Di masa lalu, kematian dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya; penyakit dan kelaparan. Penyakit disebabkan oleh ketidaksiapan para leluhur manusia dalam menghadapi sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Seperti wabah sampar dan Black Death di akhir abad pertengahan.
Manusia saat itu hanya dapat mengira-ngira kemunculan bintik hitam pada sekujur tubuh penderita disebabkan oleh kutukan dari langit. Wabah dipandang sebagai teguran keras karena kelalaian manusia terhadap perintah Tuhan. Bakteri Yersinia Pestis sebagai agen penyebab wabah hitam baru diketahui belakangan. Manusia di masa itu tidak pernah mengenal zat renik sebagai penyebab utama kemunculan wabah hitam yang telah merenggut sekitar 40-60 juta korban.
Kelaparan biasanya disebabkan oleh rawan pangan akibat gagal panen atau musim pancaroba di masa lalu. Orang-orang Eropa dan Timur Tengah lebih banyak mengalami hal ini karena sumber daya alam di dua wilayah ini tidak melimpah seperti di Nusantara. Mungkin, bagi orang-orang Nusantara di masa lampau yang cukup intensif berhubungan dengan kekayaan alam, kata kelaparan sama sekali tidak pernah mereka kenal.
Kenyataan ini menjadi satu alasan, orang-orang Nusantara tidak pernah mengenal kosa kata miskin, fakir, melarat, dan kokoro. Orang-orang Nusantara lebih mengenal kosa kata sugih, mukti, gemah ripah, repeh, dan rapih. Kelaparan akibat kekurangan pangan baru terjadi dan dialami oleh orang-orang Nusantara sekitar abad ke 18. Itupun disebabkan oleh ketidakjujuran para gegeden pribumi yang memilih memperkaya diri dan kelompoknya melalui jalinan kerja sama dengan Belanda.
Artinya, dua pemicu kematian manusia dalam skala besar di masa lalu lebih besar dipengaruhi oleh faktor dari luar. Hasrat untuk mendominasi sebuah wilayah dan mengkooptasinya sebetulnya dipicu oleh faktor dari luar. Ketika sebuah wilayah yang minim dengan pasokan sumber daya alam, para penguasa wilayah ini akan melihat dan membandingkan wilayahnya dengan wilayah lain yang berkelimpahan dengan sumber daya alam. Peristiwa reconquista orang-orang Eropa dilandasi oleh mentalitas perompak dan perampok yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Orang-orang Eropa di masa lalu secara turun-temurun memegang tampuk kekuasaan, pada awalnya merupakan komunitas yang enggan mengembangkan kegiatan pertanian dan bercocok tanam. Untuk mencukupi kebutuhan makanan, mereka memilih merebut hasil panen dari wilayah terdekat dan mencuri hasil pertanian. Dalam benak mereka ada anggapan: buat apa kita harus bercocok tanam, kepanasan, dan menunggu musim panen selama berbulan-bulan, jika mendapatkan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara mencuri yang hanya memerlukan kekuatan fisik dan keberanian.
Kegiatan perampokan oleh komunitas-komunitas barbar di Eropa telah melahirkan ide pembuatan benteng dan bangunan tinggi dari susunan batu oleh komunitas lainnya. Namun tetap saja, komunitas yang memiliki kekuatan fisik tetap menjadi pemenang dan pemegang kekuasaan. Mereka mulai melakukan penguasaan tanah, aset, dan mendominasi pikiran orang-orang Eropa lainnya yang memiliki profesi sebagai petani. Kekuasaan komunitas ini pada akhirnya menjelma menjadi kerajaan yang diwariskan secara turun-temurun. Pada babak berikutnya, mereka menjelma menjadi negara-negara yang siap membangun kolonialisasi dan imperialisasi terhadap wilayah terjauh dari negara mereka yang berkelimpahan dengan sumber daya alam.
Penyakit dan kelaparan telah menjadi kisah menarik sepanjang sejarah umat manusia hingga awal abad 20. Sejak tahun 1945, ketika bangsa-bangsa di dunia memproklamasikan kemerdekaan dari cengkeraman imperialiasiasi negara lain, kekuatan genetika para perompak masih tetap mengendap dalam diri para penguasa dunia. Sampai tahun 1991, dua kekuatan, Timur dan Barat, Sosialis Komunis dengan Liberal Kapitalis bersitegang dalam format perang dingin. Perang tanpa menggunakan senjata namun lebih ditekankan pada penciptaan isu-isu saling klaim terhadap penguasaan kekuatan sains, ekonomi, dan politik.
Mayoritas masyarakat dunia terhipnotis oleh kisah liberal, kemerdekaan individu, dan kebebasan mengemukakan pendapat. Dampak perang dingin dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dunia. Produksi secara masif kebutuhan militer dan kebutuhan rumah tangga berdampak pada kerusakan ekologis. Era holosen terkikis oleh era antroposen. Kendati negara-negara Timur sebelum Glasnost Perestroika membumikan sosialisme, nyatanya cara hidup individu di berbagai negara sosialis tak dapat terhindar dari sikap liberal. Puncak kisah liberal di Eropa Timur adalah diruntuhkannya tembok Berlin di Jerman. Peristiwa ini menjadi penanda setiap individu dan masyarakat tidak dapat disekat dan dipisahkan secara fisik hanya karena alasan ideologi.
Dalam skala kecil, apa yang terjadi di dunia global memiliki pengaruh cukup besar terhadap situasi dan kondisi di setiap pelosok dunia termasuk Sukabumi. Wilayah dengan sumber daya alam melimpah di bagian selatan dan barat, disangga oleh wilayah perkotaan, setelah perang dingin berakhir ikut serta memeriahkan kisah liberal kendati masih dalam kerangka dan pijakan dasar Pancasila. Babak baru kehidupan sosial ditandai oleh pendirian waralaba, pusat perbelanjaan, dan warung kuliner cabang negara-negara besar. Kehadiran entitas ini merangsang pola hidup konsumtif masyarakat karena pada dasarnya genetika masyarakat Nusantara memang menyimpan berkas masa lalu sebagai manusia yang berkelimpahan dengan sumber pangan.
Pola hidup konsumtif ini tentu saja berbanding terbalik dengan kisah kematian manusia akibat kelaparan di masa lalu. Sebagai contoh, konsumsi masyarakat terhadap daging, sampai akhir tahun 1990-an, dapat dihitung berdasarkan waktu pengonsumsiannya; saat lebaran Idul Fitri, Idul Adha, hajatan, dan kenaikan kelas. Saat ini, masyarakat dapat mudah mengonsumsi daging tanpa dibatasi oleh waktu dan kapan daging harus dikonsumsi. Seseorang dapat mengonsumsi daging setiap hari.
Tanpa pengendalian diri, konsumsi daging secara berlebihan disempurnakan oleh keberadaan makanan cepat saji telah memantik kemunculan penyakit yang belum pernah dialami oleh para leluhur manusia. Dulu, kematian biasa disebabkan oleh rawan pangan. Di zaman modern, kematian dan penyakit justru disebabkan oleh pola makan berlebihan karena sumber makanan bisa dengan mudah didapatkan. Pada dasarnya memang rasional, rasa suka manusia modern mengonsumsi daging juga karena dipengaruhi oleh genetika leluhur manusia di masa lalu saat mereka memasuki era berburu dan meramu.
Tentu saja ada perbedaan signifikan. Leluhur manusia saat mengonsumsi daging tidak setenang dan seenak manusia modern. Leluhur manusia harus tetap waspada terhadap serangan tiba-tiba dari binatang buas pemakan daging lainnya saat mereka mengonsumsi makanan apa pun. Manusia modern dapat mengonsumsi daging dan nasi sambil menonton televisi, membuka media sosial, dan bercengkrama dengan sesamanya di ruang-ruang sejuk dan nyaman tanpa khawatir mendapatkan serangan tiba-tiba dari binatang karnivora.
Rasa nyaman ini telah membawa manusia modern dalam memperkecil aktivitas fisik. Untuk sampai pada tahap proses siap dikonsumsi, daging dan makanan lainnya harus benar-benar dicari dan disiapkan oleh leluhur manusia melalui sejumlah aktivitas fisik. Mulai dari berburu, berjalan melintasi dataran, mengendap-endap di bawah pohon-pohon besar, menjelajahi rawa-rawa, dan melintasi tempat-tempat yang dipenuhi oleh binatang buas. Manusia modern tidak demikian, partikularisasi telah memilah manusia ke dalam berbagai jenis pekerjaan. Daging dapat diperoleh di peternakan, siapa yang menyembelih, dan siapa yang mengolahnya menjadi makanan siap saji sudah tertata dengan baik. Konsumen tidak perlu lagi mencari dan membeli daging, memasaknya, kemudian mengonsumsinya. Mereka hanya perlu membayar biaya jasa dan distribusi hingga makanan tepat berada di atas meja.
Bukan hanya dialami oleh leluhur manusia pada masa ribuan tahun lalu, aktivitas fisik hingga makanan siap dikonsumsi masih dialami oleh generasi 90-an. Orangtua kita saat menanak nasi harus melakukan aktivitas fisik mulai dari membelah kayu bakar, menyalakan tungku, membersihkan beras, menanak nasi dua kali, mendinginkan nasi yang baru matang, memasak lauk-pauk, dan menerapkan etika bagaimana seharusnya kita memperlakukan makanan. Kegiatan fisik inilah yang telah menghindarkan orangtua kita dari berbagai penyakit kolesterol, asam urat, serangan jantung, dan kanker.
Apakah rasa nyaman manusia modern ini berbanding lurus dengan kondisi alam? Alam mengalami perubahan, salah satunya disebabkan oleh domestikasi tumbuhan dan binatang. Penenabngan hutan hujan tropis di Kalimantan dilakukan oleh manusia, salah satunya untuk dijadikan lahan perkebunan sawit sebagai bahan baku minyak goreng. Perluasan lahan perkebunan menyebabkan karbon yang ada di udara tidak terpenjara di dalam tanah melainkan dilepaskan ke atmosfer.
Suhu meningkat, pemanasan global menjadi kisah baru di era modern. Kerusakan ekologis yang terjadi di Kalimantan dampaknya tidak hanya dirasakan oleh orang Pontianak saja, juga dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di Sukabumi. Tak mengherankan, orang-orang Sukabumi modern merasa lebih nyaman bercengkerama di kedai kopi atau toko modern ber-AC karena secala alamiah, tubuh manusia tidak akan nyaman pada suhu ekstrim, terlalu panas atau dingin berlebihan.
Kerusakan ekologis yang terjadi di Timur Tengah sebagai dampak dari pengeboran bahan bakar fosil, polusi udara di kota-kota besar seperti Jakarta, dan penggunaan lampu-lampu pijar di malam hari secara berlebihan dampaknya dirasakan juga oleh masyarakat di perkampungan. Malam hari seharusnya dingin dan sejuk, karena pemanasan global, saat ini dirasakan lebih gerah.
Masyarakat tidak akan bisa tidur nyaman jika kondisi suhu udara terlalu tinggi, mereka akan lebih banyak begadang, kualitas tidur terganggu, dan gelombang sirkadian yang dipancarkan dari langit mengalami distorsi karena cahaya yang dihasilkan lampu pijar terlalu berlebihan. Wajar, jika manusia modern menjadi lebih rawan terserang penyakit fisik serta mental. Apa boleh buat, siapa saja, termasuk orang Sukabumi harus siap menghadapi kenyataan ini.
Posting Komentar untuk "Orang Sukabumi Harus Siap Menghadapi Ini"