Saya akan Bertobat di Usia Senja



Saya pernah mendengar seorang teman berseloroh mengenai pertobatan, ia mengatakan: “ Saya mau bertobat di masa tua!”. Sudah tentu ucapan ini tidak terlalu saya acuhkan. Nyatanya, sampai saat ini, belum terlalu tua, teman ini benar-benar telah bertobat. Tobat dalam ini tentu saja bukan tobat seperti harapan para ulama: Taubatan Nashuhan, melainkan perubahan perilaku dari sebelumnya agak kurang baik menjadi lebih baik.

Ucapan bahkan lebih tepat disebut ungkapan: Saya mau bertobat di usia senja, bukan hal baru. Bisa saja hal ini dialami oleh diri kita karena memiliki anggapan hidup akan sampai masa tua. Jadi masa muda tidak apalah dihabiskan dengan melakukan perbuatan yang lumrah dilakukan oleh manusia di usia muda, mulai dari nongkrong, menggunjing, bertingkah konyol, sedikit nakal, dan benar-benar menikmati masa muda. Namun, kedalaman naluri dan sanubari manusia, sama sekali tidak akan pernah terbersih keinginan untuk menghabiskan masa muda dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dipandang “nakal” oleh khalayak. Makanya ada keinginan untuk berubah dari jelek menjadi baik pun karena secara alamiah, watak dasar manusia memang dilahirkan sebagai para pencinta kebaikan.

Tentang kelahiran dan tindakan manusia, para filsuf, cerdik pandai, dan leluhur manusia telah memformulasikan dengan beragam pandangan dan sudut pandang. Teori tentang aksi dan perbuatan pun telah disodorkan. Misalnya tabula rasa dikemukakan oleh John Locke, kelahiran manusia ke dunia benar-benar dalam kondisi kosong, tanpa membawa potensi mulai dari kecerdasan, mental, hingga spiritual. Manusia menjadi manusia hanya karena pengalaman yang ia diserap selama perumbuhan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Pendukung teori ini memang banyak hingga melahirkan empirisme yang meyakini bahwa setiap manusia memiliki potensi menjadi baik atau buruk berdasarkan lingkungan di mana ia berada. Teori ini sejalan dengan behaviourisme bahwa setiap manusia dipengaruhi secara dominan oleh apa yang ada di luar dirinya.

Di samping tabula rasa dan behaviourisme, kita dikenalkan juga dengan teori nativisme, bakat bawaan, kecerdasan, dan sejumlah potensi yang dimiliki oleh manusia memang telah disiapkan sejak lahir. Untuk menyusu, seorang bayi tidak perlu diberikan pelatihan, tersenyum bahagia, hingga mengekspresikan rasa sedih melalui tangisan dilakukan hatta oleh bayi sekalipun. Kemampuan-kemampuan ini dimiliki oleh setiap bayi tanpa terlebih dahulu berhubungan dengan lingkungan. Tangisan seorang bayi yang dilahirkan oleh perempuan baik serupa dengan bayi yang dilahirkan dari perempuan tidak baik. Hal ini menunjukkan, sejak lahir setiap manusia telah dibekali oleh potensi-potensi agar memiliki kemampuan merespons keadaan sesuai dengan fase perkembangannya. Tanpa hal ini, manusia tidak akan pernah tumbuh mental, emosional, hingga spiritualnya.

Teori konvergensi kemudian berusaha mengompromikan dua hingga tiga gagasan di atas. Manusia pada dasarnya memang tidak membawa apa pun dalam hal tertentu, walakin dalam beberapa hal pun tidak seharusnya dinafikan bahwa seorang bayi yang baru dilahirkan pasti dibekali oleh potensi-potensi untuk menghadapi kehidupan yang berbeda ketika ia berada di dalam kandungan. Pada perkembangan kehidupannya, manusia bersentuhan dengan lingkungan yang bisa memengaruhi atau sama sekali tidak memiliki pengaruh bagi manusia. Manusia tidak akan langsung melakukan perbuatan baik atau jahat meskipun ditempatkan di dalam lingkungan yang dapat memantik seseorang untuk berperilaku sesuai dengan lingkungannya. Di dalam lingkungan paling jahat sekalipun, dapat saja muncul orang dengan perilaku baik. Begitu juga sebaliknya, lingkungan paling baik sekalipun tidak menutup kemungkinan melahirkan orang jahat.

Yang jelas, untuk berbuat baik sudah tentu kita tidak perlu memperdebatkan teori-teori di atas, mana yang paling mendekati kebenaran, mana yang harus dihindari, atau teori mana yang kita anggap salah. Sebab seluruh teori yang ada dilahirkan berdasarkan praktik manusia yang sudah dilakukan. Tanpa pengalaman, manusia tidak akan melahirkan teori. Sebaliknya, tindakan dan perilaku tanpa teori terkesan meraba-raba. Manusia hanya perlu melakukan tindakan ini baik karena telah disepakati secara umum. Atau bisa juga melakukan tindakan dan dianggap baik berdasarkan hati nuraninya. Mengklaim properti orang lain sebagai milik pribadi tidak akan pernah diterima oleh hati nurani, ya itu jelas merupakan tindakan tidak baik. Membantu seseorang yang memerlukan pertolongan, jelas sekali berbanding lurus dan sesuai dengan hati nurani. Ada ungkapan, hati nurani selalu benar.

Apakah manusia menjadi baik atau jahat sebagai takdir? Beberapa abad lalu mulai dari para ulama dan filsuf sering mengingatkan manusia untuk tidak bermain-main dengan takdir. Hal ini memiliki dua tujuan; pertama, menjadi manusia baik atau jahat tidak sepenuhnya merupakan takdir karena siapapun dapat berubah menjadi baik atau sebaliknya. Kedua, beberapa takdir atau tetapan yang sudah diatur sedemikian rupa jangan pernah dipermainkan karena akan berdampak fatal bagi kelangsungan hidup. Mengubah hal paling kecil yang telah menjadi tetapan dalam hidup saja bisa berakibat fatal. Dalam kondisi normal, seseorang memasukkan zat (misalnya racun)ke dalam tubuh dengan jumlah kecil saja dapat mengakibatkan hal yang buruk. Ketetapan atau sesuatu yang telah ditakdirkan biasanya berada di belakang manusia, satu menit saya merasakan kebahagiaan, ini dapat dikatakan takdir. Karena kondisi saat itu tidak bisa diubah menjadi sedih.

Jika saja takdir selalu dijadikan alasan terhadap sebuah peristiwa dan tindakan manusia, saya pikir dunia ini akan aman dan damai. Orang akan dengan mudah memahami terhadap situasi yang dialaminya, saat dia mendapatkan kemenangan atau kekalahan akan dengan mudah menerimanya tanpa perlu mempertanyakan kenapa saya memang atau faktor apa saja yang menyebabkan saya kalah? Cukup diterima saja, takdirnya memang sudah demikian. Nyatanya tidak demikian, dari waktu ke waktu, manusia terus-menerus mencoba dan mencari format paling baru dan mudah dilakukan agar hidup menjadi lebih nyaman dilalui. Manusia secara telaten merancang masa depan, memperbaiki apa yang pernah terjadi, dan membuat sejumlah kesepakatan bersama agar dipatuhi sebagai kerangka dalam melakukan tindakan tertentu.

Menjadikan takdir sebagai alasan memang terdengar mudah dan dapat diterima tanpa penyangkalan. “Saya melakukan kejahatan karena memang ditakdirkan demikian,” ungkap seorang penjahat. Petugas keamanan akan serta merta melakukan tindakan yang sama, menggunakan takdir untuk menggebuk pelaku kejahatan, misalnya si penjahat dipukul kepalanya oleh petugas keamanan dengan pentungan. Si penjahat bertanya: “ Kenapa bapak memukul kepala saya?” Petugas keamanan dapat dengan enteng menjawab: “ Sudah takdir!”. Penempatan kurang tepat terhadap takdir ini justru akan melahirkan takdir-takdir baru dan cenderung mengarah kepada kekacauan. Sebanding dengan banyaknya ungkapan HAM digaungkan oleh manusia modern. Bersikap dan bertindak apa pun sering dilandasi oleh alasan: “Lha, ini kan hak asasi saya?”.

Karena setiap manusia memiliki potensi berbuat baik atau jahat, maka setiap agama memberikan pelajaran penting bagi penganutnya untuk melakukan pertobatan atau perbaikan. Orang baik saja diharuskan bertobat dan mengakui kesalahan setiap hari, apalagi orang yang merasa dirinya masih biasa melakukan kejahatan. Meskipun tidak melalui sikap ekstrem, misalnya mengakui kesalahan secara detail kemudian meminta ampun, manusia memang memerlukan perubahan dan perbaikan.

Dalam dunia Kristen, seorang Santo Agustinus pada abad ke-4M pernah menuliskan daftar kesalahan yang pernah ia lakukan saat masih menjadi penganut paganisme dalam buku Confession (pengakuan). Sebuah kejujuran yang ekstrem dan sangat tidak mungkin bisa dicontoh oleh manusia modern. Ia membeberkan tindakan yang dipandang jahat, termasuk hubungan dirinya dengan para perempuan, sebuah tindakan yang akan dipandang gila oleh manusia modern yang hidup dalam gelimang manipulasi dan ketidakjujuran. St. Agustinus mampu melampaui situasi ini, dengan pengakuannya ini pada perkembangan berikutnya, ia menjadi penganut Kristen yang taat dan sejajar dengan para santo di dalam kekristenan.

Agama yang saya anut, Islam mengajarkan bahwa kesalahan sebesar apa pun dapat dibersihkan dengan tobat. Para ulama memformulasikan, tobat yang sebenarnya yaitu dengan tidak melakukan kembali perbuatan (dosa) tersebut. Saya akan mencoba mengelaborasi hal ini melalui pendekatan ilmiah melalui perbandingan. Dosa atau perbuatan jahat serupa dengan berkas sampa, ia akan terus mengendap dan menumpuk jika tidak dibersihkan.

Pengaruh paling kentara berkas sampah (cache file) ini adalah menguras tenaga, mempercepat penuaan, menghalangi kinerja otak atau dapur pacu, dan mempermudah ledakan emosional (kalorisasi) yang memantik kemarahan. Tidak jauh berbeda dengan gawai yang kita miliki, setiap hari karena pemakaian berlebih maka berkas-berkas sampahnya pun harus dibersihkan secara berkalam.

Memperlambat pemulihan dan pembersihan berkas sampah sama artinya dengan membiarkan berkas ini terus membesar, memadati sel-sel diri kita, disalin dan digandakan di dalam genetika, biasanya akan menjadi sumber penyakit. Penelitian mengenai kromosom menyebutkan, setiap perilaku dan tindakan manusia ternyata memiliki pasangannya. Kebaikan selalu disalin di dalam kromosom dan ini berpasangan dengan gen kesehatan. Kejahatan yang disalin di dalam kromosom berbanding lurus dengan gen penyakit yang dapat meledak suatu waktu.

Seseorang yang melakukan kebaikan dan bersikap lurus ketika sedang bekerja, ia akan menikmati masa pensiunnya dengan tubuh sehat, jarang sakit, dan tidak dihantui oleh kecemasan hingga mengidap post power syndrome. Sebaliknya, seorang pegawai yang biasa melakukan kejahatan dan gemar memanipulasi anggaran, sering mengadapi kecemasan, post power syndrom, mudah sakit, bahkan benar-benar mengalami sakit yang sulit disembuhkan. Fakta-fakta ini seharusnya dijadikan pelajaran dan nasehat.

Mengakui secara tertulis hingga menjadi sebuah buku tentang perilaku tidak baik yang pernah kita lakukan saya pikir sangat berat. Paling tidak, kita harus berani mengakui tindakan dan perilaku tidak baik memang tidak baik. Jangan pernah memberikan penyangkalan apalagi berusaha menentang hati nurani yang tidak pernah berbohong kepada diri sendiri.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Saya akan Bertobat di Usia Senja"