Redefinisi Jihad Santri di Era Digital



Puncak peringatan Hari Santri Nasional tahun 2023 diperingati pada Minggu, 22 Oktober 2023 oleh Pemerintah dan masyarakat Kota Sukabumi di Lapang Merdeka. Begitu meriah, hiruk-pikuk dan riuh-gemuruh berpadu dengan aktivitas mingguan masyarakat lainnya.

Kesan ini dapat dikatakan hal baik, sebagai bentuk sosialisasi dan pengenalan Hari Santri Nasional secara lebih luas kepada masyarakat. Tak dapat dipungkiri, di antara pengunjung ada yang masih bertanya-tanya: ”Ada upacara apa?”

Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan peringatan HSN sebelumnya, tema yang diusung tahun ini: Jihad Santri, Jayakan Negeri. Elaborasi dari tema ini terletak pada logo yang disematkan dalam peringatan HSN tahun ini. Pertama, menjaga kecintaan kepada tanah air sebagai aplikasi dari semangat nasionalisme.

Bagi para santri kalangan Nahdlatul Ulama, sejak era Orde Baru semangat Hubbul Wathan Minal Iman bukan produk baru. Resolusi Jihad yang digemakan oleh K.H Hasyim Asyari pendiri NU adalah wujud nyata dari penerapan kecintaan ulama dan santri kepada negaranya.

Kedua, perkembangan dan kemajuan infotek harus diimbangi oleh kemampuan santri dalam menyerap informasi dan pengetahuan tentang digitalisasi di berbagai aspek. Literasi digital salah satunya, sampai saat ini, memberikan pemahaman yang utuh di ruang digital memang masih menjadi pekerjaan rumah dan cukup berat.

Penyebaran informasi bohong atau hoaks, konflik di ruang maya, perundungan melalui media, dan cara- cara tidak terpuji masih kerap terjadi di ruangan maya yang identik dengan dunia digital. Maka, digitalisasi perlu diarahkan untuk mendukung kebaikan bersama. Bukan malah digunakan untuk saling menohok, apalagi dengan sesama umat Islam.

Upaya dan proses ke arah digitalisasi telah dilakukan oleh sebagian besar umat Islam. Dakwah dan ajakan untuk melakukan kebaikan juga sudah menjadi hal biasa dilakukan di berbagai platform daring. Arah yang belum sepenuhnya dilakukan adalah, kita menjadi produsen barang-barang yang memang tidak dapat dipisahkan dengan algoritma dan digitalisasi.

Untuk sampai ke sana, saya pikir, kita memang masih jauh. Walakin, paling tidak seruan untuk mengimbangi dan menguasai dunia digital perlu diupayakan dan dicoba, khususnya di kalangan santri.

Ketiga, empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI merupakan fondasi kokoh yang tidak dapat ditawar apalagi ditukar dengan apa pun. Empat hal ini harus mengendap dalam diri santri dan mengejawantah dalam perilaku keseharian.

Dulu, konflik antar bangsa dan negara disebabkan oleh perbedaan ideologi. Saat ini tidak demikian, kita telah memasuki tatanan dunia baru, konflik di belahan dunia pasca-perang dingin lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, penguasaan sumber daya, dan lebih jauh lagi kita telah mengenal perang proxy.

Tanpa pengimplementasian empat pilar kebangsaan, sudah dipastikan kita akan mudah terombang-ambing di dalam sebuah bahtera yang sedang berada di samudera luas. Empat pilar kebangsaan bukan sekadar ideologi, melainkan sejumlah norma, etika, cara pandang, dan landasan kokoh bangsa ini.

Empat pilar kebangsaan di atas merupakan resolusi atau kebulatan tekad bangsa yang merangkum seluruh entitas bangsa ini. Kita telah menyepakati Pancasila sebagai landasan ideal dengan fakta-fakta historis yang telah terjadi. Sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan negara ini, Pancasila telah terbukti menjadi tali pengikat bangsa yang sulit tergoyahkan.

Bahkan, keberadaan Pancasila sebagai pemersatu ini tidak hanya diakui oleh diri kita sendiri. Negara-negara lain memandang kita sebagai bangsa besar, terdiri dari kepelbagaian namun tidak terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil. Nilai-nilai primordial telah dapat kita redam, kendati sejarah bangsa kita pernah terjebak ke dalam konflik horizontal, namun sejarah itu kini telah berlalu.

Eliminasi terhadap empat pilar kebangsaan hanya akan membawa bangsa ini kepada perpecahan dan mudah dibuai oleh harapan palsu. Rong-rongan terhadap empat pilar kebangsaan sering terjadi dengan berbagai pemantik, mulai dari isu politik, sosial, hingga agama.

Hanya saja, upaya-upaya untuk memisahkan empat pilar kebangsaan tersebut selalu mengalami kegagalan dan memang sebanding dengan kesulitan kita dalam mengamalkannya. Akan tetapi, hingga saat ini, kita masih tetap berpegang pada empat pilar tersebut. Bhineka Tunggal Ika sebagai satu keniscayaan, kita hidup dalam keberagaman dan kepelbagaian. Sebuah piranti lunak yang ada di alam semesta.

Redefinisi Jihad Santri

Peringatan Hari Santri Nasional merupakan refleksi dari peristiwa masa lalu saat Resolusi Jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad merupakan kemufakatan dan ajakan dari para ulama untuk melawan kelaliman Belanda. Pada saat itu, jihad santri dari kalangan pesantren bersama masyarakat tentu benar-benar dimaknai sebagai jihad mengangkat senjata.

Tentu saja, di saat yang bersamaan, Resolusi Jihad memiliki spektrum yang luas, para ulama dan santri di masa itu tidak secara keseluruhan melakukan perlawanan fisik kepada Belanda, di antara mereka ada yang berjuang dengan berbagai pendekatan dari mulai politik hingga pendekatan spiritual yang tidak kasat mata.

Redefinisi Jihad Santri di Era Digital tidak dimaksudkan untuk mengerdilkan makna sebuah kata atau frasa. Sebuah kata memerlukan pendefinisian yang tidak definitif atau terbatas pada satu makna agar dapat menyentuh berbagai dimensi.

Al-Quran memberikan banyak pilihan dan memiliki berbagai dimensi dalam berbagai dalilnya. Bahkan, pemaknaan dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran juga memerlukan multi-disiplin keilmuan agar konsepsi Kaffah (keutuhan) ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh pihak.

Jihad Santri di era digital harus dimaknai usaha yang sungguh-sungguh dilakukan oleh ulama dan santri dalam memahami konsep-konsep digital, bagaimana memanfaatkan platform digital, dan lebih jauh lagi menjadi agen perubahan melalui digitalisasi. Mudah diucap namun sulit dilakukan jika tidak diawali sejak dini.

Beberapa lembaga keagamaan, pendidikan, dan pesantren telah banyak yang mengembangkan digitalisasi ini sejak awal reformasi. Kita telah mengenal madrasah digital, pondok pesantren modern, di sana para santri bukan hanya diajarkan membaca dan menelaah kitab-kitab klasik, juga diperkenalkan pada pengoperasian komputer, cara menggunakan aplikasi, memproduksi dakwah melalui video dan tayangan film, dan penguasaan bahasa-bahasa asing.

Dulu, penggunaan bahasa asing menjadi hal tabu di kalangan pesantren dan madrasah karena ada anggapan bahasa asing merupakan bahasa orang lain yang tidak sekeyakinan dengan kita. Pandangan semacam ini sudah uzur, karena tidak ada korelasi signifikan antara bahasa yang digunakan oleh sebuah bangsa dengan watak dan tabiat bangsanya, apalagi dengan keyakinan yang dianut oleh bangsa tersebut.

Revolusi Industri 4.1 juga sudah mulai memperlihatkan gejala akan berakhir dan digantikan oleh revolusi industri versi baru. Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence telah merambah pada berbagai platform digital. Sebuah ciri era disrupsi, perubahan besar terjadi dan sebelumnya tidak pernah kita kenal. Santri dan lembaga-lembaga keagaman harus sudah memulai memahami fenomena baru ini.

Gejala atau kenampakan baru di dunia digital yang terbarukan ketika kecerdasan buatan terus bergerak dengan percepatan tinggi sementara pengetahuan kita tentangnya tetap stagnan, hasilnya kita akan terus diperbudak oleh mesin, memiliki ketergantungan kepada mesin, dan tidak dapat berpisah dengan mesin.

Kita dapat membayangkan, apa yang akan terjadi ketika ke dalam mesin-mesin cerdas telah dibenamkan biometrik dan perasaan? Kita tidak dapat melawan dan bersikap apriori, kita sebagai manusia harus terus mengasah kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual agar tidak mudah terkecoh dan tergantung sepenuhnya pada mesin.

Dimuat Radar Sukabumi, 24 Oktober 2023

Posting Komentar untuk "Redefinisi Jihad Santri di Era Digital"