Ar-Rahmah: Masjid yang Memancarkan Welas Asih



Teman-teman alumni SMA Negeri 1 angkatan 1998 pekan ini telah mengimplementasikan niat mereka merenovasi masjid Ar-Rahmah di lingkungan sekolah. Kegiatan ini dipicu oleh kesadaran para alumni terhadap betapa penting tempat ibadah dan ruang kajian keagamaan yang layak dimiliki oleh almamater. Di sisi lain, masjid Jami Bahrul Ulum sudah tidak dapat menampung jumlah siswa saat mereka menunaikan salat berjamaah.

Atas alasan di atas, para alumni SMA Negeri 1 angkatan 1998 dalam waktu satu bulan ini telah membuat formula yang tepat agar masjid Ar-Rahmah kembali dapat digunakan oleh para siswa perempuan dalam aktivitas keagamaan mereka. Ikhtiar bersama ini mulai terwujud pada Minggu lalu melalui kegiatan peresmian pembangunan (renovasi)masjid Ar-Rahmah di SMA Negeri 1 Kota Sukabumi.

Sebagai salah seorang alumni angkatan 1998, saya sudah tentu harus ikut urun rembug dalam kegiatan-kegiatan positif para alumni. Termasuk memberikan pandangan-pandangan dari berbagai persepektif agar proses pembangunan masjid tidak keluar dari koridor; keagaman, sosiokultural, dan etika. Bagi saya, renovasi masjid Ar-Rahmah harus memancarkan nilai welas dan asih sebagaimana makna tersurat dari kata Rahmah. Sikap welas dan asih ini mewujud dalam kegiatan pengumpulan dana secara sukarela oleh para alumni. Sampai tulisan ini dimuat –dalam waktu tiga pekan- telah terkumpul Rp. 81,5 juta hasil urunan para alumni.

Pembangunan dan renovasi masjid juga harus memperhatikan aspek sejarah dan sosiokultural. Agar keberadaan sebuah masjid memiliki keterhubungan dengan linimasa sejarah. Sehingga, masjid yang didirikan tidak sepi dari kegiatan positif, memancarkan nilai kebaikan. Pendirian masjid tidak boleh didasarkan atas “Dhirar” sikap persaingan tidak sehat, kompetitif kurang apik, dan memiliki sangkaan masjid yang didirikan ini sebagai masjid terbaik dari yang lainnya.

Ada sekelumit kisah, bagaimana sebaiknya masjid didirikan dan apa saja landasan yang tepat dalam pendiriannya. Kisah ini perlu dinarasikan agar sebagian besar umat Islam memiliki pijakan yang tepat, pendirian masjid bukan untuk mempertontonkan kemegahan arsitekturnya saja, walakin harus menampilkan ruh masjid yang sesungguhnya. Jika hal ini diabaikan, seperti disebutkan dalam sebuah hadits, pendirian masjid dengan arsitektur megah justru menjadi salah satu tanda dari zaman akhir.

Masjid merupakan salah satu entitas bangunan yang terhubung dengan sosiokultural masyarakat. Secara etimologi, masjid memiliki arti tempat bersujud atau beribadah. Hal ini merujuk pada kata dasar masjid yaitu “sajada”. Pendirian masjid telah berlangsung di masa formatif Islam, didirikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW di sebuah perkampungan terluar Yatsrib yaitu Quba pada tahun pertama Hijriyah.

Atas dasar apa Rasulullah mendirikan masjid Quba sebuah kota terluar dari Yatsrib dan berjarak 5 kilometer? Dasar pendirian masjid Quba yaitu ketakwaan Rasulullah bersama para sahabat. Jika saja, kita saat itu hadir dalam kegiatan pendirian masjid Quba, hal paling awal yang terlintas dalam pikiran adalah pertanyaan sederhana: kenapa masjid pertama didirikan di luar kota Yatsrib. Bukankah seharusnya masjid pertama didirikan di kota tujuan hijrah?

Pertanyaan di atas memerlukan jawaban berdasarkan kajian, tidak sekadar mengedepankan asumsi bahwa pendirian masjid Quba memang harus dilakukan oleh Rasulullah bersama para sahabat karena memang diperintahkan oleh Allah SWT. Lagi pula, Tuhan tidak akan memberikan perintah tanpa memiliki pesan penting di dalamnya. Secara geografis pendirian masjid Quba di luar Yatsrib dengan jarak 5 kilometer merupakan hal tepat dilakukan oleh Rasulullah.

Pendirian masjid dengan arsitektur sederhana di Quba sebagai monumen pertama yang mengabarkan pada linimasa sejarah tentang tonggak awal penyebaran Islam di luar Mekah. Saat itu, rumah ibadah bagi bangsa Arab termasuk masyarakat Yatsrib harus ditempuh berhari-hari ke Kota Mekah. Melalui pendirian masjid Quba, masyarakat Yatsrib dan sekitarnya setelah mengkonversi keyakinan mereka kepada Islam, dapat mengkoneksikan diri mereka ke rumah ibadah (Ka’bah) hanya dengan mendirikan salat di masjid Quba. Ritual ibadah tidak hanya tahunan dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sumber daya finansial, juga oleh siapa saja.

Sejarah pendirian masjid pertama oleh Rasulullah telah memantik para penyebar Islam di kemudian hari. Para Wali Songo tidak sekadar asal membangun masjid melainkan melalui proses perenungan dan kejernihan pikiran. Penentuan tempat masjid didirkan agar efektif dilakukan melalui konsepsi macapat, setiap bangunan termasuk masjid harus terintegrasi dengan bangunan lainnya. Jika diilustrasikan, denah macapat ini merupakan proyeksi dari tritangtu dalam kehidupan; karatuan, karasian, dan karamaan. Ada keterhubungan horizontal antara dunia spiritual (rama), sosial (ratu), dan intelektual (rasi/resi).

Keterhubungan vertikal arsitektur masjid yang didirikan oleh para Wali Songo terlihat pada bagian atap. Masjid sebagai tempat ibadah, manusia menghamba, diproyeksikan sebagai tingkat kesadaran manusia terhadap hal transenden pada bagian atap paling atas. Tiga susun atap masjid adalah gambaran tingkat kesadaran manusia; kamadathu, rupadathu, dan arupadathu. Selebihnya, kehadiran tiga tingkat manusia menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan di dalam masjid. Sebuah ruangan diisi oleh berbagai manusia dari latar belakang berbeda. Para Wali Songo memahami bagaimana cara efektif memberikan kesadaran kepada manusia saat itu melalui simbol sekaligus memberikan penafsiran tentangnya.

Awal didirikan, masjid Quba merupakan bangunan sederhana, memiliki tiang-tiang dari pohon kurma. Dari beberapa sumber sejarah disebutkan bagian atapnya juga terbuat dari pelepah daun kurma. Secara sufistik, bentuk sederhana arsitektur masjid ini hendak menihilkan kemelekatan dengan materi duniawi, karena saat di dalam masjid, manusia memang harus bersimpuh dan melenyapkan residu-residu dunia. Jalan sufi telah menunjukkan kepada kita melalui sebuah pertanyaan: Bagaimana Tuhan dapat kamu temui, sementara kamu lebih banyak terlentang di atas kasur-kasur mewah? Sama halnya dengan kita mencari-cari pohon pisang di sebuah atap bangunan, mustahil kita mendapatkannya.

Pemugaran masjid dari arsitektur tradisional ke modern dilakukan atas alasan kemendesakan. Masjid Quba diperbaharui di masa Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, karena terjadi akulturasi budaya, masjid dilengkapi oleh menara, sebuah bangunan menjulang tinggi yang diadaptasi dari budaya Persia (manarah, tempat api suci para penganut Zoroaster). Umat Islam tidak lagi menjadikan menara sebagai tempat penyimpanan api, walakin dijadikan tempat muadzin mengumandangkan panggilan awal waktu salat. Akulturasi menjadi ciri khas keluwesan Islam, menerima kebiasaan dengan tidak melenyapkan keabsahan teologi.

Sama halnya dengan para penyebar Islam di Nusantara, arsitektur masjid merupakan perpaduan konsepsi lintas pemahaman. Masjid besar didirikan di pusat kota dan tetap diberi nama masjid. Walakin, para Wali Songo menyadari daya jangkau masjid besar sangat terbatas, maka mereka mendirikan tempat ibadah berukuran kecil di perkampungan terjauh dari pusat kota. Untuk menghargai para leluhur, mereka memberi nama “langgar” kepada tempat ibadah berukuran kecil dan sederhana ini. Keberadaan “langgar” diterima oleh masyarakat karena bangunan ini merupakan adaptasi dari “sanggar” tempat penganut Kapitayan melakukan ritual ibadah.

Bedug dan kohkol dijadikan ornamen penting di setiap masjid dan langgar. Dua perkakas ini menjadi ciri khas kehadiran masjid dan langgar di Nusantara. Bedug ditalu setiap awal waktu salat sebelum adzan. Ini menjadi pertanda penting bagi masyarakat yang sedang beraktivitas di luar jangkauan suara adzan tanpa pengeras suara. Bunyi tabuhan bedug juga menjadi pertanda waktu bagi masyarakat, kapan mereka memulai beraktivitas, beristirahat, dan berhenti dari pekerjaan.

Waruga atau bentuk masjid yang didirikan oleh Rasulullah dengan kesederhanaannya pada akhirnya mampu menampung manusia-manusia yang benar-benar pasrah kepada Tuhan. Salat berjamaah di dalam masjid Quba diawali oleh pengakuan atas kemahabesaran Allah, kemudian diiringi oleh sikap “sidakep”, swa berarti ego dan dikep berarti menahan, artinya “sidakep” merupakan sikap menahan ego agar tetap berada di dalam diri, tidak dikeluarkan dalam bentuk egosentris, merasa paling benar dan besar, merasa semua harus direngkuh, dan besar kepala dalam corak egois.

Seluruh umat Islam menjadi sama dan setara saat berada di dalam masjid. Seluruh manusia dari berbagai lapisan dan strata sosial berdiri menunduk, ruku merengkuh, dan sujud bersimpuh di hadapan Dia Yang Maha Agung. Seorang imam menempati ruang hampa di depan masjid, simbol dari kehampaan diri atau suwung dari materi ketika menghadap Allah yang “tan kena kinaya ngapa”, Dia Yang Tidak Melekat dan Dipengaruhi oleh Apapun. Maka, renovasi masjid Ar-Rahmah oleh para alumni SMA Negeri 1 Kota Sukabumi angkatan 1998 adalah suatu cara mengimplementasikan nilai dalam praktik salat, memenjarakan sikap keakuan agar tidak keluar dari dalam diri.

Dimuat Radar Sukabumi, 24 Mei 2023

Posting Komentar untuk "Ar-Rahmah: Masjid yang Memancarkan Welas Asih"