Facebook (Unsplash.com)
Situasi dan kondisi zaman modern telah diprediksi oleh – dari mulai para futuris, pakar ilmu sosial, hingga para orangtua kita- memang akan seperti yang kita alami sekarang. Kakek saya bukan seorang ilmuwan apalagi seorang peramal masa depan, pernah berkata: “Jang, engké mah gambar téh bakal bisa harirup (Jang, gambar di masa depan akan hidup)”. Apa yang dialami oleh saya, dapat saya dialami oleh Anda, mendapatkan semacam prediksi masa depan dari orangtua, kakek, dan nenek.
Pelafalan prediksi oleh kakek saya tersebut dapat saja dipengaruhi oleh pengalaman kakek yang pernah menonton televisi atau menerima informasi dari orang lain tentang keberadaan bioskop. Yang jelas, saat kecil, saya belum mampu mencerna apalagi menafsirkan apa maksud dari perkataan kakek. Baru saya sadari ketika televisi bukan lagi menjadi barang mewah, setiap rumah telah memiliki televisi warna, disempurnakan oleh VCD dan DVD Player di awal tahun 2000an. Nyatanya memang benar, gambar-gambar dalam televisi terlihat hidup.
Revolusi teknologi informasi bergerak lebih cepat daripada revolusi industri, apalagi jika dibandingkan dengan dua revolusi sebelumnya: revolusi kognitif dan agrikultur. Dua revolusi yang dialami oleh nenek moyang manusia memerlukan waktu hingga puluhan ribu tahun, namun revolusi teknologi informasi atau sering dibahasakan dengan sebutan Revolusi Industri 4.0 hanya memerlukan waktu puluhan tahun. Manusia telah terintegrasi secara daring dengan banyak hal. Bahkan, Revolusi Industri 5.0 pun sebetulnya akan dialami oleh manusia dalam waktu dekat ketika piranti buatan manusia bukan hanya sekadar memiliki kecerdasan (AI) juga telah dilengkapi dengan kesadaran dan perasaan.
Sejak para futuris seperti John Naisbitt dalam Megatrends 2000 dan Global Paradox memprediksi masa depan umat manusia, lonjakan teknologi hanya memerlukan waktu satu dekade. Ponsel sederhana mulai diproduksi dan dimiliki oleh umat manusia di awal milenium kedua. Manusia modern jarang yang menyadari, ponsel sederhana (misalnya Nokia Jadul) merupakan mesin cerdas yang di dalamnya dilengkapi dengan algoritma. Di awal tahun 2000, kepemilikan ponsel sangat terbatas, hanya dimiliki oleh orang tertentu. Lumrah terjadi, selain produksi dan distribusi terbatas, syarat utama penggunaan ponsel dan pembangunan infrastruktur pendukungnya juga masih baru dimulai.
Invasi ponsel produk negeri Tiongkok pada dekade pertama tahun 2000 mulai memperlihatkan ancaman bagi negara-negara yang sebelumnya menjadi pionir pembuatan ponsel. Kebangkitan ekonomi Tiongkok telah diprediksi dalam Global Paradox. Semula, bukan hanya ponsel, termasuk apa pun yang diimpor dari Tiongkok dipandang sebelah mata, hanya ilusi negara yang baru berkembang dapat mengalahkan raksasa ekonomi global, barang tiruan, dan dianggap produk mudah rusak. Tidak memerlukan waktu sepuluh tahun, ponsel dan produk Tiongkok sudah menguasai pasar global dengan bergaya jenama, merek, dan emblem berkekuatan teknologi mutakhir. Orang-orang di Indonesia lebih memilih ponsel cerdas Cina dengan harga terjangkau daripada memilih ponsel mahal. Toch hanya digunakan untuk mengobrol secara daring.
Pencarian Google (Unsplash.com)
Selain situasi di atas, babak baru revolusi industri 4.0 juga dicirikan oleh pengembangan mesin-mesin cerdas ke arah yang lebih komprehensif, algoritma tidak sekadar sebagai pelengkap, kecerdasan buatan tidak lagi bersembunyi di dalam ruang terdalam komputer, melainkan telah benar-benar berwujud dan dapat dirasakan langsung oleh manusia. Disadari atau tidak, hampir setiap gerak-gerik manusia modern tidak pernah lepas dari jerat mesin cerdas.
Pemilik ponsel android telah biasa bertanya kepada Google dari bentuk teks hingga suara. Agar lebih terarah sampai ke tujuan, manusia mengandalkan GPS. Pemilik iPhone terbiasa bertanya pada Siri. Jika tidak disikapi secara bijaksana, pengembangan mesin cerdas dan kecerdasan buatan semakin masif dan para investor memberikan dukungan finansial terhadapnya, manusia akan sampai pada era bioteknologi yang mengerikan. Bahkan dapat saja mengancam keberadaan spesies manusia.
Tidak ada pilihan lain, manusia harus memiliki sikap bijak dalam mengembangkan dan menggunakan mesin cerdas. Pada dasarnya tidak ada kecerdasan buatan tanpa peran dari manusia. Dukungan penuh terhadap pengembangan kecerdasan buatan harus diimbangi oleh proyek-proyek yang mendukung peningkatan kualitas dan kesadaran umat manusia. Kesenjangan antara pertumbuhan kecerdasan buatan dengan kurangnya proyek kemanusiaan, dikhawatirkan akan melahirkan pertikaian antara kecerdasan buatan dengan kebodohan alami. Mesin semakin cerdas semetara manusia mengalami kemunduran kogntif hingga ratusan ribu tahun lalu.
Investasi saat ini dan di masa yang akan datang mengarah pada pengembangan segala sesuatu yang bersifat digital, komputasi, dan berbagai platform yang terhubung dengan internet. Keuntungannya memang sangat menggiurkan karena piranti-piranti cerdas ini telah menjadi kebutuhan primer di samping sandang, pangan, dan papan. Walakin, dalam beberapa kasus, investasi secara besar-besaran terhadap pengembangan platform digital tanpa mendahulukan sikap bijak justru telah memunculkan kebangkrutan total seperti dialami oleh Bank Silicon Valley beberapa bulan lalu.
Teknologi memang tidak dimaksudkan agar manusia menjadi makhluk serakah, namun untuk membangun kesadaran manusia dalam memanfaatkannya untuk kebaikan bersama. Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki harus menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia, teknologi menjadi ancaman dan iblis mengerikan saat berada di tangan manusia-manusia berkesadaran rendah. Manusia yang tidak menyadari bahwa orang lain pun manusia.
Mesin cerdas dan kecerdasan buatan –sampai saat ini, entah di masa yang akan datang – belum memiliki kesadaran sendiri, perasaan, dan naluri. Ia hanya memiliki kecerdasan, sebuah piranti lunak untuk menjawab persoalan. Kesadaran sampai saat ini hanya dimiliki oleh manusia, maka siapapun yang memiliki kepentingan untuk menyelamatkan keberadaan manusia, terutama orang-orang super kaya, harus menginvestasikan sumber dayanya terhadap peningkatan kesadaran, ilmu, dan nilai rohani manusia.
Fakta sejarah memang demikian, kematian jutaan manusia yang disebabkan oleh wabah tidak lebih banyak daripada kematian manusia yang disebabkan oleh perang dan penggunaan senjata balistik. Wabah hitam merenggut jutaan manusia dalam kurun waktu delapan belas tahun. Namun, selama Perang Dunia I dan II, hanya dalam waktu singkat, puluhan juta nyawa melayang, ikatan horizontal runtuh, dan kemanusiaan ditempatkan pada lindasan tank-tank perang.
Fitur-fitur kehidupan dapat dijinakkan atau dibanalkan oleh pola pikir dan perilaku manusia. Apapun yang diproduksi oleh manusia dapat menjadi hal yang bermanfaat di tangan manusia bijak. Artinya, algoritma mesin cerdas selain dilengkapi oleh piranti lunak secerdas Einstein juga memiliki sikap sebijak Aristoteles. Kendati demikian, peristiwa-peristiwa yang melibatkan kecerdasan buatan nyatanya lebih didominasi oleh ketidaksanggupan pengguna didikte oleh miliknya sendiri.
Bukan orang lain, saya sendiri sering dihinggapi oleh kecemasan dan merasa tidak tenang ketika ponsel cerdas tertinggal di rumah. Manusia modern tidak akan memperdulikan dompet atau barang lainnya, sementara di saat ponsel cerdas tertinggal di rumah secara sukarela akan putar balik ke rumah. Algoritma ponsel cerdas secara perlahan mengenali perilaku pemiliknya, data-data terkumpul, dikirimkan ke dalam server pengolah mahadata, selanjutnya dikirimkan kembali dalam bentuk rekomendasi: apa yang sebaiknya dilakukan. Atau, kecerdasan buatan mengirimkan pesan memaksa melalui media sosial berdasarkan pada kecenderungan perilaku para pemiliknya. Jangan heran, saat pada dinding Facebook muncul beragam iklan yang cocok dengan keinginan kita untuk memilikinya.
Satu sampai dua dekade ke depan, umat manusia sudah harus memiliki kesadaran alami untuk mematangkan kedewasaan dan pengetahuan daripada harus bertekuk lutut di bawah kekuasaan atau kediktatoran kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan bukan ancaman di saat dipegang oleh manusia bijak. Walakin akan menimbulkan kecemasan ketika dihadapi oleh manusia-manusia yang tidak pernah mau mengakui kenyataan paling mutakhir bahwa kecerdasan buatan memang terus berkembang dan bersanding dengan kita.
Pemilik ponsel android telah biasa bertanya kepada Google dari bentuk teks hingga suara. Agar lebih terarah sampai ke tujuan, manusia mengandalkan GPS. Pemilik iPhone terbiasa bertanya pada Siri. Jika tidak disikapi secara bijaksana, pengembangan mesin cerdas dan kecerdasan buatan semakin masif dan para investor memberikan dukungan finansial terhadapnya, manusia akan sampai pada era bioteknologi yang mengerikan. Bahkan dapat saja mengancam keberadaan spesies manusia.
Tidak ada pilihan lain, manusia harus memiliki sikap bijak dalam mengembangkan dan menggunakan mesin cerdas. Pada dasarnya tidak ada kecerdasan buatan tanpa peran dari manusia. Dukungan penuh terhadap pengembangan kecerdasan buatan harus diimbangi oleh proyek-proyek yang mendukung peningkatan kualitas dan kesadaran umat manusia. Kesenjangan antara pertumbuhan kecerdasan buatan dengan kurangnya proyek kemanusiaan, dikhawatirkan akan melahirkan pertikaian antara kecerdasan buatan dengan kebodohan alami. Mesin semakin cerdas semetara manusia mengalami kemunduran kogntif hingga ratusan ribu tahun lalu.
Investasi saat ini dan di masa yang akan datang mengarah pada pengembangan segala sesuatu yang bersifat digital, komputasi, dan berbagai platform yang terhubung dengan internet. Keuntungannya memang sangat menggiurkan karena piranti-piranti cerdas ini telah menjadi kebutuhan primer di samping sandang, pangan, dan papan. Walakin, dalam beberapa kasus, investasi secara besar-besaran terhadap pengembangan platform digital tanpa mendahulukan sikap bijak justru telah memunculkan kebangkrutan total seperti dialami oleh Bank Silicon Valley beberapa bulan lalu.
Teknologi memang tidak dimaksudkan agar manusia menjadi makhluk serakah, namun untuk membangun kesadaran manusia dalam memanfaatkannya untuk kebaikan bersama. Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki harus menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia, teknologi menjadi ancaman dan iblis mengerikan saat berada di tangan manusia-manusia berkesadaran rendah. Manusia yang tidak menyadari bahwa orang lain pun manusia.
Siri Milik Iphone (Mesin Cerdas)
Mesin cerdas dan kecerdasan buatan –sampai saat ini, entah di masa yang akan datang – belum memiliki kesadaran sendiri, perasaan, dan naluri. Ia hanya memiliki kecerdasan, sebuah piranti lunak untuk menjawab persoalan. Kesadaran sampai saat ini hanya dimiliki oleh manusia, maka siapapun yang memiliki kepentingan untuk menyelamatkan keberadaan manusia, terutama orang-orang super kaya, harus menginvestasikan sumber dayanya terhadap peningkatan kesadaran, ilmu, dan nilai rohani manusia.
Fakta sejarah memang demikian, kematian jutaan manusia yang disebabkan oleh wabah tidak lebih banyak daripada kematian manusia yang disebabkan oleh perang dan penggunaan senjata balistik. Wabah hitam merenggut jutaan manusia dalam kurun waktu delapan belas tahun. Namun, selama Perang Dunia I dan II, hanya dalam waktu singkat, puluhan juta nyawa melayang, ikatan horizontal runtuh, dan kemanusiaan ditempatkan pada lindasan tank-tank perang.
Fitur-fitur kehidupan dapat dijinakkan atau dibanalkan oleh pola pikir dan perilaku manusia. Apapun yang diproduksi oleh manusia dapat menjadi hal yang bermanfaat di tangan manusia bijak. Artinya, algoritma mesin cerdas selain dilengkapi oleh piranti lunak secerdas Einstein juga memiliki sikap sebijak Aristoteles. Kendati demikian, peristiwa-peristiwa yang melibatkan kecerdasan buatan nyatanya lebih didominasi oleh ketidaksanggupan pengguna didikte oleh miliknya sendiri.
Bukan orang lain, saya sendiri sering dihinggapi oleh kecemasan dan merasa tidak tenang ketika ponsel cerdas tertinggal di rumah. Manusia modern tidak akan memperdulikan dompet atau barang lainnya, sementara di saat ponsel cerdas tertinggal di rumah secara sukarela akan putar balik ke rumah. Algoritma ponsel cerdas secara perlahan mengenali perilaku pemiliknya, data-data terkumpul, dikirimkan ke dalam server pengolah mahadata, selanjutnya dikirimkan kembali dalam bentuk rekomendasi: apa yang sebaiknya dilakukan. Atau, kecerdasan buatan mengirimkan pesan memaksa melalui media sosial berdasarkan pada kecenderungan perilaku para pemiliknya. Jangan heran, saat pada dinding Facebook muncul beragam iklan yang cocok dengan keinginan kita untuk memilikinya.
Satu sampai dua dekade ke depan, umat manusia sudah harus memiliki kesadaran alami untuk mematangkan kedewasaan dan pengetahuan daripada harus bertekuk lutut di bawah kekuasaan atau kediktatoran kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan bukan ancaman di saat dipegang oleh manusia bijak. Walakin akan menimbulkan kecemasan ketika dihadapi oleh manusia-manusia yang tidak pernah mau mengakui kenyataan paling mutakhir bahwa kecerdasan buatan memang terus berkembang dan bersanding dengan kita.
Posting Komentar untuk "Kecerdasan Buatan Versus Kebodohan Alami"