Tak dapat dimungkiri, perekonomian menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah telah membuktikan, ekonomi menjadi roda penggerak kehidupan sejak manusia membangun masyarakat komunal di era revolusi agrikultur pada 13.000 tahun lalu. Pada era ini, manusia sudah tidak terlalu bergantung kepada ketersediaan pasokan dari alam secara langsung.
Manusia memerlukan tindakan yang menghubungkan dirinya dengan alam dalam bentuk pengelolaan. Untuk mendapatkan sumber makanan, manusia yang sebelumnya harus berburu dan meramu, berpindah-pindah tempat dari satu lahan ke lahan lainnya, di era revolusi pertanian manusia dipaksa untuk menetap di satu kawasan dan mengoptimalkan sumber daya dirinya untuk menghasilkan sumber makanan melalui proses domestikasi.
Pertumbuhan populasi berbanding lurus dengan semakin banyaknya lahan baru pertanian berdampak pada cara baru berpikir manusia untuk melakukan mobilisasi sumber makanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Sumber pangan yang didomestikasi pun menjadi lebih beragam karena manusia tidak mungkin dapat memenuhi seluruh kebutuhan untuk komunitas dirinya sendiri. Jenis kebutuhan lain yang tidak dapat dipenuhi oleh satu komunitas dapat diperoleh dari komunitas lainnya melalui proses barter.
Barter menjadi tidak relevan ketika dilakukan oleh individu dalam jumlah banyak dan berbagai jenis sumber daya alam serta berbagai kebutuhan manusia terhadap hasil produksi semakin meningkat. Kesepakatan baru diciptakan oleh manusia dengan menciptakan satu alat tukar yang dapat mewakili seluruh komunitas. Sejarah manusia mulai mengenal uang, sebagai hasil kesepakatan bersama, dan memiliki nilai sebanding dengan barang yang akan ditukar.
Seiring berjalannya waktu, manusia mulai menggunakan barang-barang tertentu yang memiliki nilai intrinsik atau nilai guna tinggi sebagai alat tukar. Contohnya adalah emas, perak, gandum, hewan ternak, atau kulit binatang yang digunakan sebagai bentuk awal uang.
Nilai yang tercantum pada logam atau kertas yang kita lihat seperti sekarang sebetulnya tidak ditentukan oleh bahan dan nilai nominalnya melainkan oleh kesepakatan yang dibangun oleh manusia sendiri. Nominal sebesar apapun tidak akan berlaku ketika manusia memasuki satu kawasan yang merusak kesepakatan terhadap uang. Manusia tidak memerlukan uang sebesar apapun ketika berada di dalam hutan. Dia hanya memerlukan sumber pangan dan mengambilnya langsung dari alam untuk menghilangkan rasa lapar.
Uang menjadi ukuran penting bagi individu. Seseorang yang memiliki banyak uang sama artinya dia akan mampu membeli berbagai kebutuhan hingga membeli keinginan bagi dirinya sendiri. Sejak era revolusi pertanian sampai masa penggunaan uang sebagai alat tukar telah membangun corak sosial baru dan stratifikasi lapisan masyarakat, antara pemilik lahan yang luas dengan para penggarap lahan, antara para tuan tanah dengan jelata yang hanya dapat memanfaatkan sumber daya alam atau menghasilkan uang dengan konversi tenaga mereka. Jelata akan mendapatkan konversi dari tenaga yang dikeluarkan dengan uang yang diterima dari para tuan tanah. Kesejahteraan dalam hal ini hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia, feodalisme mengakar.
Dunia lama telah memposisikan para pemilik modal dan pemilik akses sumber daya menjadi lebih memiliki keleluasaan tidak sekadar mengeruk sumber daya alam juga menihilkan kelompok rentan terhadap kesejahteraan. Ketimpangan sosial di Eropa dari abad 5 hingga 15 telah memaksa para cerdik pandai untuk mengalihkan citra sosial yang keji ke cara lebih beradab atau memindahkan kekejian dari satu kawasan ke kawasan lain. Misalnya, orang-orang Eropa daripada mengeruk habis sumber daya alam Eropa dan memarjinalkan sesame bangsanya lebih baik berpindah ke tempat lain. Reconquista dan penjelajahan dilakukan oleh orang-orang Eropa, tujuannya untuk membangun kesejahteraan komunitas mereka dengan mengambil kesejahteraan dari bangsa lain.
Situasi Sukabumi di masa lalu, setelah bangsa Eropa yang diwakili oleh Belanda mulai menempati wilayah ini dapat menjadi barometer bagaimana kemaruknya bangsa lain mengeksploitasi sumber daya alam dan SDM untuk kesejahteraan bangsa mereka sendiri. Sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Sukabumi masih menggunakan pendekatan konvensional dalam bertransaksi. Kedatangan Belanda telah mengubah pandangan baru, kepemilikan menjadi modal sosial bagi masyarakat dan pemilik lahan paling luas dikelompokkan ke dalam kelas sosial tertinggi. Padahal, pada sistem sosial sebelumnya, para pemilik lahan dan kekayaan ini ditempatkan pada sistem sosial ketiga karena kemelekatan mereka dengan materi masih tinggi.
Cengkeraman ekonomi kapitalis kuno di Sukabumi terus berlanjut sepanjang sejarah kolonial. Tidak jauh dengan situasi yang terjadi di Eropa, kaum terdidik Sukabumi sebagai pribumi tentu tidak ingin melihat warga Sukabumi sendiri terjebak pada ketidaksejahteraan dan kemiskinan. Setelah Belanda menerapkan politik etis atau balas budi, salah seorang ajengan dari Sukabumi, K.H Ahmad Sanusi menggagas sistem perekonomian yang berpihak kepada umat. Ajengan yang telah dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 2022 ini mengemukakan sistem permodalan yang harus dikelola bersama-sama dalam bentuk iuran atau urunan.
K.H Ahmad Sanusi menyuarakan cita-cita perekonomian umat pada majalah At-Tabligeol Islami terbitan pertama:
I’lam anna dunya wad-din la yashluhani illa bi wujudi arba’ata asy-ya : azzira’atu, wat-tijaratu, washina’atu, wasiyasatu “ yang berarti bahwa urusan dunia dan agama hanya bisa tegak bila ditopang dengan empat soko guru, yakni pertanian, perdagangan, industri, dan politik.
Dari kutipan di atas, dapat kita elaborasi menjadi beberapa poin. Pertama, sejak era revolusi pertanian hingga pertumbuhan populasi manusia, sebagian besar masyarakat berpegang teguh pada tradisi pertanian. Sebab, tanpa pertanian, masyarakat tidak akan dapat memenuhi kebutuhan pokok sebagai penyokong kehidupan yaitu ketersediaan pangan. Ketersediaan sumber pangan tidak boleh dikuasai oleh sebagian kecil manusia karena ini akan melahirkan monopoli dari satu pihak yang berdampak buruk bagi masyarakat luas. Islam melarang manusia mengambil keuntungan yang menimbulkan kemudharatan lebih besar.
Kedua, gagasan perekonomian umat sebelumnya telah diawali oleh bangsa ini sejak awal abad ke 19 melalui berbagai persyarikatan untuk mengimbangi kekuatan ekonomi Belanda dan Warga Keturunan. Ketika keuntungan diraih oleh dua kelompok ini, warga pribumi sebagai tuan rumah hanya akan menjadi tamu di negerinya sendiri. Pada tataran yang lebih khusus, cita-cita perekonomian umat ini dicetuskan oleh K.H Ahmad Sanusi di Sukabumi, salah satunya dengan membangun Baitul Maal.
Perhimpoenan Al-Ittihadiyatoel Islamiyyah akan mengadakan Baitoelmall (koempoelan wang modal) jang maksoednja hendak memberikan pertolongan kepada lid-lidnja oentoek perniagaan dan peroesahaannja, jaitoe mengadakan perbagai barang jang menjadi keperloeannja, baik dengan pembajaran kontan, maoepoen dengan tjitjilan. Terhadap koperasi-koperasi jang didirikan oleh kaoem Al-Ittihadijatoel Islamijjah, maka baetoelmall peola sebagai verkop centrale.
Pada tanggal 30 Maret 1938, untuk mewujudkan gagasannya tersebut, KH. Ahmad Sanusi membentuk lembaga permodalan yang diberi nama N.V. Handel Maatschappij Baitul Maal sebagai verkoop central (selaku Induk Koperasi yang anggotanya koperasi-koperasi yang dibentuk oleh organisasi cabang-cabang AII).
Pendirian baitul maal ini memiliki tujuan berbeda dari lembaga-lembaga keuangan yang didirikan oleh Belanda. Lembaga keuangan, hatta dalam bentuk koperasi, yang dibangun oleh belanda pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengelola sumber daya alam, seperti perkebunan, pertanian, dan perikanan. Ini membantu Belanda mengamankan kontrol atas produksi dan ekspor komoditas utama, seperti kopi, teh, karet, dan rempah-rempah. Koperasi digunakan sebagai alat untuk mengatur produksi dan distribusi sumber daya ekonomi. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan kesejahteraan umat.
Baitul maal yang didirikan oleh warga pribumi bertujuan memberdayakan para petani, mengotonomi para pedagang, dan membangun kesejahteraan umat. Keberadaan baitul maal memiliki peran positif dalam memberdayakan masyarakat lokal, peran utamanya selama era kolonial Belanda adalah untuk mengamankan dan melakukan kontrol ekonomi dan sumber daya agar pemerintah kolonial tidak kemaruk dalam mengeruk sumber daya alam Sukabumi. Kendati demikian, dalam praktiknya, pemerintah kolonial tetaplah penganut kolonialisme: mereka tetap mengeruk sumber daya alam negara ini untuk kepentingan mereka baik di negara jajahan juga di negara asalnya.
Di era modern, gagasan-gagasan lama masih harus tetap dipraktikkan. Koperasi dengan berbagai jenisnya nyata sekali merupakan cara ampuh untuk mempertahankan perekonomian umat. Syarat mutlah darinya tentu kesabaran, ketahanan, dan kekuatan mental. Setiap agama memang memerintahkan nilai-nilai emas tersebut. Tanpa ketahanan mental dan kita mudah tergoda oleh cara cepat meraih keuntungan akan lama sekali koperasi diterima oleh masyarakat.
Dimuat Radar Sukabumi 27 September 2023
Posting Komentar untuk "Koperasi: Format Ideal Membangun Ekonomi Warga Sukabumi"