Samudera Kehidupan yang Tak Pernah Surut (Bagian II)



Umar, salah seorang sahabat yang memiliki perwatakan tegas dan lugas mengemban tanggung jawab besar dalam upaya pengkodifikasian ayat-ayat Al-Quran menjadi sebuah mushaf yang akan menjadi cikal bakal mushaf utsmani seperti yang kita lihat sampai saat ini. Tanggung jawab besar ini bukan karena Umar bersama sahabat lainnya harus melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh nabi melainkan beban berat jika proses kodifikasi yang dilakukan menyalahi seperti apa yang disitir oleh Al-Quran:

" Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, 'Ini dari Allah,' (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat" (Q:S, 2:79).

Golongan ini merupakan orang-orang yang biasa menuliskan wahyu Allah sekehendak diri sesuai keinginannya dan tidak sungkan mengganti ayat-ayat Allah dengan tangannya sendiri. Sindiran ini menjadi alasan kuat bagi Umar bahwa upaya kodifikasi Al-Quran harus melibatkan orang-orang atau para sahabat sebagai penghafal dan pengamal Al-Quran.

Untuk mengkodifikasikan wahyu Tuhan ini dibutuhkan kemurnian dan kesucian batin ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab umat Islam mulai menampilkan kembali sikap klanisme akut, salah satunya menolak suksesi kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar. Tanpa tilikan batin yang murni, kodifikasi ayat-ayat Al-Quran dapat menemui batu sandungan yang memperlambat kodifikasi Al-Quran.

Lebih jauh, menjual ayat-ayat dengan harga murah tidak hanya dituduhkan kepada umat terdahulu. Mengingat cakupan ayat-ayat Al-Quran ini begitu luas, maka ayat-ayat di dalamnya memiliki penafsiran lebih luas juga. Menjual ayat-ayat dengan harga murah serupa dengan mudahnya manusia menggunakan ayat-ayat Al-Quran dalam memperkuat ambisi mereka.

Kesadaran ini tidak hanya harus dimiliki oleh manusia modern, Umar bin Khattab telah menyadari betapa berat beban mengkodifikasi Al-Quran ketika ayat-ayat yang telah ditulis oleh para sahabat pada media-media saat itu masih memerlukan pemilahan dan pemilihan. Walakin, Umar memiliki keyakinan, keberadaan para penghafal Al-Quran dengan kompetensi adab dan kejujuran mereka menjadi hal yang paling membantu selama proyek kodifikasi Al-Quran ini.

Tugas berat di dalam kehidupan memerlukan kehadiran orang-orang -bukan hanya siap mengerjakan dan mempertanggungjawabkannya-, kejujuran dan kebeningan batin hingga terhindar dari sikap tercela sedikit pun. Sejak sebelum masuk Islam, Umar dikenal sebagai sosok tangguh, tegas, memiliki pendirian, namun keislaman dirinya justru berlawanan dengan watak tegas dan kerasnya. Umar memeluk Islam setelah mendengar adiknya sendiri melantunkan beberapa ayat Surat Thaha.

Kebeningan jiwa inilah yang menyebabkan Umar secara ikhlas mengkonversi keyakinan kemudian menerima Islam sesuai dengan makna Islam sendiri, kepasrahan. Di tangan manusia seperti inilah, tanggung jawab dan pekerjaan besar akan dapat ditunaikan. Selama proses pengumpulan ayat-ayat Al-Quran, Umar benar-benar mengosongkan pikiran dari anasir-anasir keduniawian apalagi persoalan politik yang mulai mencuat kembali di tahun kedua kepemimpinannya.

Kodifikasi Al-Quran tidak sepenuhnya dilakukan oleh Umar bin Khattab karena ia sangat yakin, tugas berat pengumpulan ayat-ayat Al-Quran merupakan mata rantai berkelanjutan yang harus dituntaskan oleh orang-orang terpercaya yang mampu menjaga keotentikan ayat-ayat Al-Quran. Paling tidak, Umar telah melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar upaya konservasi ayat-ayat yang ditulis oleh para sahabat.

Beruntung sekali, otentitas ayat-ayat Al-Quran dimiliki oleh sahabat yang memang memiliki kepiawaian dalam kepenulisan seperti Zaid bin Tsabit. Pada perkembangannya, Zaid harus dapat mengkalibrasikan antara ayat-ayat yang ditulis dengan kemampuan hafalan para sahabat lainnya. Sekali lagi, saya berani menduga, pekerjaan besar yang dilakukan oleh para sahabat ini dilakukan di suatu tempat yang tidak terjamah oleh kepentingan kelompok ketika masing-masing faksi mulai semakin tumbuh kembali di akhir kepemimpinan Umar.

Kita memang sulit mengetahui secara pasti bagaimana kondisi sosial kultural komunitas muslim awal. Abu Bakar telah berhasil menghentikan kemungkinan perpecahan kembali umat ke dalam klan-klan karena mereka memandang setiap suku memiliki pimpinannya masing-masing. Keberhasilan khalifah pertama ini secara perlahan mulai longgar kembali. Faksi-faksi dan aliran di dalam tubuh umat terurai secara perlahan, ikatan atau ukhuwah mulai longgar di masa akhir kepemimpinan Umar. Proses kodifikasi Al-Quran juga menghadapi hal baru seperti para penghafal Al-Quran banyak yang meninggal dunia.

Umar menyadari, proses kodifikasi berjalan lambat, maka ia segera mengambil strategi menjauhkan para penghafal Al-Quran dari polemik yang memungkinkan mereka terhindari dari kepentingan kelompok. Sangat berbahaya selama proses pengkodifikasian Al-Quran jika sudah dicampuri hasrat dan kepentingan kelompok apalagi personal. Salah satu ayat Al-Quran memang menyebutkan bahwa ayat-ayat di dalam Al-Quran akan dijaga langsung oleh Allah SWT, namun Umar merupakan sosok yang tetap berpegang juga pada nalar sehat.

Hal ini dapat dibuktikan oleh satu kisah dalam kehidupannya, saat terjadi wabah atau pageblug, Umar menyatakan, kita harus menghindari (lari dari) takdir Allah - dalam bentuk wabah - dan menuju Takdir Allah yang lainnya. Bahkan dalam benak Umar dapat saja terbersit penggunaan kata ganti orang pertama jamak (Nahnu) dalam ayat ini memiliki pesan ada keterlibatan manusia dalam menjaga ayat karena bagaimanapun, naskah Al-Quran (mushaf) pada perkembangannya disalin dan diperbanyak oleh tangan manusia.

Para penulis sejarah dan peradaban modern tidak dapat menyembunyikan rasa takjub terhadap pertumbuhan penganut Islam di masa khalifah kedua. Ketakjuban ini cukup beralasan, di awal kenabian, ajaran baru dengan pembawanya (Nabi Muhammad SAW) dipandang sebagai musuh bersama orang-orang Arab. 

Pengikut ajaran ini hanya segelintir orang saja, namun dalam kurun waktu tidak lebih dari setengah abad, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas orang-orang Arab hingga menyebar ke wilayah-wilayah pinggiran. Pertumbuhan signifikan populasi muslim harus diimbangi oleh ketersediaan para guru atau pembimbing yang dapat mentransformasikan muatan ajaran Islam. Para pembimbing adalah sahabat-sahabat nabi sebagai penghafal Al-Quran.

Peningkatan jumlah penganut Islam tanpa proses pencerdasan kepada penganut baru, bagi Umar hanya akan mempercepat prediksi dan analisa Rasulullah: secara kuantitas menjadi mayoritas namun ibarat buih di tengah samudera. Umar mendirikan pusat-pusat pendidikan, madrasah awal sebagai sumber kekuatan ilmu keislaman sebagai landasan dan cara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Para pembimbing benar-benar menunjukkan kerelaan mereka, tanpa diberi fasilitas berlebihan, bahkan di antara mereka banyak yang menolak pemberian finansial dan materi dari negara, ajaran Islam menjadi lebih digandrungi oleh penduduk di wilayah pinggiran.

Umar bin Khattab patut diteladani, meskipun memiliki watak dan karakter tegas bahkan cenderung keras, namun ia tetap mengedepankan sikap ramah dan santun selama proses penguatan ajaran Islam kepada internal umat dan tidak pernah mau berurusan dengan pemaksaan agama kepada pihak lain. Selama menjabat sebagai khalifah yang mengedepankan sikap adil kepada setiap golongan dan kelompok, ia dapat saja mengeluarkan kebijakan yang populer sejak peradaban manusia ada dengan melakukan inkuisisi kepada penganut keyakinan lain agar mengkonversi keyakinan mereka kepada Islam.

Umar memahami benar terhadap ayat: Tidak ada paksaan untuk memeluk atau memilih Islam. Telah nyata perbedaan antara kebaikan dari kekonyolan. Pemilihan Diksi Al-Rusydu dalam ayat ini berarti segala sesuatu yang telah dicerna oleh nalar dapat dibedakan dari sesuatu yang diawali dengan kekonyolan. Umar tentu saja tidak mau dikelompokkan ke dalam orang-orang yang mengerjakan kekonyolan.

Sebagai seorang khalifah yang pernah ditempa langsung oleh Nabi, Umar juga telah mengalami tiga masa kehidupan. Pertama, masa pra-Islam. Kehidupan Umar di masa pra-Islam tidak jauh berbeda dengan sahabat-sahabatnya yang larut dalam gelimang kemewahan klanisme, kasar, dan keras. Arab pra-Islam pernah mengalami fase chauvinisme akut, dalam pandangan Ibnu Khaldun, tribalisme sebagai pandangan megah terhadap suku dan klannya ini menjadi watak khas masyarakat Arab sebelum Islam. Umar bersama para pemuda Mekah pun terjebak dalam pandangan sempit tentang rasisme dengan cara menepuk dada kelas mereka berada di atas kelas lainnya.

Takaran kehebatan tidak ditentukan oleh sejauh mana nalar dan akal budi digunakan dalam keseharian, keperkasaan, patriarki, dan kekuasaan kaum lelaki atas sumber daya yang ada menjadi ukuran kehebatan. Klan Hasyim tidak dipandang perkasa hanya disebut sebagai klan yang dihormati saja karena secara turun-temurun sudah menjadi pemegang tempat yang disucikan oleh masyarakat Arab saat itu. Umar tidak demikian, sebelum ia mendengar langsung lantunan ayat Al-Quran dari adiknya sendiri, perwatakannya sangat keras, memusuhi Nabi sekaligus telah memendam niat untuk membunuh Nabi yang dipandang telah menyebarkan agama baru dan berusaha melenyapkan agama leluhur.

Kedua, Umar mengalami hidup bersama Nabi. Wajahnya memerah padam saat mendengar olok-olok dari teman-temannya karena adik kandungnya telah mengkonversi keyakinan kepada Islam. Sebagai seorang yang dibesarkan di tengah iklim persaingan muruwah dan kehormatan, Umar tidak mau mengambil risiko dan beban dipermalukan oleh sejawatnya. Umar memburu rumah adiknya, dengan alasan apapun, ia akan memaksa agar adik perempuannya itu pindah kembali kepada keyakinan lama. Namun langkah Umar terhuyung, ia bersimpuh ketika lantunan ayat Al-Quran dibacakan oleh adiknya. Beberapa menit kemudian, ia segera bangkit kemudian bergegas mencari Sang Nabi. Adiknya memiliki pikiran, Umar akan mengobrak-abrik Nabi dan para pengikutnya.

Perpindahan keyakinan atau agama Umar kepada Islam dipandang sebagai tonggak baru bagi perjuangan kebenaran Sang Nabi bersama para sahabat. Umar yang gagah berani dan keras itu dapat diandalkan sebagai benteng pembela umat yang sedang mengalami fase paling mengerikan sebanding dengan perlakukan kekaisaran Romawi kepada para pengikut Isa beberapa waktu lalu. Intimidasi orang-orang Quraisy tidak akan lagi seintensif sebelum Umar memeluk Islam.

Nyatanya, perlawanan dan perundungan dan pengintimidasian kepada para pengikut Nabi semakin gencar dilakukan oleh orang-orang Mekah. Mereka memang tidak pernah mengusik Umar karena kelas sosial Umar sebanding dengan pembesar Quraisy saat itu. Para pemeluk Islam yang berasal dari budak, fakir, dan miskin lah yang selalu mendapatkan perundungan dari orang-orang Quraisy. Mereka memandang meskipun telah berpindah keyakinan, orang-orang yang telah memeluk Islam tetap diposisikan sebagai kelas rendah dalam struktur sosial Mekah saat itu.

Sosok Umar bin Khattab adalah sebuah paradoks yang terus dikaji oleh orang-orang modern. Bagaimana seorang yang berwatak keras sekaligus memiliki kebeningan hati dan keseimbangan mental? Dari sudut pandang kejiwaan, watak keras seorang Umar hingga dirinya mendapatkan sebutan Al-Faruq tidak lebih disebabkan oleh kejujurannya sebagai basis mental dirinya. Sudah tentu, hanya di tangan orang-orang jujur dan tegas inilah kodifikasi awal atau pengumpulan mushaf Al-Quran dapat dikerjakan dan terhindari dari manipulasi ayat. Pengumpulan ayat-ayat yang tersurat dalam berbagai media saat itu membutuhkan ketelitian, kejujuran, dan keluwesan agar terhindar dari prasangka golongan yang mulai mencuat kembali di masa kepemimpinan Umar.

Umar telah berhasil membuka jendela masuk pengkodifikasian Al-Quran ke tahap berikutnya di masa Utsman bin Affan. Kodifikasi menjadi cara baru bagi umat Islam awal yang belum pernah dialami di masa Rasulullah. Proyek raksasa yang harus dilandasi oleh kejujuran ini merupakan konsensus baru yang terjadi di masa sahabat. Peristiwa ini menjadi penanda kelahiran babak baru pemikiran umat Islam yang memiliki pengaruh signifikan pada abad-abad berikutnya.

Kodifikasi Al-Quran merupakan ijtihad kedua para sahabat setelah sebelumnya membangun kesepakatan bersama terhadap suksesi kepemimpinan dalam tubuh umat Islam yaitu penentuan penerus Rasulullah kepada Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya. Sudah jauh-jauh hari, Islam telah membuka diri dalam hal penggunaan nalar agar keagamaan dan cara umat dalam beragama selalu relevan dengan situasi dan perkembangan zaman. Tradisi salaf atau generasi terdahulu adalah generasi yang gemar berpikir jernih, mengkolaborasikan wahyu, nalar, dan sanubari.

Umar pernah mengunjungi Baitul Muqoddas, saat itu telah dihuni oleh komunitas-komunitas penganut keyakinan lain. Dalam beberapa kisah disebutkan, Umar melakukan praktik ibadah di dekat (luar) salah satu gereja sebagai bentuk penghormatan dirinya kepada orang lain dalam wujud hubungan baik sesama manusia. Tidak jauh berbeda dengan Rasulullah, Umar melakukan praktik yang sama dalam memperlakukan komunitas dan pemeluk keyakinan lain sebagai saudara sekemanusiaan yang harus dihormati.

Tidak pernah memaksakan keyakinan dan ajaran Islam kepada orang-orang yang telah menganut agama misalnya Kristen dan Yahudi. Umar tidak pernah memasuki wilayah politis dan menyeret Islam pada wilayah profan dan semu. Ia menyadari, ayat Al-Quran juga telah mewanti-wanti bahwa umat manusia akan selalu hadir dalam keberagaman dan kepelbagaian, keniscayaan yang tidak mungkin ditolak oleh manusia. Sama dengan pengalaman dirinya, ia memeluk Islam tanpa dipaksa oleh siapa saja. Islam menghendaki seluruh manusia pasrah terhadap kesadaran nalariah dan naluriah.

Hanya di tangan manusia seperti Umar inilah, wahyu Allah SWT dapat dikumpulkan dan pada babak kehidupan berikutnya mampu memberikan pengaruh cukup luas baik terhadap pemikiran, peradaban, dan perilaku masyarakat dunia. Kendati demikian, rongga-rongga perpecahan di dalam tubuh umat yang baru berusia remaja ini juga semakin membesar ditandai oleh keberadaan faksi-faksi yang mengklaim bahwa tindakan mereka telah bersesuaian dengan Al-Quran.

Tragedi terjadi di akhir kepemimpinan Umar bin Khattab, seorang pemimpin tegas ini meninggal di masa kecamuk pertengkaran beberapa faksi dibunuh oleh Fairuz atas kekecewaan dirinya. Cara-cara kebodohan yang mereka pandang sebagai muruah (kehormatan) justru dipraktikkan kembali dengan membunuh orang-orang yang telah mengikrarkan syahadat namun dipandang sesat oleh pihak-pihak yang merasa diri sebagai paling benar dalam menafsirkan ajaran. Tubuh Umar bersimbah darah pada 25 Dzulhijjah 23 H.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Samudera Kehidupan yang Tak Pernah Surut (Bagian II)"