Tahun Kelima: Refleksi Kepemimpinan Fahmi-Andri



Tahun 2023 merupakan tahun kelima kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, H. Achmad Fahmi dan H. Andri Setiawan Hamami. Pemerintah Kota Sukabumi telah melakukan cara dan pendekatan baru dalam pembangunan perkotaan sejak kepala daerah ditetapkan pada 2018.

Pandangan bahwa manusia bersama makhluk lainnya -di dunia ini- sedang terjebak di dalam ruang dan waktu memang benar. Tanpa dua hal tersebut, manusia dan makhluk lainnya tidak akan mengalami perubahan sebagai ciri utama sesuatu yang diciptakan.

Tanpa dua hal tersebut, hukum-hukum alam -pada perkembangan selanjutnya tertuang di dalam rumus-rumus matematika, fisika, dan kimia- tidak akan menjejali bahan pembelajaran di sekolah.

Tanpa ruang dan waktu, manusia akan hampa atau benar-benar mengalami lonjakan di luar kendali dirinya dalam bentuk quantum. Tanpa dua hal tersebut, manusia tidak akan pernah mengenal diri dan apa yang ada di luar dirinya sebagai entitas penghuni semesta dalam durasi dan rentang waktu.

Ruang dan waktu pada akhirnya bukan penjara bagi manusia, melainkan sebuah tempat penempaan diri agar manusia memahami kenisbian seluruh entitas di semesta raya.



Hubungan antara manusia dengan bentang ruang dan waktu secara fisik telah melahirkan konsep kesementaraan. Manusia cenderung mengucapkan kalimat: “Tidak terasa, kita sudah ada di tahun ini lagi.” Munculnya perasaan ini terjadi di saat manusia berhadapan dengan kesemestaan hidup yang luas atau jagat besar, sementara diri manusia sebagai jagat alit hanya merupakan sekumpulan quark sesuatu yang memiliki ukuran lebih kecil dari atom.

Kesadaran ini kemudian memunculkan pertanyaan: Apa arti manusia jika dihadapkan dengan jagat besar yang sampai saat ini belum diketahui ujungnya? Sama sekali tidak berarti apa-apa!

Hanya saja, manusia sebagai generasi keenam pewaris planet Bumi selalu memiliki alasan bahwa kehadiran dirinya di hadapan semesta yang tidak berarti apa-apa ini, justru menjadi bagian penting dari keberadaan alam semesta. Seolah-olah, tanpa manusia, alam semesta hanya sebuah bola raksasa yang hampa.

Manusia tiba-tiba merasa menjadi lebih besar ketika tidak menundukkan pandangan kepada sesama dan makhluk lainnya, para penghuni planet Bumi. Jagat alit yang dicitrakan bagi manusia, kini menjadi jagat besar ketika manusia memandang setiap realitas yang ada di Bumi. Pikiran seperti ini telah mengelabui manusia sekaligus menjadi energi pendorong bagi manusia di dalam sejarah kehidupannya.

Konsep kesementaraan bagi seluruh penghuni jagat raya, tanpa kecuali manusia, memiliki dampak besar dalam kehidupan. Einstein mengungkapkannya dengan teori relativitas. Jauh sebelumnya, teori ini pernah digagas oleh Al-Kindi saat mengungkap kehadiran manusia di luasnya alam semesta, tidak berarti apa-apa namun sekaligus dapat memiliki arti apa-apa. Kesementaraan yang relatif seperti sebuah benda lentur, kembang-kempis dari waktu ke waktu.


Albert Einstein. Sumber: Wikipedia

Manusia sesekali menyadari dirinya sebagai bagian paling kecil dari semesta, tetapi dalam waktu sepersekian menit, manusia tiba-tiba merasa sebagai makhluk paling penting yang telah diciptakan oleh Tuhan di atas makhluk lainnya. Seluruh makhluk harus ditundukkan dan tunduk kepada manusia. Manusia telah memproklamasikan diri sebagai wakil Tuhan di Bumi.

Landasan teologi yang dikembangkan oleh manusia juga cenderung mencitrakan Tuhan pada antropomorfisme, manusia memandang Tuhan seolah-olah memiliki sifat yang dimiliki oleh manusia. Manusia memang memiliki alasan melakukannya, pencitraan Tuhan seperti ini dilakukan oleh manusia dari waktu ke waktu agar konsepsi keilahian yang rumit dapat dengan mudah dicerna oleh manusia.

Seperti disebutkan oleh Plato: sekumpulan kuda yang ada di dalam kandang, di saat mereka sedang membicarakan Tuhan, sudah dipastikan akan mempersepsikan Tuhan sesuai dengan diri mereka. Tentu saja tindakan manusia seperti ini tidak salah, mengingat manusia sebagai homo sapiens sekaligus homo deus, badan bersama jiwa.

Kesementaraan menjadi penting bagi manusia dan makhluk lainnya agar mengalami dan melewati setiap fase kehidupan. Sejak dalam kandungan, dilahirkan ke dunia, menua, dan meninggalkan kembali dunia ini. Jika harus diperbandingkan, apa arti umur manusia -paling lama menginjak 80 tahun- di hadapan usia alam semesta?

Lebih sederhana lagi, apa arti umur manusia jika dibandingkan dengan sejarah perjalanan spesiesnya sendiri? Dengan demikian, manusia telah menyadari ketidakabadian dirinya. Secara perlahan, seluruh manusia terus mengarah kepada fase kehidupan yang lebih rapuh dan rentan.


Manusia sebagai homo faber. Sumber: Obiettivoin

Kesementaraan di dalam ruang dan waktu tidak hanya memengaruhi kenisbian manusia, juga berdampak terhadap apa yang dikerjakan, diciptakarsakan, dan dihasilkan oleh manusia. Manusia sebagai homo faber, makhluk pekerja pada saatnya harus menghentikan pekerjaan dan benar-benar berhenti dari pekerjaannya.

Usia produktif sebagai bonus demografi memang merupakan usia dominan yang dimiliki oleh manusia, selama empat puluh tahun dari usia 20 sampai 60, manusia menikmati masa keemasannya. Kendati demikian, dalam praktiknya hanya sekian persen saja usia produktif dimanfaatkan oleh manusia. Sisanya, karena watak alamiah dan memang telah disebutkan di dalam kitab suci, usia manusia lebih banyak dihabiskan untuk bersenda gurau dan sikap tidak produktif.

Kita sering memandang, manusia yang lebih banyak mengisi usia produktif dengan kegiatan nonproduktif dengan sebutan pangedulan atau manusia malas. Nyatanya, tindakan nonproduktif inilah yang telah menyelamatkan manusia. Tidak mungkin manusia sebagai makhluk pekerja terus-menerus bekerja di usia produktif dengan mengenyampingkan kegiatan nonproduktif, misalnya beristirahat. Dalam sesi hidupnya, manusia akan sampai di sebuah terminal peristirahatan.

Jika dipikir secara mendalam, ada benarnya juga ketika planet Bumi didominasi oleh manusia malas justru kondisi Bumi akan tetap sama dengan masa beberapa ribu tahun lalu. Orang malas tidak mungkin melakukan kegiatan pengrusakan, mengeruk isi perut Bumi, melakukan deforestasi dan pembalakan hutan, serta tindakan lainnya yang membawa planet ini pada masalah-masalah yang tidak pernah dijumpai sebelumnya.

Hanya saja, sikap malas justru dijadikan jargon ketidakberdayaan, jadi secara alamiah mengikuti kodrat alam, manusia harus terus bergerak seperti halnya alam ini terus bergerak saling tarik-menarik. Lima menit saja Bumi melakukan kemalasan dalam bergerak sudah tentu akan menimbulkan dampak mengerikan bagi penghuninya juga terhadap konstelasi alam semesta.


Si Kabayan, karakter manusia yang pasrah dan mengedepankan sikap menerima terhadap anugerah Tuhan

Manusia produktif pada saatnya akan memasuki usia pensiun dan nonproduktif. Dalam fase ini, manusia harus benar-benar berhenti dari bekerja, entah pekerjaan di kantor, pabrik, atau di sawah dan ladang.

Hal ini tidak berarti manusia benar-benar total bergerak, masa pensiun harus diisi dengan tindakan nonproduktif yang bersifat epifani, tindakan vertikal bukan lagi sebatas membangun hubungan koordinasi dengan sesama manusia, melainkan membangun kolaborasi dengan langit. Membangun hubungan secara vertikal dengan Tuhan bukan berarti hanya dilakukan di masa tua saja, namun harus lebih intensif dilakukan di masa peristirahatan.

Di alam kesementaraan, dalam terma kasundaan sebagai alam marcapada, manusia mengikuti hukum-hukum yang telah disiapkan oleh Tuhan. Semua silih berganti, datang dan pergi. Manusia baru bermunculan, kemudian meninggal kembali, datang kembali manusia baru, terus menerus-menerus tanpa mengenal lelah. Teman-teman saya para penganut Hindu mengkoneksikan situasi ini dengan perjalanan sang atma di belantara semesta, roda samsara sebagai penyucian agar sang atman mencapai moksa dan kembali ke dalam nirwana.

Kehidupan saat ini sebagai penjara di alam ruang dan waktu menjadi penentu apakah sang atma akan kembali ke dunia, tersungkur ke alam bawah (buana larangan) atau menempati nirwana dan kembali kepada Sang Pemilik.

Kendati demikian, manusia telah mengetahui bahwa dunia merupakan alam kesementaraan namun tidak sedikit dari kita yang mempertahankan dengan bersikukuh pada materi-materi keduniawian. Tidak sedikit juga di antara kita dipusingkan untuk memenuhi segala macam keinginan meskipun tidak dikategorikan ke dalam jenis kebutuhan. Ada alasan, mendapatkan dan mempertahankan materi merupakan satu keniscayaan agar manusia tetap dapat melanjutkan eksistensi kehadirannya di dunia ini.

Dan ini bukan hal yang salah, mengingat manusia menempati ruang dan waktu, maka siapapun akan terikat oleh materi-materi yang sebagai bagian penting dari konstelasi dunia. Pendapat seperti ini tidak salah selama manusia memahami kesementaraan dalam hidup, tidak bersikap serakah, dan benar-benar tulus bahwa setiap perbuatan yang dilakukan olehnya untuk menjaga kelangsungan hidup spesies manusia secara keseluruhan.


Samudera Jagat Raya yang Luas. Sumber:Astrobackyard

kenapa Tuhan menciptakan dunia ini tidak kekal dan ajek selamanya melainkan dilengkapi oleh kesementaraan? Para saintis alam tidak sepenuhnya memasukkan terma keilahian dalam kajian-kajian yang telah mereka kerjakan.

Alasannya memang sederhana, ilmu pengetahuan harus bebas dari intervensi keilahian, karena bagi para saintis hal-hal yang tidak terbatas bukan menjadi objek kajian ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya meneliti dan mengkaji hal-hal yang terukur, terbatas, dan tercerna oleh penginderaan.

Terlepas apakah hasil dari kajian tersebut menghasilkan sesuatu yang tidak terbatas dan abstrak. Oleh karenanya, di dalam buku-buku pelajaran dari SD hingga Perguruan Tinggi, jarang sekali kita menemukan terma keilahian.

Kekukuhan para saintis untuk menghindarkan dirinya dari ranah keilahian memang dibenarkan selama hasil dari kajian tidak dimaksudkan untuk melakukan konfrontasi dengan keyakinan orang lain. Ketika para saintis menceburkan diri ke dalam perdebatan tentang ada dan tidak adanya Tuhan, maka mereka telah menyalahi kodrat keilmuan yang bersifat sekuler.

Ilmu pengetahuan tidak akan dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan tadi, kenapa Tuhan menciptakan dunia tidak kekal namun secara perlahan berjalan menuju ke arah kerusakan. Ilmu pengetahuan hanya memberikan informasi meskipun hukum kekekalan energi benar-benar ada di dunia ini, namun pada akhirnya dunia akan lenyap, mengalami kerapuhan, dan mati dengan sendirinya.


Ilustrasi era Aufklarung. Sumber:Agrid

Sementara itu, di sampung para saintis, kelompok agamawan dapat memberikan jawaban mengenai kesementaraan alam dunia berdasarkan informasi dari kitab suci: “setiap ciptaan akan mengalami kerusakan, kecuali Tuhan”. Hanya dengan satu ayat ini, orang beragama telah mendapatkan jawaban yang tidak bertele-tele, alam dunia akan mengalami kerusakan, proses pengrusakannya sendiri diserahkan kepada Sang Pencipta.

Sepintas, dua kelompok -antara para saintis dengan agamawan- memiliki pandangan berbeda dan saling berseberangan. Padahal keduanya memiliki persamaan tentang kerusakan dan kesementaraan alam dunia ini.

Perdebatan antara para saintis dan agamawan tentang keberadaan alam dunia pun sebenarnya bersifat sementara, karena kedua-duanya merupakan bagian dari hukum Tuhan juga. Kitab tertulis atau wahyu dengan kitab alam merupakan dua hal yang saling melengkapi.

Kedua kitab - ayat qauliyah dan kauniyah- memerlukan penafsiran agar relevan secara konteks. Misalnya, di dalam kitab suci dijelaskan mengenai peringatan agar manusia tidak hidup bermegah-megahan, ilmu pengetahuan dengan hukum fisika yang telah dikemukakan oleh para saintis menyebutkan: eksploitasi secara besar-besaran terhadap materi akan menghabiskan materi dan mengubahnya ke bentuk energi lain.

Perubahan energi ini berakibat fatal bagi alam, bagi manusia. Pemanasan global, salah satunya dipicu oleh kecenderungan serakah dan kegemaran bermegah-megah yang dilakukan oleh sebagian manusia. Dengan mengkompromikan kedua pandangan ini, nyatanya tidak terdapat perbedaan.


William Ochkam. seorang filsuf abad pertengahan

Manusia memang hidup dalam kisah, seperti diungkapkan oleh Yuval Noah Harari, semakin sederhana, maka kisah tersebut akan diterima dengan baik. Percekcokan panjang antara para saintis dan agamawan merupakan kisah pendek dari sekian bentang sejarah manusia. Kisah yang terjadi di akhir abad pertengahan hingga sekarang.

Dengan pikiran yang tidak bijaksana, maka kedua kelompok pun saling mencurigai, para saintis melakukan penelitian untuk membuktikan tidak ada peran dan campur tangan ilahi dalam kehidupan, sementara itu para agamawan mencoba menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak lepas dari pengawasan Yang Ilahi.

Jika saja para saintis dan agamawan modern memahami salah satu karya William Ockham, mereka mungkin akan menyadari kekeliruannya masing-masing. Hanya oleh manusia seperti Ocham lah antara yang transenden dengan profan dapat bersanding.

Antara Potentia Dei Absoluta dengan Potentia Dei Ordinata tidak menunjukkan dua kutub perbedaan, yang ada justru saling melengkapi. Manusia harus berada di antara dua kutub dengan memahami berbagai disiplin ilmu sekaligus menapaki jalan keilahian.


Copernicus dan Heliosentris. Sumber:Idntimes

Kisah pergulatan antara para saintis dengan agamawan di saat Copernicus mengemukakan teori Heliosentris sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghilangkan ayat tentang Bumi sebagai pusat Tata Surya.

Apakah matahari sebagai pusat Tata Surya atau justru Bumi yang menjadi pusatnya tidak menjadi soal. Jika ukuran pusat tata surya ditentukan oleh besar gaya gravitasi, maka matahari merupakan pusat tata surya.

Ketika penentuan pusat tata surya ditentukan oleh unsur kehidupan manusia yang membuat postulat serta teori tentang tata surya, maka pusat kehidupan di tata surya ini memang berada di Planet Bumi.

Apakah tanpa Bumi, Matahari tidak berguna? Kegunaan dan kemanfaatan apa pun yang ada di alam dunia ditentukan oleh perasaan yang dimiliki oleh makhluk hidup. Dan para saintis tentu saja diharamkan memasuki areal pengandaian yang tidak perlu seperti andai Bumi tidak ada.

Di salah satu sudut planet Bumi sebuah wilayah bernama Kota Sukabumi menjadi bagian dari kehidupan di alam dunia. Sampai tahun 2023, Kota ini telah berusia 109 tahun sejak didirikan sebagai kota praja oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Kendati telah berumur satu abad lebih, angka ini tidak memiliki arti apa pun jika dihadapkan dengan sejarah panjang kehidupan manusia. Bahkan dapat saja, sejak semula wilayah ini diisi oleh manusia juga tetap tidak berarti apapun.


Kota Sukabumi. Sumber: Treasure of Sukabumi

Jadi, ketika keberadaan sebuah wilayah dilihat berdasarkan Potentia Dei Absoluta, hukum-hukum universal, hal paling kecil seperti Kota Sukabumi ini sama sekali tidak memiliki pengaruh apapun kepada dunia yang tidak terbatas.

Namun, ketika kita memandang Kota Sukabumi sebagai bagian partikular yang di dalamnya terdapat individu-individu serta hal-hal yang dihasilkan oleh setiap individu, wilayah ini memiliki pengaruh besar bagi kehidupan. Hanya dengan membebaskan diri dari hukum universal, hal kecil dapat menjadi terlihat besar.

Lima tahun kepemimpinan Fahmi dan Andri merupakan wilayah partikular sebagai bagian paling kecil dari skenario hukum-hukum alam. Kita harus mematuhi hukum-hukum ini tanpa mengedepankan sikap apriori. Lima tahun hanya bagian dari quantum terkecil di jagat besar. Pembangunan fisik, mental, dan spiritual yang telah dilakukan oleh kepala daerah tidak berarti apa-apa di antara miliaran fenomena-fenomena alam yang terjadi setiap detik.

Walakin, lima tahun merupakan masa yang tepat untuk membawa Kota Sukabumi ke arah yang lebih baik. Di masa yang akan datang, orang-orang Sukabumi harus menyadari kehadiran dirinya di dunia ini. Hanya dengan mengikuti rumus dan hukum alam lah, pembangunan dan penataan suatu wilayah akan berhasil secara utuh.

Posting Komentar untuk "Tahun Kelima: Refleksi Kepemimpinan Fahmi-Andri"