Geliat Reformasi 1998 pada bulan Mei, 25 tahun lalu bersamaan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional kelas akhir sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) angkatan 98. Gema Reformasi terdengar hingga ke pelosok-pelosok disuarakan oleh berbagai media, termasuk media cetakan terbatas yang disalin dan disebarkan dari individu ke individu. Semua merasakan hal yang sama, menginginkan perubahan dan perbaikan saat itu. Mengharapkan krisis moneter yang berdampak pada banyak fitur kehidupan segera usai melalui reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa.
Resonansi yang dihasilkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia melahirkan fenomena sosial yang jarang ditemui selama 32 tahun di masa kepemimpinan Soeharto. Rakyat semesta mendukung tuntutan para mahasiswa, reformasi birokrasi secara total. Reformasi birokrasi ini tidak sekadar harapan terhadap munculnya pemerintah yang bersih dari hulu ke hilir, termasuk perombakan besar-besaran di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Tuntutan reformasi atau menata kembali birokrasi agar menempati kembali khittahnya sebagai piranti pelayanan yang mudak diaksesk oleh publik.
Dengan memperhatikan linimasa sejarah kehidupan negara ini, tuntutan perbaikan yang dilakukan oleh rakyat telah terjadi beberapa kali. Di era kolonial, rakyat yang diwakili oleh para pemuda mengusung tema persatuan dan kesatuan mengikrarkan tiga sumber daya keajegan negara; wilayah, bangsa, dan bahasa. Kendati pemerintah Hindia Belanda tidak terlalu memfokuskan perhatian terhadap ikrar pemuda Indonesia, walakin peristiwa ini telah memantik kemunculan nasionalisme dan peran rakyat Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan.
Upaya para pemuda menempatkan tiga unsur penting dalam bernegara yang disebut Sumpah Pemuda II pada tahun 1928 telah mengubah cara perjuangan bangsa dari konvensional ke modern. Reformasi di berbagai fitur kehidupan sebagai imbas dari Sumpah Pemuda dipicu oleh ketidakjujuran pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan roda pemerintahan. Pembagian kelas sosial oleh pemerintah Hindia Belanda telah mendehumanisasi dan cenderung menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan kebangsaan pada sudut anomi, bangsa yang justru terasing di negerinya sendiri.
Kelas sosial rekayasa pemerintah Hindia Belanda dipandang oleh para pemuda sebagai penempatan derajat manusia pada habitat yang tidak tepat. Rakyat Indonesia diposisikan menempati kelas ketiga, tidak memiliki akses terhadap sumber daya, dilemahkan dalam mengakses pendidikan, atau pendidikan yang berkualitas seperti pondok pesantren dan padepokan dicitrakan sebagai pendidikan tradisional oleh pemerintah telah memunculkan pandangan keliru dari sebagian besar rakyat terhadap lembaga pendidikan nonformal.
Padahal pada saat yang bersamaan ketika mayoritas rakyat memandang lembaga pendidikan warisan leluhur dengan standar tradisional, anak-anak mereka sendiri hanya dapat mengakses pendidikan kelas ketiga. Hanya masyarakat dari kelompok sosial tertentu yang dapat mengakses pendidikan yang dianggap modern oleh pemerintah saat itu. Selain pendidikan, akses kepada birokrasi juga begitu sulit. Kita dapat membayangkan, saat diri kita berada di posisi rakyat pada saat itu, kita tidak diperkenankan memasuki gedung-gedung pemerintah. Bahkan sekadar menginjakkan kaki di halamannya saja sudah diusir oleh opsir lokal yang dipekerjakan oleh Belanda. Rakyat jelata ditempatkan pada posisi tidak memiliki hak atas tanah airnya sendiri.
Selama satu setengah dekade sejak Sumpah Pemuda II, reformasi atau perubahan cara pandang rakyat terhadap dirinya sendiri mulai muncul. Kepercayaan diri massal kembali lahir dari dalam diri rakyat, kesadaran bahwa diri mereka memiliki hak untuk mengemukakan pendapat, berkehidupan layak, dan mengakses sumber daya kehidupan. Alhasil, reformasi di masa prakemerdekaan ini memunculkan sikap berani ditunjukkan oleh rakyat dengan melakukan perlawanan kepada pemerintah yang lalim dalam bentuk revolusi fisik. Sebelum abad 20, perlawanan terhadap kolonialisme lebih banyak digerakkan oleh pemuka rakyat atau inohong, dekade kedua abad 20, perlawanan terhadap kelaliman pemerintah keluar dari kesadaran rakyat yang menginginkan perbaikan.
Perubahan cara pandang rakyat semesta terhadap dirinya sebagai entitas penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari tahun 1928 hingga 1945 telah membawa negeri ini pada kisah paling menarik sepanjang sejarah kehidupan bangsa yaitu kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, rakyat memang mengharapkan perbaikan dalam setiap fitur kehidupan, tentu saja semua ini harus tetap diperjuangkan. Pemerintahan di negara baru merdeka masih harus tertatih-tatih dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selama dua puluh tahun masa pemerintahan Orde Lama, negara baru merdeka ini masih tetap mempelajari dirinya sendiri tentang format kehidupan berbangsa dan bernegara.
37 tahun setelah Sumpah Pemuda, kesadaran rakyat Indonesia untuk bersatu sempat terseok-seok oleh perbedaan ideologi yang memuncak pada tahun 1965. Di masa Hindia Belanda, pemerintah harus berpikir dua kali saat mereka melakukan aneksasi fisik kepada rakyat Hindia Belanda. Walakin, sampai 1965 sesama rakyat justru terjebak pada konflik horizontal, di mulai dari pembantaian rakyat oleh PKI pimpinan Muso, pembunuhan para ulama dan santri, kemudian balasan serupa pada tahun 1965 terhadap orang-orang yang terindikasi memiliki keterikatan dengan PKI menjadi tragedi kemanusiaan paling besar di abad 20 bagi Indonesia.
Kita dapat saja mengklaim, PKI dengan orang-orangnya memang lumrah diperlakukan demikian karena telah mencoba merongrong dasar negara. Apalagi jika dilihat dari perspektif sejarah, korban nyawa selalu berbanding lurus dengan alasan perjuangan yang selalu membutuhkan pengorbanan. Tetapi, konflik horizontal sejak tahun 1945 sampai 1965 telah memberikan informasi penting kepada generasi sekarang tentang masih mudahnya bangsa ini digiring ke dalam konflik yang diproduksi oleh pihak-pihak tertentu, kekuatan yang tidak terjamah dan tidak terdeteksi sekalipun oleh orang-orang seperti Bung Karno, para jenderal, termasuk Pak Harto. Kisah suram ini merupakan revolusi yang melahirkan pemerintahan baru, Orde Baru.
Orde Baru menjalankan pemerintahan secara ketat, meja birokrasi menjadi ciri khas pemerintahan selama 32 tahun, pengetatan kebebasan mengemukakan pendapat, kemerdekaan berpikir hanya terlihat lima tahun sekali di masa pemilihan umum. Harus diakui, di satu sisi pemerintahan Orde Baru telah berhasil memupuk kesadaran berbangsa dan bernegara, pentingnya rakyat semesta berperan serta dalam menjaga stabilitas situasi dan kondisi. Kelemahan yang kentara dari pemerintahan seperti ini yaitu, kekuatan mayoritas tunggal tidak sepenuhnya mampu melindungi minoritas secara sosial dan politis.
Stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi mantera yang ditawarkan oleh Pemerintah Orde Baru kepada rakyat. Pemerataan pembangunan dan hilirisasi swasembada pangan menjadi program penting pemerintah. Rakyat dengan mudah menerima vacanna (pembacaan berulang-ulang) program-program pemerintah, isu-isu strategis perekonomian, dan sebutan negara agraris untuk negara ini. Pada tahun 1980-an, Indonesia menjadi negara berkembang yang disegani oleh dunia, struktur kehidupan dapat terkendali, premanisme bukan pilihan menarik bagi orang-orang jalanan, rakyat dapat membeli kebutuhan meskipun dalam jumlah terbatas dengan uang kartal yang hanya memiliki satu digit angka, misalnya lima rupiah.
Seharusnya Soeharto lengser atau mewariskan suksesi kepemimpinan kepada orang lain di puncak kekuasaannya pada tahun 1992. Hanya saja, bujukan para kroni justru telah memasukkannya pada perangkap kekuasaan yang secara alamiah sedang memasuki masa udzur. Setelah mencapai puncak kekuasaan, sudah semestinya siapapun mengerem diri agar tidak jatuh menukik ke dalam jurang keruntuhan.
Soeharto diangkat kembali menjadi Presiden pada tahun 1997 dengan kondisi serupa seperti dialami oleh Soekarno pada 32 tahun lalu. Memasuki masa tua dan kerapuhan komunikasi kekuasaan dengan orang-orang terdekatnya. Badai krisis moneter tidak pernah terpikir sebelum tahun 1998, negara-negara di Asia Tenggara terpukul oleh apa yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan oleh kekuasaan. Nilai tukar rupiah mengalami degradasi terhadap Dollar Amerika, ini berarti harga beli yang sebelumnya hanya sepuluh rupiah dapat meningkat 10 kali lipatnya.
Kondisi negara menjadi tidak stabil. Rakyat menginginkan perubahan dan perbaikan. Isu reformasi menggema dari kampus-kampus, media-media stensilan, dan diskusi-diskusi di radio-radio nonpemerintah. Pemerintah mulai kehilangan legitimasi. Sementara itu, di akar rumput terjadi pergolakan horizontal, mulai dari isu ninja, pembantaian dukun santet di Banyuwangi, penjarahan dan pemerkosaan warga Tionghoa di Jakarta, dan kemunculan kaum Tuchha atau preman setelah eksistensi dan pikiran mereka dikerangkeng selama 32 tahun. Serupa dengan reformasi Eropa tahun 1517, reformasi pada tahun 1998 telah memakan banyak korban termasuk dari mahasiswa sendiri.
Setelah 25 tahun, tuntutan reformasi baru beberapa persen saja yang dapat kita rasakan seperti kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Kadang dilakukan dengan cara yang terlalu meluap-luap. Namun, reformasi yang telah berusia 25 tahun ini masih tetap menyisakan pekerjaan yang harus terus dibenahi. Mahasiswa menuntut agar KKN benar-benar dibumihanguskan di setiap lini kehidupan, dalam praktiknya kasus KKN tetap menjadi tajuk pemberitaan dan dilakukan dari hulu hingga hilir. Kita kembali dapat mengemukakan alasan, kondisi kurang baik ini sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah.
Lantas, apakah 25 tahun setelah reformasi ini harus dirayakan atau malah dipertanyakan? Kita harus menyadari, untuk menjadi negara-negara maju dan benar-benar kokoh, Eropa memerlukan waktu hingga 500 tahun dari era kegelapan hingga zaman modern ini. Kita dapat menjadi negara maju bukan hanya karena reformasi, juga dengan membentuk masyarakat ilmiah sekaligus menanamkan spiritualitas ke dalam diri bangsa ini. Mengabaikan dua hal ini hanya akan melahirkan -jika bukan manusia bodoh dan mudah dibohongi- yaitu kemunculan orang-orang yang mudah membajak nama Tuhan demi kepentingan kelompok.
Dimuat Harian Radar Sukabumi, Selasa 06 Juni 2023
Posting Komentar untuk "25 Tahun Reformasi: Merayakan atau Mempertanyakan"