Memanen Data di Ladang Algoritma



Dua dekade lalu, kata algoritma –kemungkinan besar – hanya menggema di perguruan tinggi jurusan sains. Sekarang, kata ini menjadi serupa dengan mantera modern yang biasa dilafalkan dan didengar. Bahkan , di tataran lokal saja, kata algoritma secara perlahan sudah menjadi lumrah dan seperti bukan lagi serapan dari bahasa pemrograman. Manusia juga sering dikaitkan dengan mesin canggih yang dibubuhi oleh algoritma alam. Mesin cerdas yang dibuat oleh manusia dipandang sebagai proyeksi dari algoritma alam, hanya menduplikasi konsep besar alam semesta.

Sebelum menjadi media sosial yang kita lihat seperti saat ini, Facebook dari tahun 2005 – 2007 baru ditawarkan oleh Zuckerberg kepada pihak yang berminat menanamkan saham di perusahaan bertaraf nasional saja. Sebagian besar pemilik modal tidak merasa tertarik dengan usaha digital yang bergerak sepenuhnya di ruang maya dengan alasan mudah terdisrupsi.

Dua tahun kemudian, dugaan disrupsi perusahaan digital benar-benar terjadi dan dialami oleh Friendster. Jutaan data yang ditanam oleh pengguna Friendster mulai dari berkas gambar hingga teks, diabaikan begitu saja, kemudian hilang tanpa diikuti oleh rasa was-was oleh mayoritas penggunanya jika data-data tersebut pada satu waktu disalahgunakan oleh pemilik Friendster. Facebook mulai merangsak di dunia maya.

Rata-rata orang Indonesia yang telah melek internet mulai membuat akun Facebook pada tahun 2008 dan 2009. Media sosial ini belum familiar di habitat orang-orang yang belum melek internet. Selain paket data internet masih mahal, kepemilikan ponsel cerdas juga relatif masih dikuasai oleh orang Indonesia kelompok menengah ke atas. Rata-rata dari mereka adalah pemilik Blackberry, pengguna Laptop – Komputer, dan orang-orang yang bekerja di perkantoran.

Orang kampung akan merasa heran ketika kita bertanya kepada mereka: “ Kamu punya Facebook belum?” karena bagi mereka saat itu, memiliki atau sama sekali tidak memiliki media sosial bukan hal penting. Bandingkan dengan sekarang, orang-orang yang tidak memiliki akun media sosial justru akan disebut aneh. Namun, orang-orang kampung dan kelompok menengah ke bawah mulai mengenal bagaimana mereka mengkoneksikan diri mereka dengan orang lain melalui jaringan yang disiapkan oleh berbagai provider. Setiap rumah sudah memiliki ponsel, dan untuk rumah tangga tertentu, ponsel sudah dimiliki oleh setiap anggota keluarga.

Kebiasaan melakukan komunikasi jarak jauh memang menjadi salah satu ciri makhluk hidup, termasuk spesies bernama manusia. Beberapa satwa di alam liar mampu menciptakan komunikasi dengan sesamanya meskipun terpisah jarak ratusan hingga ribuan kilometer. Kemampuan yang telah disiapkan oleh alam untuk hewan ini merupakan modal besar bagi mereka agar tetap dapat bertahan. Hewan-hewan yang mampu membangun komunikasi dengan sesamanya, sampai saat ini, relatif masih memiliki kemampuan mempertahankan jenisnya. Kepunahan hewan-hewan lain mungkin saja disebabkan oleh cara mereka membangun komunikasi terganggu oleh gelombang-gelombang yang dibuat oleh manusia.

Manusia juga melakukan cara yang sama seperti kebanyakan hewan, membangun komunikasi dua arah, entah dari jarak dekat tanpa menggunakan piranti atau dari jarak jauh melalui media-media yang terus dibuat dan diproduksi dari waktu ke waktu. Komunikasi jarak jauh menjadi pilihan penting, seseorang tidak perlu melakukan mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain sekadar untuk mengobrol dengan saudara-saudaranya. Idul Fitri dari tahun 2005-2010 ditandai oleh pengiriman Ucapan Selamat Idul Fitri melalui layanan SMS dan BBM. Manusia mulai meninggalkan kebiasaan lama, mengirimkan kartu ucapan Selamat Lebaran melalui kantor pos. Kotak pos telah dimiliki oleh manusia pada ponsel sederhana bernama mail-box.

Pengiriman pesan melalui layanan SMS dan BBM pada tahun 2008 sampai 2010 dipilih oleh manusia karena kenyamanan dan kecepatannya. Layanan luring pengiriman surat melalui kantor pos paket kilat khusus memerlukan waktu satu hingga tiga hari. Pengiriman pesan melalui SMS dan BBM hanya memerlukan hitungan detik saja. Rasa nyaman ini pada akhirnya mengikis benteng pemisah dan jarak antar manusia. Seseorang mengirim pesan singkat kepada saudaranya yang tidak bisa mudik atau pulang kampung di hari Lebaran terdengar wajar. Walakin, pengiriman pesan tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang berada di belahan tempat terjauh, kepada tetangga dan orang-orang yang ada di rumah saja, pengiriman pesan singkat melalui ponsel menjadi hal biasa dilakukan oleh manusia modern.

Untuk membuat akun baru media sosial dan obrolan daring, setiap calon pengguna diwajibkan melakukan registrasi. Data-data sederhana dari mulai nama lengkap, tanggal lahir, email, dan nomor ponsel, secara sadar dan sukarela diberikan kepada pemilik media sosial dan media obrolan. Kemudian, di saat akun media sosial sudah dapat diakses, para pengguna diberikan pilihan untuk mengisi dan mengubah profil mereka.

Pengguna media sosial disarankan mengunggah dan mengganti foto profil, memilih kegemaran, menentukan pandangan keyakinan dan politik, menyebvutkan buku yang pernah dibaca, menginformasikan ketertarikan kepada lawan jenis atau sesama jenis, dan mengirimkan data-data lain. Pengisian dan formulir data-data ini dipandang penting oleh kita. Foto profil harus mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Manusia modern sudah serupa dengan orang-orang di masa lalu yang menyerahkan hasil panen mereka kepada lembaga-lembaga masyarakat tradisional dan para penguasa dalam bentuk pajak serta upeti.

Manusia tradisional di masa lampau tidak pernah memperdulikan akan diapakan dan digunakan untuk keperluan apa hasil panen yang telah mereka persembahkan kepada lembaga masyarakat dan para penguasa. Serupa dengan orang-orang modern di tahun 2008 sampai tahun 2010, mereka tidak pernah mau tahu, data-data yang diberikan kepada Facebook, Twitter, dan Google akan dibagaimanakan atau diperlukan untuk apa. Rata-rata pengguna pasrah dan sukarela saja memberikan data karena alasan kepercayaan, semuanya akan baik-baik saja.

Kesadaran baru muncul, data-data pribadi termasuk foto yang disematkan pada dinding media sosial pada akhirnya dapat memicu tindak kejahatan, pencurian data dan penggunaan foto pribadi yang dapat disalahgunakan untuk kegiatan penipuan. Kesadaran ini memaksa sebagian besar pengguna media sosial untuk mengerem aktivitas mereka agar tidak dapat diawasi oleh orang lain, apalagi pada orang yang tidak pernah dikenal sama sekali. Algoritma media sosial telah lebih dahulu mengenal kekhawatiran ini. Tanpa disadari oleh penggunanya, penyedia layanan daring tersebut menyediakan tombol-tombol seperti; pengaturan privasi, pengaturan postingan, dan pembatasan jumlah pertemanan.

Perusahaan raksasa di bidang media seperti Facebook, Microsoft, Google, Apple, dan Twitter sudah dipastikan akan mengamankan data pengguna untuk menjaga kepercayaan publik. Walakin, data-data yang dikirimkan oleh pengguna ke dalam media sosial dan media obrolan tidak sepenuhnya benar-benar aman dan terjamin kerahasiaannya. Para pengepul dan pengumpul data dapat meretas dan mengakses data para pengguna kemudian disalahgunakan untuk kegiatan kriminal dan diperjualbelikan termasuk demi kepentingan politis. Kemenangan Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat 2016 salah satunya disinyalir dibantu oleh keterlibatan sejumlah hacker yang memiliki kemampuan memanipulasi kampanye melalui media sosial. Manipulasi data seperti ini berbanding lurus dengan tingkat pemahaman literasi digital para pengguna media sosial masih belum maksimal.

Data-data pada media sosial di ladang algoritma dapat dipanen oleh orang-orang yang memiliki kemampuan peretasan. Tidak berbeda dengan masa ribuan tahun lalu, ketika manusia yang memiliki kompetensi mampu mengelabui manusia lainnya kemudian mengambil sumber daya mereka mulai dari lahan hingga harga diri. Manusia-manusia yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dijadikan ladang yang siap dituai.

Rakyat secara sukarela menanam tumbuhan, mendomestikasinya, kemudian dirampas begitu saja oleh orang-orang yang mengatasnamakan raja. Selama kurun waktu 350 tahun, sumber daya alam Indonesia dipanen begitu saja oleh Belanda dan negara penjajah lainnya setelah negara-negara Eropa ini melakukan kolaborasi dengan petinggi pribumi yang diiming-imingi menerima materi.

Kebocoran data penting yang seharusnya tersimpan rapi dan aman pada server-server pemerintah tidak luput dari serangan hacker. Data pemilih pada pemilu 2019 dibocorkan dan dibagikan melalui media obrolan daring. Semua data pemilih lengkap dengan NIK dan Nomor KK dapat dibagikan ulang dan diunduh oleh pengguna Telegram dan media daring lainnya.

Hampir setiap orang yang saya jumpai sering mengeluhkan hal yang sama. Tiba-tiba mereka menerima SMS penawaran pinjaman uang secara daring. Dari mana para pemberi pinjaman ini mendapatkan nomor ponsel kita? Kita memang tidak tahu dari mana mereka mendapatkan data diri dan nomor ponsel. Namun, kemungkinan besar data-data ini berasal dari ketidakwaspadaan kita saat mengisi berbagai aplikasi secara daring yang mengharuskan registrasi dengan nomor ponsel.

Atau dapat saja, data-data milik kita memang telah diperjualbelikan oleh pihak yang hanya memikirkan keuntungan finansial daripada moral di era digital. Kita tidak perlu marah jika suatu saat nanti foto diri dicatut oleh orang lain kemudian digunakan untuk membuat akun palsu media sosial, karena kita memang telah memberikan dan memberikan keleluasaan kepada siapa pun untuk menggunakan data kita.

Posting Komentar untuk "Memanen Data di Ladang Algoritma"