Keberadaan kedai atau warung kopi di Kota Sukabumi –harus– semakin menarik perhatian peneliti, terutama untuk kajian tren sosial kekinian. Tujuh tahun lalu, opini saya dengan judul "Warung Kopi: Bahari ka Kiwari" diterbitkan oleh harian Radar Sukabumi. Opini ini berisi pandangan saya terhadap kehadiran kedai atau warung kopi di Kota Sukabumi yang mulai marak di awal dekade kedua millenium kedua.
Kedai kopi semakin tumbuh dengan berbagai nama dan jenama di awal dekade ketiga millenium kedua. Untuk ukuran Kota Sukabumi, kedai kopi yang mampu menarik minat kaum milenial masih dipegang oleh kedai-kedai kopi lokal, kedai yang dikelola dan dibesarkan oleh pelaku usaha tempatan. Ini menyiratkan, apapun yang berbau lokal dan Sukabumian akan tetap menarik minat generasi milenial jika dikelola dan dicitrakan sesuai dengan cita rasa yang diharapkan oleh generasi Y dan Z.
Tidak dapat dimungkiri, selama pandemi COVID-19 terjadi relaksasi di berbagai sektor ekonomi mikro, termasuk kedai-kedai kopi harus menutup kegiatan usaha luring mereka di jam tertentu. Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berskala besar di gelombang pertama dan kedua COVID-19 menjadi ujian bagi para pelaku usaha mikro untuk memikirkan strategi penjualan terbaik agar kegiatan usaha mereka tetap bertahan sekaligus tidak melanggar penerapan aturan penjarakan sosial (social distancing) selama pandemi.
Pandemi COVID-19 memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini sangat dirasakan oleh para pemilik kedai kopi. Walakin, situasi ini telah mengajarkan kepada para pelaku usaha untuk mengatur dan menyusun strategi, bagaimana mereka harus tetap bertahan saat didera relaksasi usaha.
Setelah pandemi usai, Kota Sukabumi kembali memperlihatkan geliatnya, aktivitas kembali berjalan dengan penerapan norma-norma baru. Semula tertatih-tatih seperti seorang balita yang baru belajar berjalan, secara perlahan, aktivitas usaha mulai berjalan hingga berlari kembali. Kedai-kedai kopi kembali marak oleh pelanggan dan pengunjung.
Sebagai penikmat kopi, saya baru mencicipi kopi dengan cita rasa ala kedai kopi sekitar tahun 2012. Kunjungan ke kedai kopi Seecul (Street Culture), saya lakukan secara berkala, kadang di hari Sabtu atau Minggu. Seecul menawarkan berbagai aneka minuman selain kopi. Kendati domain produk yang ditawarkan benar-benar kopi, namun hampir setiap kedai kopi di Kota Sukabumi ini meraup keuntungan juga dari penjualan minuman non-kopi.
Serupa dengan era sekarang, pengunjung yang datang silih berganti, di samping pelanggan tetap. Komunitas menjadi ciri khas pengunjung kedai kopi. Usia mereka ada pada kisaran 18-30 tahun. Artinya, kopi memang sangat digemari oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang dan generasi.
Pandemi berlalu, masyarakat urban perkotaan kembali menunjukkan atraksi-atraksi menarik sebagai ciri utama masyarakat yang dinamis. Pemerintah Kota Sukabumi juga turut andil dalam memeriahkan kembali ruang-ruang publik, pencabutan regulasi pengetatan kegiatan sosial telah membuka ingatan masyarakat dalam memandang diri mereka sebagai makhluk sosial.
Refocusing anggaran dialokasikan ulang setelah sebelumnya difokuskan untuk pemulihan pandemi. Pembangunan dan penataan pusat kota mulai terlihat di awal 2022. Hal ini menjadi sinyal bagi para pelaku usaha untuk membuka kembali kegiatan usaha mereka setelah dipaksa mengendapkannya di masa pandemi. Kedai kopi mulai dipenuhi oleh pengunjung.
Saya sempat terhenyak, atraksi masyarakat perkotaan pasca-pandemi mengalami peningkatan signifikan. Pengunjung ruang-ruang publik seperti fasilitas milik pemerintah: Lapang Merdeka, Sentra UMKM Juara, dan pedestrian mengalami peningkatan jumlah. Fasilitas swasta pun demikian, termasuk kedai-kedai kopi.
Nama Coffee, kedai kopi yang terletak di Jl. RH Didi Sukardi mampu menarik minat penikmat kopi dari kelompok milenial. Konsep yang ditawarkan oleh pengelola kedai kopi ini perpaduan antara tampilan modern dengan ketersediaan pemandangan eksotis alam yang sederhana, sebuah kolam besar.
Pengunjung dari kelompok milenial generasi Y dan Z mulai berdatangan di sore hari. Mereka cenderung berkumpul secara berkelompok. Selain memanfaatkan tempat duduk konvensional, mereka lebih asyik duduk berjejer memanjang di atas tempat duduk yang terbuat dari tembok, tepat sekitar 2- 3 meter di pinggir kolam.
Suasana Nama Coffee menjadi lebih ramai setelah isya sampai pukul 22.00 WIB. Dan menjadi lebih ramai lagi, generasi milenial dari berbagai latar belakang berkumpul, menghilangkan rasa penat mereka di hari Sabtu dan Minggu.
Kenampakan sosial seperti ini memang bukan hal baru, walakin terjadi transformasi dan perubahan signifikan dari para penikmat kopi. Semula, kehadiran generasi Y dan Z di kedai-kedai kopi sekadar untuk menikmati minuman non-kopi. Saat ini, kopi semakin digemari hatta oleh kelompok umur 17 tahun. Mereka tidak berat sekadar untuk membayar satu cangkir kopi pada kisaran harga Rp 25.000,- sampai Rp. 35.000,-.
Fungsi utama ruang publik seperti ini memang sebagai tempat untuk mengeluarkan ekspresi dan aspirasi. Kelompok milenial lebih nyaman membangun komunikasi dengan sebayanya. Eksistensi dan ekspresi juga dapat mereka perlihatkan kepada teman sebayanya. Menjadi hal lumrah, jika kedai-kedai kopi di Kota Sukabumi lebih banyak diisi oleh kelompok milenial.
Hampir tidak ada pergeseran fungsi dari kehadiran ruang-ruang publik, kecuali konten-konten perbincangannya saja yang mengalami perbedaan berdasarkan kategori umur, jenis komunitas, dan preferensi pengunjung kedai kopi.
Tahun 2014, kedai kopi sebagai ruang publik tidak sekadar dijadikan tempat nongkrong oleh para pengunjung. Analog Kopi, pernah menggagas, kedai kopi sebagai tempat untuk mendiskusikan berbagai hal dari yang remeh-temeh hingga tajuk-tajuk besar. Pengunjung tidak hanya datang menikmati sajian kopi, juga memiliki hak untuk menginspirasi, mengapresiasi, dan membicarakan kotanya sendiri. Kedai kopi seyogianya melengkapi diri juga dengan buku-buku dan sumber bacaan untuk membangun literasi para pelanggan.
Selain itu, Analog Kopi juga menjadikan ornamen-ornamen klasik sebagai atribut untuk mengidentifikasi perbedaan keberadaan mereka dari kedai lainnya. Misalnya dengan memajang barang antik, menggunakan pemutar musik vinyl, dan sesekali memperdengarkan musik genre jazz kepada pengunjung. Bagi masyarakat urban perkotaan tertentu, musik jazz dengan kopi seperti dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kopi Gaud memiliki cerita lain. Kedai kopi yang terletak tak jauh dari Masjid Agung ini relatif dikunjungi oleh pelanggan yang telah matang dalam usia. Kedai ini sesekali menyajikan atraksi musik langsung. Musik genre pop dan country tampaknya lebih mendominasi dalam pertunjukan-pertunjukan musik di Gaud ini.
Idealisme yang dibangun oleh setiap kedai dan warung kopi tentu berbeda. Kopi memang selalu sarat dengan berbagai penafsiran, mulai dari cara penyajian, jenis kopi yang dipilih, latar belakang pelanggan, dan keterhubungan antara preferensi pengunjung dengan pengelolanya. Terlepas dari itu, keberadaan kedai kopi dan warung kopi di Kota Sukabumi memang tidak lepas dari masa lalu Sukabumi di abad ke-19 dan 20. Perkebunan kopi pernah menjadi salah satu sumber penghasilan pemilik perkebunan.
Sukabumi sebagai penghasil kopi pernah ditulis oleh J.M Knaud dalam buku Herinneringen Aan Soeka Boemi (Sukabumi Dalam Kenangan): Pada akhir tahun 1813, waktu penjajahan Inggris periode pemerintahan Raffles, datanglah seseorang bernama Andries de Wilde yang menjabat sebagai Administratur Perkebunan Gunung Parang. Perkebunan ini letaknya lereng bagian selatan Gunung Gede di Tanah Parahyangan, Pada waktu itu kopi masih merupakan penghasilan utama di daerah ini sebelum teh muncul dan mendesak tanaman kopi.
JIka kita dapat membaca keterhubungan antara masa lalu dengan masa kini dengan jeli, era milenial yang ditandai oleh kehadiran berbagai kedai dan warung kopi harus diimbangi oleh ketersediaan pasokan kopi dari perkebunan setempat (Sukabumi).
Upaya mungkin sudah dimulai di beberapa perkebunan, seperti di Sagaranten. Aroma yang dihasilkan oleh kopi tidak hanya menghipnotis penikmatnya saja, kopi sebagai mutiara hitam pernah menjadi pemantik bagi para pengusaha Eropa untuk mengarungi samudra, hingga singgah di Nusantara selama beberapa abad.
Posting Komentar untuk "Ngopi Asyik di Kedai Kopi Sukabumi: Atraksi Masyarakat Urban Milenial"