Pers merdeka, demokrasi, dan bermartabat – Tema Hari Pers Nasional 2023
“Kebebasan Pers” menjadi istilah populer di awal reformasi setelah selama tiga dekade, pers tidak sepenuhnya mewujud menjadi penghantar informasi yang “apa adanya” atau obyektif. Idiom ini secara perlahan telah mengubah haluan dan cara pandang insan pers di Indonesia untuk membangun media-media pemberitaan arus utama. Pertumbuhan media cetakan dari koran harian, tabloid, dan majalah dapat kita saksikan memperlihatkan angka signifikan. Bahkan, di awal reformasi, media-media cetak seperti yellow paper memenuhi lapak-lapak para pengecer koran.
Konten informasi selama tahun 1999 sampai 2002 didominasi oleh politik, hiburan, hingga mistis. Kita juga dapat dengan mudah membaca informasi pembukaan undian judi togel, konten vulgar perempuan, dan isu-isu skandal politik yang belum dipastikan kebenarannya. Istilah “kebebasan pers” di awal reformasi serupa dengan pandangan semu terhadap kebebasan ini sendiri. Bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, kebebasan pers justru dijadikan alat untuk menghantarkan informasi tidak bergizi namun begitu enak dikonsumsi masyarakat.
Internet belum sepenuhnya menjadi kebutuhan masyarakat, kehadiran berbagai media cetak menjadi alternatif pemuas kebutuhan informasi. Media cetakan yang dibeli oleh seseorang dapat dibaca beramai-ramai, mengingat media jenis ini memiliki daya jangkau yang luas dan tidak dibatasi oleh sekat privasi. Sebuah tabloid mingguan atau majalah dapat dibaca secara bergiliran sampai terbit kembali edisi berikutnya. Konsumen surat kabar tidak lagi menyisir kalangan tertentu, melainkan sudah menjadi milik bersama. Konsumen dapat membelinya secara eceran tanpa perlu berlangganan.
Sampai tahun 1998, menjelang reformasi, mayoritas masyarakat hanya dapat menerima informasi melalui radio dan televisi yang telah melalui proses penyensoran dari pemerintah. Konten informasi yang tersebar memiliki keseragaman, kecuali informasi yang disiarkan secara langsung oleh radio-radio luar negeri siaran Bahasa Indonesia seperti BBC, Deutsch Welle, dan Radio Australia. Kebutuhan penyebarluasan informasi yang “apa adanya” selama tiga dekade ini telah menjadi pemicu rasa haus informasi di masyarakat.
Surat kabar cetakan hanya dibaca oleh kalangan terbatas, kecuali koran bekas yang dijual di warung-warung. Konten pemberitaan surat kabar sudah tentu harus beradaptasi dengan kebijakan pemerintah saat itu, paling tidak, surat kabar harus mencerdaskan masyarakat berdasarkan versi pemerintah. Dan, daya jangkaunya juga tidak seluas seperti di awal reformasi. Bagi pemerintah, media cetak dan elektronik harus menjadi pewarta kebaikan tentang program pembangunan pemerintah. Media tidak diperkenankan menginformasikan kebobrokan dan kasus-kasus yang berhubungan dengan pemerintah karena hal ini akan mengganggu stabilitas nasional. Media yang mengabaikan standar etik, misalnya, memberitakan informasi yang menyebabkan keresahan langsung dibredel oleh pemerintah.
Antara tahun 1997 dan 1998, insan media cetak dan elektronik harus menggunakan cara baru dalam mengemas konten informasi. Krisis keuangan (moneter) internasional telah merelaksasi setiap fitur kehidupan. Pertaruhan antara tetap bertahan atau benar-benar mengalami gulung tikar dihadapi oleh insan pers. Insan pers juga dipaksa berpikir keras tentang strategi meningkatkan penjualan surat kabar dan informasi untuk menjaga keseimbangan antara biaya produksi dengan pendapatan. Media-media besar diprediksi memang akan tetap bertahan, namun bagi media-media menengah, strategi pemasaran informasi dengan memberitakan konten panas menjadi pilihan penting.
Majalah D&R bukan sebagai media arus utama, namun dalam beberapa edisi, majalah ini laku keras hanya karena memberitakan skandal dan isu-isu miring pemerintah Orde Baru. Salah satu sampul majalah dengan ilustrasi potret Soeharto didesain dalam bingkai kartu King menjadi salah satu majalah yang paling banyak dicari oleh masyarakat urban perkotaan. Majalah ini tidak hanya dibaca oleh kelompok umur 30 tahun ke atas, juga dibaca secara bergantian oleh pelajar kelas 3 SLTA. D&R dapat dikatakan sebagai majalah yang mampu memanfaatkan peluang pasar, awal keruntuhan Orde Baru menjadi konten yang akan laku dijual karena selama tahun 1997-1998 telah lahir kekesalan kolektif dari rakyat kepada pemerintah, meskipun hal ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh permasalahan politik saja melainkan oleh krisis moneter.
Saya termasuk pembaca surat kabar. Sejak usia 4 tahun telah terbiasa membaca koran dan majalah. Ayah dan kakek menjadikan koran sebagai salah satu media ajar membaca bagi anak dan cucunya. Hal ini telah memengaruhi diri saya, sampai saat ini, setiap hari, saya sudah pasti membaca surat kabar cetakan. Berbagai informasi menjelang reformasi saya baca melalui surat kabar. Konten informasi tahun 1982 dengan 1998 benar-benar berbeda secara diametral. Konten informasi media massa menjelang reformasi menjadi lebih beragam, surat kabar juga menyediakan menu dan rubrik pilihan. Artinya, tidak semua informasi dapat dibaca dalam waktu satu hari. Hanya informasi yang berhubungan dengan kejatuhan Orde Baru dan Suksesi Kepemimpinan yang habis dilumat oleh masyarakat.
Awal kelahiran “kebebasan pers” setelah runtuhnya Orde Baru ditandai oleh beberapa hal. Pertama, kemunculan berbagai media cetak dan elektronik. Kedua, varian informasi menjadi lebih beragam dan lebih berani mewartakan isu-isu aktual. Ketiga, terjadi tumpang tindih antara informasi yang valid dengan penyebaran informasi bohong yang disebarluaskan secara berulang oleh masyarakat dengan cara difotocopy. Keempat, kebebasan pers yang tidak diimbangi oleh kode etik jurnalistik bukan menjadi media yang dapat mencerdaskan masyarakat melainkan menyesatkan dan memanaskan masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis. Kelima, insan pers mulai memikirkan strategi cara menempatkan media massa sebagai media yang dapat mencerdaskan masyarakat bukan semata-mata meraup keuntungan melalui penyebaran oplah dan berita elektronik namun lebih mengarah kepada penyajian informasi yang akurat, terpercaya, valid, berimbang, dan memperhatikan cek dan pengecekan ulang.
Secara alamiah, “kebebasan pers” telah menyeleksi media-media massa di negara ini. Hanya media yang mampu memberitakan informasi terpercaya dan dilengkapi oleh kode etik lah yang dapat bertahan hingga sekarang. Koran-koran kuning yang memiliki ciri menuliskan judul berita berukuran besar dan berwarna mencolok itu kini benar-benar gulung tikar meskipun dapat saja muncul kembali dalam format digital. Selain media berskala nasional, kehadiran surat kabar pada tataran kewilayahan dan mengedepankan lokalitas juga menjadi salah satu ciri “kebebasan pers”. Alasan utama kemunculan surat kabar di daerah yaitu penyebaran informasi, kejadian, dan peristiwa di tataran daerah kepada masyarakat setempat. Masyarakat jangan sekadar mengetahui peristiwa nasional, juga harus mengenal kejadian di wilayahnya sendiri.
Setelah 10 tahun reformasi, media cetak dan elektronik semakin mengokohkan dirinya dalam kerangka yang mandiri dan independen. Media massa berusaha menjadi kontrol sosial yang berimbang dan tidak dipengaruhi oleh anasir lain yang dapat membiaskan konten informasi. Sebagai penghantar informasi, kemandirian dan independensi media harus kentara pada muatan informasi yang disampaikannya, tetap mengedepankan kode etik, berimbang, dan obyektif. Di hari kelahiran yang ke 77, media massa harus menjadi salah satu bagian rantai pentahelix pembangunan, mampu memberikan kontribusi agar informasi media (terutama media di daerah seperti Radar Sukabumi) dapat dijadikan sumber rujukan dan rekomendasi kebijakan pemerintah daerah.
Selamat Hari Pers Nasional
Posting Komentar untuk "Pers yang Mandiri dan Independen "