Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi (Bagian 3)

Selama satu setengah tahun dilanda pandemi, pengalihan anggaran pembangunan fisik pada fitur pendidikan, kesehatan, dan ekonomi menjadi salah satu kisah menarik. Misalnya, kesehatan menjadi hal paling vital dan mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah di masa pandemi. Aturan dan regulasi di sektor kesehatan selama pandemi telah memaksa pemerintah daerah untuk mengadaptasikan setiap regulasi yang diterbitkan agar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah pusat.

Penyediaan beberapa tempat cuci tangan di beberapa lokasi memang terlihat seperti pengadaan sarana fisik, namun tentu saja keberadaan tempat cuci tangan sangat berbeda dengan pandangan orang saat menikmati jalan yang bagus beraspal atau gang mulus berbeton.

Tempat cuci tangan tidak terlalu dipandang penting sebelum pandemi, ia hanya ada di rumah, di toilet, jarang ditemukan di tempat umum. Masyarakat dan Pemerintah Kota Sukabumi tidak pernah sedikitpun mengajukan pengadaan tempat cuci tangan dalam setiap acara musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) sebelum pandemi karena dianggap memang tidak begitu penting dibandingkan dengan membangun saluran irigasi dan MCK umum.

Di masa pandemi, tempat cuci tangan justru menjadi hal yang dipandang penting yang harus disediakan oleh pemerintah, instansi perkantoran, dan tempat umum, serta dilengkapi dengan hand sanitizer dan sabun cuci tangan. Kegiatan cuci tangan disebutkan sebagai langkah sederhana dan murah untuk meminimalisasi penyebaran virus.

Gerakan mencuci tangan digencarkan melalui sosialisasi oleh Dinas Kesehatan Kota Sukabumi. Berbagai lembaga bersama komunitas juga tidak tinggal diam. Ketersediaan tempat cuci tangan yang berdekatan dengan fasilitas umum, pasar, dan pusat perbelanjaan menjadi satu keharusan. Komunitas Buddha Tzu Chi memberikan hibah tempat penampungan air lengkap dengan wastafel dan piranti lainnya.

Di masa normal, kehadiran tempat cuci tangan dan tempat penampungan air sudah tentu akan dilihat sebagai satu hal yang janggal dan aneh. Bayangkan, masa iya di pinggir Jalan Ahmad Yani dan di depan City Mall terdapat penampungan air (toren). Pandemi telah menyulap alam pikiran manusia menjadi terbalik dari sebelumnya. Warga akan memandang aneh ketika di tempat-tempat keramain tidak tersedia tempat cuci tangan saat itu.

Ketersediaan tempat cuci tangan di sekolah-sekolah memang telah ada sejak bangunan sekolah dipugar sebagai salah satu sarana penunjang kesehatan agar warga sekolah membiasakan diri menerapkan pola hidup sehat. Keterpakaiannya di masa pandemi mengalami peningkatan, hanya saja di saat gelombang pertama dan kedua pandemi, sekolah-sekolah menjadi lebih sepi dari sebelumnya. Aktivitas belajar dan mengajar dipindahkan dari pembelajaran tatap muka ke pembelajaran jarak jauh.

Saat saya memasuki salah satu sekolah di Kota Sukabumi, satu hingga dua bulan setelah penerapan pembelajar.an jarak jauh (PJJ), suasana benar-benar sepi, namun suara-suara alam mulai terdengar kembali. Seorang penjaga sekolah sedang duduk dengan santai di pos penjagaan, dia mungkin sedang menikmati dampak pandemi yang telah memaksa warga sekolah harus belajar dari rumah.

Riuh gemuruh suara para siswa diganti oleh nada hembusan angin, keceriaan anak-anak digantikan oleh guguran daun-daun yang memadati lapangan sekolah, arena permainan dan olahraga para siswa mulai ditumbuhi oleh rerumputan dan jelatang di bagian pinggirnya. Alam mulai kembali mengambil peran manusia di masa gelombang pertama COVID-19.

Gedung-gedung sekolah terlihat dingin membeku. Selasar dan lorong pemisah ruang kelas menjadi lebih lirih, suara sekecil apa pun terdengar lebih jelas. Lantai putih mulai memudar menyisakan jejak telapak sepatu yang belum sempat dibersihkan. Meja dan kursi di dalam ruang-ruang kelas mulai berdebu. Tanpa kemelekatan dengan manusia, benda-benda mati tersebut benar-benar menjadi lebih mati. Papan tulis, lemari, dan buku-buku pada raknya memperlihatkan rasa haus sentuhan tangan makhluk bernyawa.

Padahal, sebelumnya memang jarang disentuh mengingat minat baca para siswa di negara ini masih memerlukan perhatian serius. Walakin, ketiadaan para guru dan siswa, saya pikir, semakin menambah rasa pedih buku-buku pada rak yang tertutup sebagiannya oleh kain perca dengan motif kotak-kotak.

Entahlah, ketika alam mulai mengambil peran manusia, benda-benda yang kerap membersamai aktivitas manusia justru memperlihatkan kemurungan sejadi-jadinya, seperti manusia yang kehilangan induk semangnya. Untuk sesaat, manusia bersama apa yang telah mereka buat memang harus menyadari bahwa alam sedang mengerjakan tugas penting dalam kehidupan demi kelangsungan keberadaan spesies manusia sendiri.

Di luar gedung-gedung sekolah, di samping alam realitas yang menjadi lebih sepi, ruang-ruang maya justru semakin riuh oleh gemuruh status, tulisan, dan berbagai konten. Kerakusan manusia dalam berkomunikasi secara verbal beringsut menjadi keserakahan manusia mengisi dinding-dinding media sosial dan saluran media daring.

Salah satu anomali dalam kehidupan di masa pandemi adalah regulasi pada protokol kesehatan yang memaksa manusia untuk tidak terlalu sering melakukan komunikasi secara verbal. Droplet atau percikan air ludah yang keluar dari mulut diyakini menjadi media efektif penularan virus dari satu orang kepada orang lainnya.

Anjuran penggunaan masker dijadikan regulasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Watak dasar manusia memang selalu mengalami kesulitan untuk berdiam diri. Meskipun kehadiran pandemi tersebut sebetulnya merupakan satu peringatan kepada manusia untuk melakukan permenungan, manusia justru menganggap kehadiran pandemi sebagai pemantik bagi mereka untuk tetap beraktivitas melalui saluran lain, mereka bergerilya di dunia maya. Dari mulai kegiatan pendidikan hingga perekonomian dialihkan secara daring.

Para pengembang penyedia layanan obrolan daring melihat kenyataan ini sebagai potensi dan peluang besar. Mereka menawarkan produk berbentuk aplikasi layanan obrolan secara cuma-cuma. Zoom merupakan salah satu aplikasi obrolan dan rapat daring yang mengalami lonjakan pengguna di masa pandemi.

Zoom sangat membantu pemerintah pusat untuk melakukan rapat-rapat penting dengan para kepala daerah dalam menghadapi pandemi. Masyarakat biasa tidak terlalu konsen terhadap jenis aplikasi daring apa yang harus digunakan, mereka telah memiliki saluran komunikasi daring sendiri.

Selama pandemi, media sosial semakin tubuh berkembang. Masyarakat memberikan informasi tentang diri mereka secara sukarela melalui berbagai status mulai dari keluhan, kekesalan menghadapi pandemi, sikap datar dan biasa-biasa saja, kepedihan, marah, hingga membenci pada kenyataan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Algoritma yang dibenamkan di dalam media sosial ini semakin kaya dengan data-data tambahan tentang perasaan manusia.

Pengembang media sosial hanya memerlukan penambahan ruang penyimpanan dan server baru untuk menampung perasaan manusia yang dikirimkan melalui media sosial. Mereka tidak perlu mendatangkan petugas ke rumah-rumah warga seperti halnya Badan Pusat Statistik (BPS) yang membentuk tim pencacah lapangan dalam setiap sensus dan pencacahan penduduk.

Hanya dengan menambahkan tombol laporan Covid-19, media sosial sudah bisa mendapatkan data, mengolahnya, dan memberikan rekomendasi kepada pengguna media sosial untuk mewaspadai lonjakan penularan virus corona di wilayahnya.

Bukan sekadar memberikan rekomendasi bagaimana pengguna media sosial menghindari penularan virus corona saja, media sosial dapat merekomendasikan tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pengguna untuk menerapkan sikap optimis di masa pandemi. Keluhan dan kekesalan terhadap pandemi para pengguna media sosial ditafsirkan oleh algoritma dan mesin cerdas sebagai emosi dan perasaan pengguna bahwa mereka sangat memerlukan perhatian serius, semamacam pepatah transendental.

Media sosial menawarkan tontonan hiburan pada video rekomendasi di masa pandemi daripada para pengguna menonton pemberitaan peningkatan COVID-19 yang dapat menjadi hantu mengerikan bagi mereka dan memunculkan sikap pesimis.

Nyatanya, tidak sedikit manusia termasuk warga Kota Sukabumi memberikan pandangan bahwa pandemi hanya rekayasa global untuk meluluhlantakkan negara-negara di dunia agar terbenam dalam ketakutan. Mereka pada akhirnya melakukan tindakan ceroboh dan memiliki pikiran: COVID-19 tidak pernah ada sama sekali! Penjarakan sosial di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterbitkan oleh pemerintah disebut hanya alasan untuk menghalang-halangi umat dalam melakukan ibadah, misalnya penutupan beberapa masjid besar, dan pelaksanaan salat lebaran dibagi menjadi beberapa titik.

Pemerintah Kota Sukabumi selama pandemi melakukan hal serupa, menutup sementara aktivitas keagamaan di masjid-masjid yang dapat memicu kerumunan. Sikap pemerintah dan para tokoh keagamaan sebenarnya telah bersesuaian dengan kaidah dalam agama: menjaga jiwa atau menghindari keburukan harus diutamakan daripada mengambil manfaat.

Pemerintah Kota Sukabumi, dua tahun di masa kepemimpinan H. Achmad Fahmi dan H. Andri Setiawan Hamami memiliki tantangan berat dalam menerbitkan dan menerapkan regulasi yang benar-benar menyentuh secara utuh pada seluruh fitur kehidupan. Relaksasi kegiatan fisik tidak serta-merta diikuti oleh relaksasi pada kegiatan mental manusia di dunia maya.

Informasi tentang pandemi yang dialirkan oleh pemerintah kota melaku saluran resmi masih harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah agar informasi yang diterima dipahami secara efektif. Pemerintah juga memiliki kewajiban melakukan literasi digital kepada masyarakat untuk menghindari merebaknya pembagian informasi bohong melalui media sosial dan media obrolan daring.

Artinya, pembangunan sumber daya manusia (SDM) sudah saatnya dijadikan prioritas dari jenis-jenis pembangunan lainnya. Tantangan baru di masa pandemi menjadi perhatian serius dalam kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah.

Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi (Bagian 3)"