Hayu Balik Membersamai Sukabumi



Teman-teman alumni SMA Negeri 1 Angkatan 1998 telah membuat rencana kegiatan Reuni Perak dengan tagline (slogan) Hayu Balik!!!. Reuni Perak merupakan agenda tahunan setiap alumni SMANSA saat -memasuki usia- 25 tahun setelah kelulusan. Acara yang sama mungkin saja dilakukan oleh sekolah-sekolah lain, bukan hanya oleh para alumni SMANSA.

Tagline atau slogan Hayu Balik!!! tidak semata-mata teman-teman mengajak kepada para alumni yang ada di luar Sukabumi untuk pulang ke kampung halamannya. Lebih dari itu, spektrumnya lebih luas. Dari perspektif saya, slogan ini memuat beberapa pesan. Pertama, Hayu Balik!!! adalah ajakan kepada siapa saja, orang-orang Sukabumi yang ada di luar kota agar tetap mengedepankan sikap “tong poho tincakeun jeung ti mana asal urang”, tidak melupakan dari mana kita berasal.

Dalam konsep kasundaan, semangat ini diilhami oleh apa yang pernah ditulis oleh seorang raja Sunda abad ke 13, Prabu Darmasiksa: “Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké”, ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu maka tak ada sekarang. Apa yang ditulis oleh Prabu Darmasiksa di dalam naskah Amanat Galunggung menyiratkan agar siapapun memiliki kesadaran terhadap masa lalu, dengan tidak mengesampingkan masa sekarang.

Kedua, Hayu Balik!!! menjadi penanda awal setelah manusia mencapai klimaks dalam puncak hidup. Seseorang yang telah mendapatkan kepuasaan lahir dan batin atau sebaliknya merasa bosan dengan cara yang ditempuh biasanya merindukan suasana masa lalu, situasi ketika hidup dipenuhi oleh aneka warna. Pandangan ini memang tidak sejalan dengan jalan hidup para penganut Stoa yang mengukuhkan hidup harus terus mengalir.

Hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk lainnya, mungkin hanya manusia yang dapat melakukan regresi, mengakses berkas-berkas masa lalu agar hadir di masa sekarang. Secara sederhana, Hayu Balik!!! adalah sebuah ajakan kepada siapa saja agar dalam hidup ini –sesekali – diisi oleh permenungan.

Manusia sering memandang dirinya berbeda dengan binatang, mesin cerdas, dan makhluk lainnya hanya karena memiliki akal pikiran dan kesadaran. Kecerdasan buatan dapat mengalahkan kemampuan manusia dalam kondisi tertentu, ketika gawai cerdas berkekuatan AI ada di tangan manusia.

Tanpa dioperasikan oleh manusia, mesin cerdas sepintar apapun tidak memiliki kemampuan untuk menarasikan suatu hal. Pencarian Google, Bing, dan mesin lainnya tidak memiliki kemampuan memaparkan suatu hal tanpa diperintah oleh manusia. Pada dasarnya algoritma mesin cerdas merupakan kumpulan informasi yang dibenamkan oleh manusia sendiri secara daring.

Mesin cerdas menjadi pintar di hadapan manusia yang mengajukan banyak pertanyaan. Dengan dalih apapun, pihak yang ditanya memang harus lebih cerdas dari penanya. Hayu Balik!!! merupakan ungkapan agar manusia kembali kepada dirinya sendiri sebagai makhluk berkesadaran. Kegiatan Reuni Perak atau manusia membuat perkumpulan dan komunitas pun disebabkan oleh kesadaran. Tanpa memiliki kesadaran, teman-teman alumni tidak akan mengerti dalam menentukan dan merencanakan reuni.

Budaya Sunda memiliki terma dan konsep tersendiri tentang kesadaran. Misalnya, bagi seseorang yang tetap menapaki jalan kehidupan yang kurang tepat dan baik, orang-orang akan mengingatkannya dengan pertanyaan: “Iraha arék babalik pikir?” Atau “Iraha arék sadar?”.

Orang-orang Sukabumi yang ada di luar kota juga sudah seharusnya memiliki sikap yang sama, harus menyadari dan sadar diri mengenai asal-usul dirinya. Ini bukan berarti orang-orang yang tetap tinggal di Sukabumi jauh lebih sadar dari mereka yang berada di luar kota. Orang Sukabumi pituin juga mungkin saja masih gamang dan tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada di Sukabumi. Poho tincakeun.

Tidak dimungkiri, Sukabumi memerlukan sentuhan tangan orang-orang yang memiliki kesadaran dalam membersamai wilayah ini. Paling tidak, kesadaran ini berbanding lurus dengan rasa memiliki yang diperlihatkan oleh orang-orang Sukabumi sendiri. Harus diakui, orang Sukabumi sendiri lah yang memiliki ikatan emosional, lahir, serta batin dengan wilayahnya. Serupa dengan tubuh, ia akan bergerak dan berfungsi secara normal dan baik ketika anasir tubuh bekerja efektif sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Semua orang mungkin sudah memahami hal ini.

Kesadaran dapat mengikis sikap “lupa daratan”. Idiom “lupa daratan” tidak muncul begitu saja, walakin dipengaruhi oleh narasi kisah dari generasi ke generasi. Tradisi Sunda tidak pernah mengenal idiom ini, namun memiliki padanan serupa tentangnya. Dugaan sementara, kemunculan idiom ini dipengaruhi oleh –misalnya – kisah Malin Kundang, seorang anak kampung yang melakukan pengembaraan dan petualangan menjadi seorang saudagar.

Sikap lupa daratan yang dipraktikkan oleh Malin Kundang telah menempatkan dirinya sebagai seorang anak durhaka. Orang-orang Sukabumi tentu saja tidak menginginkan labelisasi “anak durhaka” disematkan kepada dirinya karena dalam salah satu episode hidup pernah meremehkan atau melupakan kampung halamannya sendiri.

Migrasi atau berpindah tempat merupakan bentuk dinamika makhluk sosial. Masyarakat Sunda seperti orang-orang Sukabumi dipengaruhi secara besar oleh genetika dan karakter khas leluhurnya yang memilih lebih banyak mendiami satu kawasan permukiman. Berpindah tempat tidak menjadi pilihan utama masyarakat Sunda tradisional. Kondisi alam berkelimpahan sumber daya dan pangan menjadi alasan khusus bagi sebagian besar masyarakat Sukabumi tidak melakukan migrasi ke tempat terjauh dari kampung halamannya.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, wilayah Sukabumi justru merupakan tempat tujuan para leluhurnya. Migrasi besar-besaran ras Proto dan Deutro Melayu dipengaruhi oleh peningkatan populasi dan kebutuhan terhadap sumber pangan. Tatar Pasundan, tanpa kecuali Sukabumi, menjadi wilayah tujuan migrasi leluhur manusia. Mereka menetap di wilayah pedalaman yang berkelimpahan sumber daya. Selama kurun waktu ribuan tahun, leluhur manusia Sunda telah memiliki struktur sosial, terjadi perubahan dari nomaden ke menetap.

Mereka telah mewarnai dan membersamai wilayah yang kemudian hari dinamakan Sukabumi. Warna dan karakter utama penduduk Sukabumi yaitu kerasan tinggal di tanah kelahirannya. Mereka jarang bermigrasi ke tempat jauh. Sejak anak-anak, orang Sukabumi mengenal babasan: ulah sok paraséa, bisi pajauh huma! Artinya, konflik menjadi hal tabu bagi masyarakat Sukabumi, karena dengannya hanya akan menimbulkan perpisahan baik secara sosial kultural juga personal.

Nama Sukabumi merupakan perpaduan karakter manusia Sukabumi dengan lingkungannya. Shuka dan Bhumi, senang menetap karena lingkungan yang nyaman, sejuk, dan berkecukupan. Hanya dengan melihat etimologi dua kata ini saja, sudah semestinya penduduk Sukabumi hidup serba berkecukupan. Lingkungan sejuk harus menjadi rujukan kemunculan sebuah peradaban. Konflik berkepanjangan jarang ditemukan di lingkungan agraris atas alasan tidak ada hal yang perlu diperdebatkan, dipertengkarkan, dan dibatasi oleh cara pandang sempit harus ada yang berkuasa dan dikuasai.

Leluhur Sukabumi memberikan sebutan kepada orang-orang yang dituakan dengan istilah pupuhu, orang yang telah meninggalkan kemelekatan dengan materi karena lebih memandang hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Orang-orang yang telah memutuskan kemelekatan dengan materi dan membangun hubungan vertikal dengan Yang Adikodrati akan lebih mudah menyelesaikan urusan horizontal dengan sesama manusia. Atas alasan inilah, struktur sosial masyarakat Sukabumi di masa lalu lebih tertata rapi, tidak mudah larut dalam konflik horizontal.

Hayu Balik bukan sekadar slogan berisi ajakan kepada para diaspora Sukabumi yang ada di luar kota. Lebih dari itu, berisi ajakan agar kita dapat meregresi diri kemudian membawa berkas masa lalu, kebijaksanaan leluhur kita, dan kearifan lokal orang-orang terdahulu ke masa kini yang sarat dengan sikap pragmatis, transaksional, dan pupulur méméh mantun atau materialis.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Hayu Balik Membersamai Sukabumi"