SASARAN penting pembangunan Kota Sukabumi yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Pencapaian dua bidang ini memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat, sebab dengan alasan apapun, pertumbuhan perekonomian dan daya beli masyarakat beririsan dengan bidang-bidang lain serta saling memberikan dukungan.
Sejak beberapa tahun terakhir, opini yang menyebutkan masyarakat Kota Sukabumi cenderung lebih konsumtif sebenarnya masih memerlukan penelitian serius. Namun secara de facto, bagaimana antusiasme aktivitas warga kota yang memadati pusat-pusat perbelanjaan, pertumbuhan usaha kuliner, dan perubahan gaya hidup dari penerapan pola hidup sederhana ke gaya hidup perkotaan dapat menjadi pijakan awal yang mewakili pandangan pola hidup warga sebuah kota yang konsumtif.
Pola hidup konsumtif tidak berdiri sendiri melainkan mendapatkan dukungan dari sektor lain ; pertama, alat pemuas kebutuhan sangat terbatas namun terdapat pilihan lain sebagai substitusi dari alat pemuas kebutuhan tersebut. Meskipun konsumen tidak mampu membeli sebuah tas bermerek, barang-barang substitusi, tas serupa, jenama yang sama dengan produk asli namun berkualitas KW tetap dapat dimiliki oleh konsumen. Ketertarikan terhadap barang bermerek dengan penjenamaan internasional ini dapat menjadi alasan betapa gaya hidup konsumtif memang mulai tumbuh dalam pikiran dan praktik warga kota.
Kepemilikan barang-barang KW yang lebih murah baik dari segi harga juga kualitasnya dapat memicu siapapun untuk melakukan flexing atau gemar memamerkan barang yang dimiliki termasuk disertai dengan tindakan pura-pura menjadi kaya. Bukan sekadar dalam tas saja, termasuk dalam hal kepemilikan ponsel cerdas, pakaian, dan makanan dapat menjadi indikator seberapa konsumtifnya warga sebuah kota.
Kedua, gaya hidup konsumtif mengikuti cara hidup hedonis beririsan dengan konsep pembangunan daerah perkotaan dan ruang-ruang perekonomian. Perizinan pusat pendirian perbelanjaan lebih mudah didapatkan oleh pelaku usaha jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya. Kendati dapat menjadi sumber pendapatan daerah, walakin penerbitannya harus melalui kajian terlebih dahulu. Apakah keberadaan sebuah supermarket dan minimarket di satu wilayah benar-benar dibutuhkan oleh warga sekitar dan dapat memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat atau malah sebaliknya menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap ruang perbelanjaan.
Jika dihubungkan dengan arah dan kebijakan pembangunan Kota Sukabumi, penerbitan izin usaha kepada para pemilik pusat perbelanjaan maka pemerintah kota sudah semestinya membuat regulasi yang memperhatikan konsep berkeadilan. Pusat perbelanjaan hanya boleh didirikan di areal perkotaan, wilayah-wilayah sub-urban dan rural hanya diperbolehkan digerakkan oleh pengusaha-pengusaha setempat dengan memperhatikan juga timbal balik keberadaan tempat usaha terhadap masyarakat setempat. Masing-masing pihak harus memiliki kesepakatan yang saling memberikan keuntungan satu sama lain.
Pembangunan pusat perbelanjaan yang mengarah ke wilayah-wilayah sub-urban pada akhirnya menjadi faktor pemantik sekaligus penyedia kebutuhan warga yang mulai meninggalkan pola hidup sederhana ke gaya hidup hedonis. Pola hidup konsumtif ini sering berbanding lurus dengan rumus: beli, pakai, buang, telah menjadi kebiasaan masyarakat perkotaan. Kebutuhan dasar belum terpenuhi dengan baik namun acapkali terabaikan jika warga telah menerapkan pola hidup konsumtif. Kebutuhan dasar paling penting yaitu ketercukupan asupan gizi akan terkalahkan oleh kepuasaan saat memamerkan produk ternama meskipun dengan kualitas KW atau imitasi.
Gaya hidup konsumtif beli, pakai, kemudian buang memiliki artinya putusnya keberlanjutan dalam penggunaan barang. Secara perlahan menjadi faktor pendorong peningkatan jumlah sampah rumah tangga sebagai dampak negatif dari gaya hidup konsumtif. Dalam situasi ini, pemerintah daerah perlu memberikan pendidikan dan kesadaran kepada masyarakat mengenai pentingnya gaya hidup yang berkelanjutan, pengelolaan keuangan secara bijak, dan dampak negatif dari konsumsi berlebihan. Melalui pendidikan yang baik dan sosialisasi penyadaran, masyarakat akan menjadi lebih memahami akan kebutuhan sebenarnya dan belajar untuk menghindari perilaku konsumtif yang tidak berkelanjutan.
Pikiran “biar tekor asal kesohor” sering menggema dalam keseharian kita. Tak dapat dimungkiri, di antara warga kota ada yang pernah mengalami situasi ini, menjual tempat atau lahan kepada orang lain kemudian digunakan untuk membeli barang tersier seperti gawai cerdas dan kendaraan. Hal ini dilakukan atas alasan menginginkan eksistensi diri daripada mencukupi kebutuhan dasar. Dengan demikian, gaya hidup konsumtif ini merupakan pelampiasan sesaat warga kota yang dalam pandangannya dapat memuaskan diri. Gaya hidup seperti ini memang menjadi ciri warga negara dunia ketiga, dari negara berkembang ke negara yang mulai naik kelas.
kebahagiaan warga kota dapat mengikis gaya hidup konsumtif. Pemerintah harus membuat formula yang tepat cara meningkatkan kebahagiaan warganya. Pembangunan ruang dan fasilitas publik selama lima tahun terakhir ini dilakukan oleh pemerintah kota untuk meningkatkan kebahagiaan warga. Ruang publik yang tepat bagi warga kota dapat mengikis pola hidup konsumtif karena melalui aktivitas sosial yang sehat, warga menjadi lebih berbahagia, akan melahirkan pandangan terbalik tentang kebahagiaan, dari kepuasan fisik kepada kepuasaan batin.
Kita sering menyebutkan, bahagia itu memang sederhana namun tetap harus dicari. Aktivitas olahraga di Lapang Merdeka, berjalan kaki di pedestrian dapat mengurai hormon pemicu ketidakpuasan terhadap kepemilikan barang dan kebutuhan. Melalui olahraga yang murah, warga kota tidak akan memfokuskan perhatian pada tas-tas mewah, barang lux, dan piranti-piranti paling baru. Warga kota akan memilih menghabiskan waktu melalui kegiatan berkualitas daripada diisi oleh berbelanja kebutuhan tersier di pusat-pusat perbelanjaan.
Tingkat konsumsi warga dapat diukur oleh peningkatan jumlah sampah rumah tangga, termasuk makanan sisa. Jumlah sampah makanan yang dibuang oleh warga kota berkelindan dengan gaya hidup konsumtif karena mereka memiliki alasan makanan serupa dapat dibeli kembali. Bandingkan dengan etika para orangtua kita, mereka sering menerapkan etika sederhana namun bermakna: makanan (nasi dan lauk pauk) yang ada di dalam piring harus habis dikonsumsi. Bagaimana dengan warga kota modern? Berapa kilogram sampah makanan yang dibuang dalam satu acara resepsi pernikahan? Kita tidak memandang tindakan ini sebagai sikap konsumtif, sebagai warga kota dan manusia modern kita malah menganggapnya sebagai hal wajar dan biasa.
gaya hidup konsumtif tanpa diiringi oleh kebijakan dan regulasi yang tepat dari pemerintah telah memunculkan fenomena ganjil yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Tumpukan sampah di pinggir jalan karena jadwal truk pengangkut sampah tidak sebanding dengan jumlah produksi sampah. Masyarakat juga menjadi kurang peduli terhadap lingkungan yang dipenuhi oleh sampah, daripada menerapkan 3R apalagi harus memilih dan memilah sampah, mereka lebih kerasan membuangnya dalam satu paket kantong plastik. Apa yang akan terjadi terhadap tumpukan sampah di pinggir jalan di saat hujan turun cukup deras?
Sebetulnya, keberlimpahan sampah dapat menjadi peluang bagi pemerintah kota dalam membangkitkan UMKM yang bergerak dalam pemilahan dan daur ulang sampah. Dorongan terhadap UMKM dari pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas dan inovasi pengolahan sampah menjadi sumber energi terbarukan. Di sisi lain, UMKM yang inovatif dan mampu menghasilkan produk lokal apalagi membuat sumber energi terbarukan dapat memantik kesadaran warga untuk membeli produk dan jasa lokal daripada membeli produk yang datang dari luar. Kampanye dengan tajuk Hargai Produk Dalam Negeri dan Aku Cinta Produk Indonesia sebenarnya sudah jauh-jauh hari dilakukan oleh pemerintah. Namun penerapannya memang harus berbanding lurus dengan ketersediaan beberapa produk dan jasa yang kompetitif atau mampu bersaing dengan produk luar.
Pembangunan sektor industri kreatif menjadi trending akhir-akhir ini. Hal ini dapat mengeliminasi gaya hidup konsumtif warga kota. Industri kreatif dapat diwujudkan dalam bentuk seni, budaya, kerajinan, dan pariwisata berkelanjutan. Sikap serius dari pemerintah terhadap industri kreatif ini dapat membuka lapangan pekerjaan sekaligus meningkatkan kepuasan warga terhadap kebutuhan yang diproduksi secara mandiri. Perubahan dari pola hidup sederhana ke gaya hidup konsumtif hanya memerlukan waktu satu dekade saja dan untuk mengembalikannya kembali, kita memerlukan waktu lama dan keseriusan dalam membangun pola pikir serta meningkatkan kesadaran semua pihak untuk memilih menerapkan pola hidup sederhana.
Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi (Bagian 5)"