Babak Baru Teori Kehadiran Alam Semesta



Para filsuf alam telah mencoba menyodorkan jawaban sementara atau hipotesis terhadap kehadiran alam semesta. Secara keseluruhan, kendati cakrawala pemikiran hingga abad ke 5 SM masih diwarnai oleh mitos dan dipengaruhi secara kuat oleh mitologi, para filsuf ini telah memulai babak baru melalui pandangan bahwa kehadiran alam bermula dari ketiadaan. Kesadaran ini telah menggugah para filsuf untuk mengajukan hipotesis –bukan awal mula kehadiran alam- dari mana dan apa sumber pembentukan alam ini. Pada tahap peralihan dari alam mitologi ke kosmologi ini, manusia baru sampai pada fase membicarakan alam atau makrokosmos secara luas, belum menyentuh pada pembahasan dirinya sendiri atau mikrokosmos.

Sebelumnya, 30 abad sebelum para filsuf Yunani merancang sebuah dialektika tentang kehadiran alam, masyarakat Mesir dan Mesopotamia telah melakukan sejumlah analisa dan penelitian terhadap alam, terutama benda-benda langit. Mitos-mitos yang dihadirkan cenderung dipengaruhi oleh keberadaan makrokosmos ini. Konsep Amun Ra tidak akan pernah muncul di Mesir Kuno jika matahari tidak memancarkan cahaya seperti yang kita lihat sampai saat ini. Konsep “Matahari” atau Surya sebagai kuasa tertinggi banyak ditemukan di dalam peradaban yang membentang sepanjang khatulistiwa.



Di wilayah subtropis, konsep keilahian lebih banyak dipengaruhi oleh penanda pergantian musim, misalnya rasi bintang, kemunculan bintang berekor. Walakin, secara perlahan, pandangan bahwa matahari sebagai salah satu dewa tertinggi yang semula hanya dianut oleh masyarakat sepanjang khatulistiwa, solis invictus pun pada akhirnya memiliki pengaruh kuat terhadap peradaban di wilayah subtropis.

Sekilas, konsep kosmologi kuno bagi masyarakat modern nampak hanya sekadar mitos-mitos tanpa kejelasan nalar yang logis. Padahal, ikhtiar yang sudah dilakukan oleh para cerdik pandai tersebut merupakan serangkaian hasil penelitian di masanya. Paling tidak, mereka telah melakukan keberanian membaca pertanda alam dan berusaha membuka tabir kehadiran alam semesta. Tanpa mitologi yang telah dikembangkan selama ribuan tahun oleh manusia, kehadiran dunia logos melalui langkah-langkah ilmiah tidak akan pernah dikemukakan oleh para filsuf alam Yunani.

Mitologi Yunani menyebutkan kuasa tertinggi dipegang oleh Zeus, seorang tetua para dewa yang bersemayam di Olimpus, memiliki kekuatan supernatural, mampu menciptakan petir, melakukan kolaborasi dengan Poseidon yang berperan penting dalam proses terjadinya hujan telah memantik para filsuf alam untuk menelaah peristiwa dan kejadian alam melalui perspektif lain, pandangan dari manusia dan dapat diakui keabsahannya secara keseluruhan. Darinya telah melahirkan apa yang kita sebut sebagai filsafat alam.



Masyarakat padang pasir mengambil cara baru dalam menghadirkan benda langit ke dalam tradisi mereka. Para kafilah pengembara terbiasa melakukan perjalanan di malam hari sudah sepatutnya mereka menghaturkan terima kasih kepada bulan dan bintang sebagai penerang dan pedoman arah mata angin. Sampai era pra-Islam, masyarakat Arab memuja dewa air dan bulan sebagai kuasa tertinggi yang telah melindungi mereka dari generasi ke generasi. Kita jarang menemukan bentuk pemujaan kepada helios atau dewa matahari di dalam kehidupan masyarakat Arab Kuno. Makrokosmos atau jagat besar bernama alam telah ditempatkan sebagai hal besar dan memiliki pengaruh magis bagi kehidupan manusia saat itu.

Penelitian terhadap alam mulai digagas oleh para filsuf alam pada abad ke-5 SM. Para ilmuwan awal ini telah membuat jawaban-jawaban tentang peristiwa alam. Misalnya, sebelum para filsuf alam mengemukakan teori penguapan, keyakinan terhadap kekuatan Zeus, Jupiter, dan Ishtar sebagai penyebab hujan masih dipegang teguh oleh masyarakat saat itu. Konsep baru tentang penyebab peristiwa alam yang menyatakan hujan yang turun ke bumi sebagai rangkaian peristiwa evaporasi benar-benar dipandang hal aneh oleh masyarakat. Saat Rasulullah membacakan ayat tentang penciptaan, masyarakat Mekah saat itu nampak tertegun, heran, dan menertawakan gagasan yang benar-benar baru. Dan gagasan tentang penyebab kejadian alam pun tidak lepas dari bahan guyonan masyarakat mitologis.



Orang-orang yang memiliki pandangan peristiwa alam sebagai akibat dari rangkaian alamiah dan dapat diterima oleh akal merupakan kelompok minoritas. Pada babak berikutnya, konsepsi penciptaan alam mulai memasuki ranah keyakinan. Jadi, secara garis besar pada masa ini telah terbentuk tiga kelompok manusia dalam memandang alam; mitologis, naturalis, dan spiritualis.

Aliran spiritualis tidak sepenuhnya menyangkal konsepsi mitologis, juga tidak sepenuhnya menerima konsep baru yang dikemukakan oleh para filsuf alam. Dalam aliran spiritualitas masih dihadirkan konsepsi mitologi terhadap peristiwa alam misalnya peristiwa hujan dibantu oleh malaikat. Atau dapat saja, penafsiran terhadap pesan-pesan Tuhan saat itu masih dipengaruhi oleh transisi pemikiran dari mitos ke logos.



Di samping itu, ayat-ayat Tuhan sering mengungkapkan peristiwa alam sebagai hal yang benar-benar alamiah saja, serupa dengan pandangan kaum naturalis. Misalnya, salah satu ayat di dalam Al-Quran menyebutkan: setiap benda langit berjalan di garis edarnya masing-masing. Bagi masyarakat modern yang telah mencerap pengetahuan tentang astronomi hal ini dapat diterima, namun bagi masyarakat Arab Kuno, gagasan baru mengenai peristiwa alam seperti ini menjadi hal menggelikan karena mereka telah menaruh keyakinan benda-benda angkasa dijaga oleh masing-masing dewa yang memikul beban untuk menggerakkannya.

Pandangan kelompok spiritualis mulai mengkonvergensikan alam mitos dengan logos. Penyebutan ungkapan “banyak alam” di ayat kedua Al-Fatihah: Alhamdulillahi Robbil Alamin, merupakan pandangan baru saat itu mengingat masyarakat baru meyakini dua alam kehidupan: alam manusia dan alam kahyangan. Hal serupa dialami oleh kaum naturalis, mereka baru menyentuh dua pembahasan tentang alam: alam nyata yang dapat dibuktikan oleh serangkaian penelitian dan alam khayal fantasi kebalikan dari alam pertama. Ayat kedua surat Al Fatihah ini, jika dicerna secara mendalam merupakan rangkaian fase keberadaan alam yang akan terus diteliti oleh manusia.



Manusia modern termasuk para cendekiawan tidak boleh menyalahkan pandangan manusia-manusia di masa lalu tentang alam. Cakrawala berpikir mereka berbeda dengan manusia sekarang yang jauh lebih maju dari pada pikiran manusia masa lalu. Atau dapat saja, justru sejumlah penemuan modern dan mutakhir di bidang astronomi saat ini hanya sekadar untuk membuktikan pandangan manusia-manusia sebelumnya dalam bentuk penafsiran lain. Misalnya, badai yang disebabkan oleh amukan Poseidon menurut pemahaman mitologis telah ditafsirkan secara berbeda oleh manusia modern sebagai peristiwa alam yang disebabkan oleh pengaruh panas dan dingin yang sangat ekstrim. Orang modern menafsirkan Poseidon sebagai cuaca dan iklim.

Paling tidak, tiga aliran yang telah saya sebutkan sebelumnya masih meyakini pengaruh adikodrati terhadap alam. Kemunculan teori-teori baru tentang kelahiran alam semesta di era modern telah menyeret peneliti dan cendekiawan pada kutub yang lebih ekstrim dari hakikat ilmu pengetahuan kendati mereka tetap mengatasnamakan ilmu pengetahuan sebagai landasan berpijak mereka. Kutub yang diisi oleh mereka yaitu atheisme, pandangan yang lahir di abad ke 6 SM namun baru memiliki pengaruh signifikan di abad ke 17 sebagai perlawanan serius terhadap hegemoni agama di Eropa saat itu.



Pada akhirnya atheisme membuka perlawanan juga kepada seluruh kelompok yang masih mempercayai kekuatan adikodrati dan supernatural. Sebenarnya antara kaum atheis dengan fundamentalis agama memiliki kemiripan, mereka telah banyak menafsirkan ayat dan wahyu Tuhan secara keliru. Seorang atheis pernah menertawakan demi membaca ayat: Tuhan telah menciptakan langit dan bumi selama enam hari. Sikap seperti ini muncul karena dirinya hanya memahami ayat dari perspektif terjemahan, bukan dilihat dari kedalaman makna.

Babak baru teori tentang kehadiran alam yang dikemukakan oleh para astronom telah mulai membahas pluralitas alam. Akhir-akhir ini, masyarakat modern mulai diperkenalkan pada teori multiverse atau versi keberagaman alam. Lima teori tentang alam semesta yang telah melalui jalur panjang sejarah perdebatan, mulai dari teori ledakan, teori keadaan tetap, teori alam yang terus meluas dan mngembang, teori alam semesta kuantum, dan teori kelanjutan dari Big Bang.

Kehadiran dan proses terbentuknya alam pada akhirnya memasuki era baru, zaman di mana alam kembali diposisikan bukan sekadar hukum tetapan yang dapat dihitung oleh angka-angka pasti, melainkan merupakan rangkaian misterius yang bersifat relatif dalam waktu bersamaan. Semua teori tentang alam berdampak baik bagi kehidupan, termasuk terhadap cara baru dalam memberikan penafsiran ayat-ayat tertulis. Bagi saya, seluruh fenomena di alam ini merupakan wahyu dan ayat-Nya yang harus terus ditafakuri, ditadabburi, dan tadzakkuri.

Posting Komentar untuk "Babak Baru Teori Kehadiran Alam Semesta"