbal. Penulisan wahyu, dalam hal ini pemindahan dari bahasa verbal transenden ke dalam aksara pada media-media seperti kulit hewan dan pelepah daun kurma diinisiasi oleh para sahabat yang memiliki kepiawaian tulis-menulis, seperti Zaid bin Tsabit.

Para sahabat lain yang telah memiliki kemampuan membaca dan menulis mengikuti jejak Zaid bin Tsabit. Tentu saja penulisan Al-Quran dari Bahasa verbal ke dalam tulisan disertai oleh proses saling koreksi antara satu sahabat dengan sahabat lainnya untuk menghindari kekeliruan meskipun hanya pada satu kalimah (kata). Sikap para sahabat seperti ini tidak didasarkan atas perintah Nabi Muhammad SAW, bahkan Rasulullah juga tidak melarang ketika para sahabat menuliskan ayat-ayat Al-Quran pada media-media tulis saat itu. Tindakan para sahabat ini merupakan awal mula proses pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang di kemudian hari dikodifikasikan di era Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan disempurnakan di masa khalifah Utsman bin Affan.

Kita sulit membayangkan bagaimana proses penyusunan Al-Quran dari kalimat-kalimat verbal, kemudian ditulis melalui media-media yang terpisah dan dikumpulkan oleh masing-masing penulisnya, kemudian dikodifikasikan. Apalagi dengan mencermati sejarah perkembangan huruf Arab kuno dengan apa yang kita temui saat ini tentu berbeda. Jika tanpa diikuti oleh kekuatan para penghafal ayat per ayat sementara jenis huruf Arab kuno masih belum mendapatkan diakritik (titik dan tanda baca atau harakat) siapapun terutama masyarakat yang tidak mengenal aksara akan mengalami kesulitan membedakan huruf yang sejenis seperti ba, ta, dan tsa. Kemampuan daya ingat para sahabat dalam menghafal ayat per ayat seluruh wahyu menjadi bukti di masa formatif Islam, penggunaan akal dan pikiran serta pemanfaatan otak sebagai ruang penyimpanan berkas benar-benar telah dilakukan. Dapat dikatakan, para sahabat di masa awal merupakan komputer-komputer penyimpan berkas yang kemudian menjadi rujukan pembanding terhadap proses kodifikasi Al-Quran menjadi kitab atau mushaf.

Perbuatan dan tindakan yang tidak mendapatkan respon apapun dari Nabi Muhammad SAW dapat dikelompokkan sebagai sunnah taqriri. Memang ada kehati-hatian ketika Al-Quran ditransformasikan dari hafalan dan bahasa verbal ke dalam tulisan jika tidak melalui proses filterisasi, ayat-ayat dikhawatirkan bercampur dengan berkas-berkas lain seperti hadits qudsi yang telah mendapatkan restu dari Nabi Muhammad SAW ditulis oleh para sahabat. Kemampuan menghafal seluruh ayat yang diwahyukan ini telah meminimalisasi kesalahan dalam penulisan ayat secara berkesinambungan.

Mungkin saja, apa yang terjadi di masa formatif Islam ini menjadi alasan bagi sebagian umat Islam kontemporer membuka rumah-rumah tahfidz dan pesantren Al-Quran yang memfokuskan hafalan terhadap para santrinya. Seperti halnya tidak ada perintah dan larangan dalam menuliskan Al-Quran, Rasulullah SAW juga tidak menganjurkan kepada para sahabat untuk menghafal Al-Quran. Wahyu diturunkan secara bertahap, maka tuntutan darinya adalah pengamalan dan pengaplikasian setiap ayat di dalam kehidupan keseharian komunitas muslim awal.

Para sahabat tidak menunggu mendapatkan perintah menghafalkan setiap ayat Al-Quran kemudian memindahkannya ke dalam tulisan karena mereka meyakini selama menjadi manusia maka cara-cara yang ditempuh pun harus manusiawi. Sebetulnya sikap para sahabat Nabi Muhammad SAW ini merupakan kesadaran mereka dalam merespon salah satu ayat : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Al Qur’an telah dijaga”

Kodifikasi atau pengumpulan ayat-ayat Al-Quran kemudian dibukukan telah dilakukan oleh para sahabat pada masa kepemimpinan Abu Bakar As-Shidiq. Pada masa ini, pengumpulan ayat-ayat yang berserakan memerlukan upaya sungguh-sungguh, kalibrasi antara para penulis dengan para penghafal yang terpercaya. Tanpa ketelitian dan kehati-hatian ditambah dengan pengawasan dari otoritas Abu Bakar serta kejujuran dikhawatirkan kodifikasi Al-Quran justru menjadi alasan kuat tentang ayat-ayat yang hilang entah disengaja atau tidak di kemudian hari.

Bukan perkara mudah, meskipun umat Islam telah menjadi komunitas terbesar di Mekkah dan Madinah saat itu, untuk memulai sebuah proyek besar yang tidak pernah dilakukan di saat Nabi Muhammad SAW masih hidup. Para sahabat termasuk Abu Bakar memiliki keyakinan, meskipun mereka merupakan para sahabat nabi namun berbeda dengan nabi yang selalu mendapatkan jawaban langsung dari Allah SWT di saat muncul permasalahan dan pertanyaan yang ada dalam kehidupan.

Para sahabat berbeda dengan nabi, mereka dituntut untuk mendapatkan jawaban terhadap persoalan baru seperti penulisan dan pengumpulan ayat-ayat Al-Quran melalui pendekatan-pendekatan yang dibenarkan. Meskipun bukan sebagai pemilik otoritas menetapkan susunan surat-surat dalam Al-Quran harus ditata berdasarkan linimasa wahyu dalam kurum hampir 23 tahun, walakin nabi sendiri telah memberikan legalitas bahwa para pengganti beliau setelah meninggal merupakan orang-orang yang harus diikuti dan dipatuhi karena kejujurannya.

Maka fase pertama penulisan dan pengumpulan ayat-ayat Al-Quran di zaman Abu Bakar pun berjalan lancar dengan beberapa catatan penting. Pertama, kodifikasi Al-Quran dilakukan di masa akhir kekhalifahan Abu Bakar, hal ini disebabkan tugas penting khalifah pertama adalah menjaga keutuhan komunitas muslim yang mulai longgar pascakematian Rasulullah. Pemberontakan terjadi di beberapa tempat dilakukan oleh para kepala suku yang sebelumnya menerima Islam atas alasan pragmatis. Tidak sedikit kabilah-kabilah ini menerima Islam di zaman nabi demi alasan pragmatis ketika mereka menjadi bagian dari komunitas muslim akan mendapatkan nilai lebih, seperti ghanimah atau harta rampasan.

Kedua, kekhalifahan Abu Bakar As-Shidiq tidak berlangsung lama. Abu Bakar dipilih secara aklamasi oleh para sahabat dengan berbagai pertimbangan -salah satunya- Abu Bakar merupakan sahabat yang dekat dengan nabi. Lebih dari itu, sebetulnya pertimbangan penting alasan para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dalam masyarakat Mekah yang patriarki, memilih orang yang lebih tua merupakan bentuk penghormatan tertinggi. Abu Bakar juga kecuali sebagai mertua nabi juga merupakan salah seorang sahabat yang telah melakukan banyak pengorbanan di masa formatif Islam.

Dia harus rela kehilangan kehormatan sebagai salah seorang tokoh sentral Mekah dan berkonfrontasi dengan sahabat-sahabatnya seperti Abu Jahal dan Abu Lahab. Harta bendanya pun dihabiskan oleh Abu Bakar untuk menopang tumbuh kembang Islam di masa kerasulan. Abu Bakar banyak memerdekakan budak, salah satunya Bilal bin Rabah dari belenggu kekejaman aristokrasi Mekah yang jumawa. Para sahabat menaruh harapan besar kepada Abu Bakar, sebagai orang yang dipandang terhormat dapat meminimalisasi pemberontakan di beberapa wilayah yang memproklamirkan diri memisahkan dari komunitas muslim.

Di awal kepemimpinannya, Abu Bakar juga berusaha menghentikan persoalan suksesi peralihan kepemimpinan dari Rasulullah kepada dirinya yang dipandang tidak fair oleh beberapa pihak yang dikemudian hari mewujud menjadi faksi-faksi dalam tubuh Islam dan terus melakukan konfrontasi dari khalifah yang satu ke khalifah lainnya. Kecuali ditinggal oleh nabi, komunitas muslim awal juga dihadapkan pada masalah-masalah krusial yang memerlukan penyelesaian secara akurat, tepat, dan tidak memantik pertikaian yang lebih besar.

Saat ini, kita mungkin dipaksa untuk bertanya, paling tidak dalam diri sendiri, kenapa situasi umat muslim awal setelah Rasulullah meninggal terjebak pada pertikaian internal padahal mereka masih berpegang teguh pada pedoman yang sama, wahyu Allah SWT meskipun pada masa itu baru akan mulai dikodifikasikan? Lebih mengherankan lagi, beberapa perang internal terjadi dengan masing-masing faksi menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai alasan kuat mereka melakukan konfrontasi dengan sesama muslim sendiri. Pertikaian ini dicatat oleh sejarah sebagai babak baru perpecahan umat yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Pada periode-periode berikut, di dalam tubuh umat Islam awal muncul pergolakan, bukan pada ranah pemikiran namun konfrontasi fisik beberapa faksi besar. Abu Bakar berhasil “menginsyafkan” para pemberontak dan para kepala kabilah yang mengaku dirinya sebagai nabi penerus Rasulullah. Keberhasilan yang begitu cepat dalam mensterilkan kembali pandangan kenabian seperti apa yang dikatakan oleh Abu Bakar sendiri: tidak ada lagi nabi setelah Rasulullah meninggal dunia merupakan prestasi tersendiri.

Jika saja Abu Bakar tidak mampu melakukan tindakan tepat, komunitas muslim awal dapat saja benar-benar terpecah belah kembali ke era kekuatan klanisme, masing-masing kabilah akan memilih dirinya sendiri sebagai pewaris tunggal kenabian. Setelah berhasil meminimalisasi pertikaian di dalam tubuh umat Islam, program besar Abu Bakar berikut yaitu melakukan kodifikasi awal dengan mengumpulkan dan menulis kembali ayat-ayat Al-Quran yang masih tersimpan di masing-masing sahabat yang pernah menuliskan wahyu Allah SWT.

Masa kekhalifahan Abu Bakar merupakan tonggak pengumpulan ayat-ayat Al-Quran sebagai fase pertama wahyu Allah SWT yang diturunkan selama 23 tahun dikumpulkan selama kurang dari tiga tahun. Dari kisah pengumpulan ayat-ayat Al-Quran ini -melalui penilaian objektif- kita dapat mengatakan hanya kejujuran dan kebeningan jiwa para sahabat yang mampu merajut ayat-ayat yang ditulis dalam aksara Arab Kuno tanpa diakritik dan tanda baca menjadi kumpulan ayat dan dilanjutkan oleh Umar bin Khattab pada masa kekhalifahannya.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Samudera Kehidupan yang Tak Pernah Surut (Bagian I)"